[ad_1]
Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Kamis (27/05), menjatuhkan pidana denda sebesar Rp20 juta kepada Rizieq Shihab, karena terbukti bersalah tidak mematuhi aturan karantina kesehatan dalam kasus kerumunan massa di Megamendung, Jawa Barat.
Putusan ini lebih ringan dari tuntutan jaksa yang menuntutnya 10 bulan pidana penjara dan denda Rp 50.000.000 juta subsider tiga bulan kurungan.
Adapun perkara kerumunan massa di kawasan Petamburan, Jakarta Pusat, akan dibacakan sekitar pukul 16.00 WIB, Kamis, di lokasi sidang yang sama. Dalam perkara kedua ini, Rizieq dituntut dua tahun pidana penjara.
Pada amar putusan dalam kasus kerumunan di Megamendung, majelis hakim menyatakan Rizieq terbukti bersalah lantaran tidak mematuhi aturan karantina kesehatan, sehingga dijatuhi pidana denda sebesar Rp20 juta.
“Apabila denda tidak dibayar, maka akan diganti pidana kurungan selama lima bulan,” kata salah-seorang majelis hakim.
Atas vonis kasus kerumunan di Megamendung, Rizieq dan kuasa hukumnya menyatakan “pikir-pikir”. Tanggapan serupa juga dilontarkan jaksa penuntut umum.
Dalam berbagai kesempatan, Rizieq berkukuh dirinya tidak pernah mengajak massa untuk menghadiri acara di Megamendung dan Petamburan.
Apa dampak putusan ini bagi masa depan ‘politik’ Rizieq Shihab?
Pengamat politik dari Netfid (Network for Indonesia Democratic Society), Dahliah Umar, menganggap, pimpinan FPI itu masih punya pengaruh politik, terutama menyangkut kepentingan politik identitas, menjelang tahun Pemilu 2024.
Namun Dahliah melihat besar kecilnya pengaruh Rizieq juga tergantung pada isu yang bisa mengerahkan massa dalam jumlah banyak, mengingat FPI berbasis kekuatan massa.
“Selama tidak ada pengumpulan massa dan tidak ada isu yang kemudian mampu untuk menggerakkan massa, menurut saya akan semakin mengecil pengaruhnya.”
Sementara Rizieq Shihab, menurut pengacaranya, berkukuh tetap akan berpolitik dan bersikap oposisi terhadap pemerintah.
“Sikap politik itu dilindungi undang-undang, jadi tidak ada yang berhak menghalangi. Sikap politik dia akan dicarikan momentum yang tepat, ketika dia sudah di luar (penjara),” ujar Sugito Atmo Prawiro, pengacara Rizieq.
Sedangkan politisi Partai Golkar, Dave Laksono mengatakan, walaupun sulit menghilangkan isu politik identitas, namun menurutnya pengaruh Rizieq Shihab sudah melemah sejak dua kubu yang berseteru dalam Pemilu 2019 telah bergabung dalam koalisi pemerintah.
“Karena waktu pilpres yang lalu, calonnya [kubu Rizieq Shihab] Pak Prabowo. [Dan] Pak Prabowo sekarang sudah gabung ke pemerintah,” kata Dave kepada BBC News Indonesia, Rabu (26/05).
Pada November lalu, Rizieq ditetapkan sebagai tersangka kasus kerumunan massa yang melanggar protokol kesehatan Covid-19, setelah dia pulang dari Arab Saudi.
Dan akhir April lalu, polisi menangkap salah-seorang pimpinan FPI Munarman karena diduga menggerakkan orang lain serta mufakat jahat untuk melakukan tindak pidana terorisme.
Dalam berbagai kesempatan, Rizieq Shihab atau pimpinan FPI lainnya menuduh apa yang dialami pihaknya sebagai kriminalisasi dan korban kezaliman penguasa.
Tuduhan seperti ini sudah berulangkali dibantah oleh aparat kepolisian dan pejabat keamanan pemerintah.
‘Masih punya pengaruh untuk politik identitas’
Pengamat politik dari Netfid (Network for Indonesia Democratic Society), Dahliah Umar, menyatakan walaupun FPI sudah dibubarkan dan Rizieq Shihab menghadapi proses hukum di pengadilan, pengaruhnya belum habis mengingat masih punya banyak loyalis dan itu bisa digunakan untuk kepentingan-kepentingan politik terkait politik identitas jelang Pemilu 2024.
Namun itu semua tergantung pada pola gerakannya, jadi tidak akan signifikan selama tidak ada pengerahan massa atau tidak ada isu yang menggerakkan massa.
