[ad_1]
Lebih dari 22.300 orang meninggal dunia setelah gempa mengguncang Turki bagian selatan dan Suriah utara.
Presiden Recep Tayyip Erdogan mengakui respons pemerintah saat bencana gempa terjadi pada Senin tak secepat harapannya.
Erdogan telah dikritik oleh para penyintas karena jumlah tim evakuasi sedikit dan bantuan kemanusiaan yang tak datang di hari pertama gempa.
Berbicara kepada media di Kota Adiyaman, yang juga terdampak gempa, dia berkata: “Begitu banyak bangunan yang rusak sehingga sayangnya, kami tidak dapat mempercepat intervensi secepat yang kami inginkan.”
Dia juga mengatakan sejumlah orang menjarah pasar dan pertokoan, dan menambahkan bahwa keadaan darurat yang diumumkan di daerah tersebut akan memungkinkan negara untuk menjatuhkan hukuman yang diperlukan.
Sementara itu, Presiden Bashar al-Assad muncul di televisi Suriah bertemu dengan tim penyelamat di lokasi gedung-gedung yang runtuh di wilayah yang dikuasai pemerintah, Aleppo.
Seorang pejabat tampak memberi hormat kepadanya, lalu keduanya bercakap-cakap sambil berjabat tangan.
Ini adalah kunjungan publik pertama Assad ke area yang terdampak gempa.
Organisasi masyarakat Helm Putih yang beroperasi di area yang dikuasai pemberontak mengatakan, wilayah barat laut Suriah “rusak berat”.
Puluhan ribu warga Turki telah bermalam dalam kedinginan yang menggigil di tempat penampungan darurat setelah tempat tinggal mereka hancur.
Presiden Turki menyebut gempa bumi itu sebagai ‘bencana (paling besar) abad ini’.
Di titik-titik yang paling parah terdampak gempa, ribuan pengungsi yang kehilangan rumah harus bertahan dalam suhu udara dingin dengan makanan dan air terbatas.
Ada ketakutan yang semakin nyata bahwa para penyintas gempa tidak akan bertahan dari kondisi ini.
PBB khawatir akan dampak gempa yang sebenarnya
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres memperingatkan dampak penuh dari gempa bumi ini masih “tengah berlangsung di depan mata kita”, terutama di Suriah di mana sedang terjadi perang saudara yang memberatkan negara.
Pada Kamis (9/2), utusan bantuan kemanusiaan PBB pertama melewati perbatasan Bab al-Hawa dari Turki menuju bagian barat laut Suriah.
Perbatasan itu merupakan satu-satunya cara bantuan kemanusian PBB dapat menjangkau wilayah Suriah tanpa harus melewati area yang dibawah kendali pemerintah Suriah.
Guterres berjanji akan mengirim lebih banyak bantuan dan ia juga mendorong Dewan Keamanan PBB untuk mengizinkan pengiriman suplai melalui lebih dari satu akses perbatasan.
“Ini adalah momen persatuan, bukan momen untuk mempolitisasi atau memecah belah tetapi yang jelas kita butuh dukungan masif,” katanya.
Munira Mohammad, ibu dari empat anak yang kabur dari Aleppo di Suriah setelah gempa, mengatakan kepada kantor berita Reuters pada Kamis (9/2) bahwa keluarganya sangat memerlukan pemanasan dan suplai:
“Tadi malam kami tidak bisa tidur karena kedinginan. Kondisinya sangat buruk.”
Tim penyelamat bertajuk The White Helmets (Helm Putih) mengatakan satu-satunya konvoi PBB yang berhasil sampai di daerah itu tidak membawa peralatan khusus untuk membebaskan orang yang terperangkap di bawah reruntuhan.
Para pejabat mengatakan pada Jumat (10/2) sebanyak 18.324 orang telah meninggal di Turki. Angka ini melebihi jumlah korban yang meninggal akibat gempa di bagian barat laut Turki pada 1999, yakni 17.000 orang.