“Kalau kita lihat figur-figur yang kemudian dipenjara sebenarnya masih bisa menyampaikan pesan-pesan melalui media sosial yang diadministrasikan oleh loyalisnya.
“Dia bisa bermain di media sosial, tetapi karena FPI ini kekuatan massa, selama tidak ada pengumpulan massa dan tidak ada isu yang kemudian mampu untuk menggerakkan massa, menurut saya akan semakin mengecil pengaruhnya.
“Apalagi sekarang perpolitikan yang dulu terpolarisasi sudah menyatu dalam koalisi pemerintahan,” kata Dahliah kepada BBC News Indonesia, Rabu (26/05).
Namun, lanjut dia, walaupun di koalisi pemerintahan untuk mengurangi polarisasi itu diusahakan oleh elit politik, tidak kemudian membuat akar rumput itu menyatu juga. Ini yang membuat Rizieq Shihab masih punya pengaruh.
“Jadi politik identitas itu selesai di elit, tapi tidak selesai di bawah. Itulah kenapa kemudian Habib Rizieq ini walaupun nanti dia divonis atau dipenjara, tetap pengikut setianya ada dan mereka akan semakin sulit untuk dikontrol karena FPI-nya bubar.
“Jadi ada organisasi yang massanya besar, dibubarkan, tapi secara ideologi kan mereka tidak hilang.”
Maka, lanjut Dahliah, sebenarnya dibubarkannya FPI tidak kemudian membuat kekuatan massa ini langsung hilang.
“Dia hanya senyap sesaat, tapi kalau nanti sudah mendapatkan pemimpin baru, misalkan Habib Rizieq nanti dipenjara, kemudian Habib Rizieq kemudian menunjuk si A untuk meneruskan dan posisinya itu di luar penjara dan bisa menggalang kekuatan, massa terkumpul lagi dengan berganti nama. Jadi mereka cukup berganti nama aja.
Jadi sebenarnya tidak selesai dengan membuat atau menjerat pemimpinnya dalam kasus-kasus pidana tertentu, kemudian kita berharap organisasinya berhenti. Itu hal yang sangat sulit untuk dituju.”
Menurut Dahliah, setelah FPI dibubarkan, negara juga harus memikirkan apa yang akan dilakukan terhadap para pengikut Rizieq Shihab.
“Di FPI bisa saja selain ada unsur-unsur yang lebih condong mendukung kelompok-kelompok ekstremis, namun ada anggota yang tergolong biasa-biasa saja, yaitu orang-orang Islam yang suka mengaji kemudian gabung ke FPI.
Jadi, menurut saya negara harus mengikuti terus bagaimana, apa saja yang dilakukan oleh pendukung Habib Rizieq di FPI ini, dan kemudian tidak boleh melabeli bahwa semua pengikut Habib Rizieq itu berpotensi sebagai ancaman negara. “
Maka, dengan adanya eksponen-eksponen eks FPI yang membentu organisasi baru, Dahliah menyarankan agar tidak dilarang, apalagi kalau mereka kemudian dilihat sebagai kelompok yang lebih mengarah ke kemaslahatan.
Organisasi baru lemahkan Rizieq Shihab?
Di sisi lain, setelah dibubarkannya FPI, muncul dua organisasi baru yang dibentuk eksponennya, yaitu Front Persaudaraan Islam yang dideklarasikan oleh Aziz Yanuar dan Ada Front Persatuan Islam yang dideklarasikan Ahmad Sobri Lubis.
Menurut Dahliah dengan adanya organisasi yang kemudian mengklaim sebagai pengganti FPI, bisa saja kemudian pengaruh Rizieq Shihab itu jadi melemah.
“Artinya sebenarnya dibubarkan FPI ini dengan adanya organisasi baru, usaha untuk menggugat pembubarannya menjadi ‘tidak dianggap terlalu penting’ karena toh sudah ada organisasi baru yang akan melanjutkan misi-misi FPI.
“Organisasi baru ini ada pemimpinnya juga, jadi sudah semakin terfragmentasi eksponen-eksponen FPI yang kemudian membuat organisasi sendiri-sendiri yang diklaim melanjutkan FPI.
“Itu salah satu indikator mengapa kemudian bisa saja Rizieq Shihab menjadi semakin melemah karena dia tidak lagi punya organisasi yang dia pimpin, kemudian ada eksponen FPI yang membuat organisasi sendiri-sendiri yang itu bisa saja menjadi kekuatan politik yang digunakan oleh siapapun untuk kepentingan politik nasional 2024,” ujarnya.
‘Rizieq Shihab bukan ancaman besar’
Dave Laksono, politikus Partai Golkar yang juga anggota Komisi I DPR mengatakan, dirinya tidak melihat kehadiran sosok Rizieq Shihab dan pendukungnya sebagai ancaman, lantaran peta perpolitikan nasional sudah berubah belakangan.
Walaupun sentimen ‘anti-Jokowi’ masih disuarakan Rizieq Shibab dan pendukungnya, Dave menganggap sentimen seperti itu makin melemah.
“Karena waktu pilpres yang lalu, calonnya [kubu Rizieq Shihab] Pak Prabowo. [Dan] Pak Prabowo sekarang sudah gabung ke pemerintah,” kata Dave kepada BBC News Indonesia, Rabu (26/05).
Dengan demikian, Dave tidak melihat kehadiran Rizieq yang menyebut dirinya sebagai oposisi sebagai “ancaman yang besar”.
“Saya tidak melihatnya sebagai ancaman yang besar,” ujarnya.
Jika saat ini dirasakan sentimen anti pemerintahan Jokowi itu masih terlihat, hal itu lantaran kejadiannya “masih baru”.
“Ini kejadiannya baru beberapa tahun yang lalu, dan sekarang ‘kan Presidennya masih Jokowi, akan tetapi saya melihat sentimennya makin melemah,” jelasnya.
Namun demikian Dave meminta pemerintahan Jokowi agar tidak melakukan pendekatan “kekerasan atau hantam langsung” terhadap orang-orang yang selama ini dianggap sebagai pendukung Rizieq.
Di sisi lain, Dave Laksono mengatakan, penggunaan politik identitas keagamaan dalam perpolitikan, tidak cocok bagi proses demokrasi yang sehat.
“Kita memilih calon bukan berdasarkan kemampuan atau kecakapan seseorang, tapi dilihat dari identitas [suku atau agama]… ini memberangus demokrasi itu sendiri,” kata Dave kepada BBC News Indonesia, Rabu (26/05).
Dalam praktiknya, Dave tidak memungkiri politik identitas masih berlangsung di masyarakat, yang antara lain ditunjukkan sentimen berdasarkan isu agama.
Dia mencontohkan hal itu terlihat nyata dalam Pilpres 2019 dan di pilkada di Jakarta.
“Pasti [politik identitas] akan selalu ada semangat itu, dan selalu digunakan lawan politik untuk mengurangi suara kita,” kata Dave.
Pengacara: ‘Rizieq Shihab berpotensi menjadi vote-getter di Pilpres 2024’
Salah-seorang pengacara Rizieq Sihab, Sugito Atmo Prawiro mengatakan kliennya berkukuh tetap akan berpolitik dan bersikap oposisi terhadap pemerintah.
“Sikap politik itu dilindungi Undang-undang, jadi tidak ada yang berhak menghalangi. Sikap politik dia akan dicarikan momentum yang tepat, ketika dia sudah di luar (penjara),” ujar Sugito Atmo Prawiro, pengacara Shihab kepada BBC News Indonesia, Rabu (26/05).
Namun diakuinya, saat ini gerak-gerik kliennya dibatasi, dikontrol, dan diatur, sehingga kesulitan untuk menyuarakan sikap politiknya. “Kecuali kalau nanti dia sudah bebas,” ujarnya.
Menurutnya, Rizieq merupakan pendukung “tokoh tertentu” terkait Pemilu Presiden 2024. Kenyataan ini pula yang disebutnya membuat kliennya diperkarakan secara hukum, belakangan.
“[Rizieq Sihab] dianggap berpotensi untuk menjadi vote–getter bagi pemilih pemula atau umat Islam, juga bisa mengkhawatirkan,” katanya.
Alasan lainnya, banyak dugaan pelanggaran protokol kesehatan yang terjadi di masyarakat, tapi menurutnya “hanya Rizieq Shihab yang disidangkan”.
“Ini sudah menjadi gambaran jelas (lebih merupakan perkara politik),” ujarnya.
Sugito mengaku apa yang dialami kliennya saat ini menyebabkan kekuatannya sebagai oposisi menjadi “dibungkam”.
“Dan akhirnya pendukungnya bersikap dalam diam. Bukan berarti tidak bersikap. Kalau nanti ada pilpres, atau kegiatan politik, ketika ada momentum tertentu, pasti akan bersikap,” jelas Sugito.
“Sekarang diam dalam ketakutan, karena kekuatan sekarang sangat represif terhadap yang berbeda pendapat,” tambahnya.
[ad_2]
Source link