Informasi terbaru dari Suriah menyebut angka kematian di sana mencapai 3.377 jiwa.
Gempa bumi tersebut merupakan salah satu bencana alam paling mematikan dalam abad ini, mengalahkan sejumlah bencana lainnya seperti gempa bumi dan tsunami 2011 yang terjadi di Jepang.
Resat Gozlu, seorang penyintas di bagian tenggara Turki yang kini tinggal di komplek olahraga dengan keluarganya, mengatakan tim penyelamat baru sampai lokasi tiga hari setelah gempa.
Ia mengatakan masih banyak warga yang terjebak di bawah reruntuhan dan lainnya meninggal karena hipotermia.
“Kalau ini berlanjut, bisa muncul banyak masalah kesehatan serius dan penyakit,” kata Gozlu kepada BBC.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sempat memperingatkan bencana kemanusiaan kedua dapat terjadi jika para penyintas tidak bisa mendapatkan akses ke tempat berlindung, makanan, air dan obat dengan cepat.
Direktur Regional WHO untuk Eropa, Dr Hans Kluge, mengatakan kepada BBC bahwa para staf WHO di Gaziantep Turki sedang tidur di mobil-mobil karena “masih ada ratusan gempa susulan”.
Dr Kluge mengatakan masyarakat di Suriah bergantung pada tempat penampungan air yang runtuh pertama saat gempa.
Dia mengatakan waduk itu perlu diganti sebelum penduduk di negara itu terkena wabah kolera, yang katanya sudah menjadi masalah sebelum gempa.
‘Saya nyaris tidak bertahan dari gempa, sekarang saya tak punya rumah’
Leyla Kurtdereli berdiri di depan rumahnya yang hancur di Provinsi Hatay.
Ia masih ingat jelas momen ketika getaran gempa pertama datang. “Pertama-tama saya mendengar suara seperti melolong, dan saya tidak bisa mengerti itu suara apa.
“Tiba-tiba saya merasa seperti melompat ke atas sekitar dua meter. Saya berpikir ini akan berlangsung selamanya. Tak lama, dinding rumah meledak dan runtuh di atas kami. Pintu macet dan saya tidak bisa membukanya. Saya harus merangkak seperti laba-laba di dalam rumah. Butuh 45 menit bagi saya untuk menemukan jalan ke luar.”
Blok apartemen lamanya masih berdiri, namun kerusakannya sangat parah dan Leyla tak diperbolehkan masuk ke dalamnya.
Dengan berlinang air mata, dia mengatakan bahwa dia telah kehilangan rumah dan seluruh harta bendanya. Dia sekarang tinggal bersama anak perempuannya.
Dia telah mendengar ada penjarahan setelah gempa terjadi, dan ia khawatir benda-benda miliknya dicuri para penjarah.
Di sekitar apartemen lama Leyla, warga yang tak punya saudara atau teman yang bisa menampung mereka, kini bertahan hidup di jalanan. Mereka menyalakan api untuk bertahan dari dingin yang menggigit di malam hari.
Penyintas yang selamat tumbuhkan harapan akan keajaiban
Tim penyelamat yang bekerja di Kota Iskenderun meminta orang-orang di sekitar sebuah gedung yang runtuh untuk diam. Mereka mencoba mendengar apakah ada tanda-tanda penyintas yang masih hidup di bawah reruntuhan.
Alat-alat berat pun dimatikan selama beberapa menit. Tak lama, seseorang dari tim penyelamat meminta ambulans datang mendekat, seorang perempuan ditemukan dalam keadaan hidup.
Kerumunan bersorak dan mulai menangis haru. Beberapa orang berkata kepada BBC ini adalah pertama kalinya penyintas yang masih hidup ditemukan di bawah puing apartemen enam lantai itu sejak Senin.
Perempuan yang selamat itu, kata warga, adalah ibu tunggal berusia lima puluhan yang tinggal sendirian di gedung itu. Anaknya berdiri di samping ambulans saat ia diangkut.
Temuan ini, kata warga, memberi mereka harapan baru bahwa keluarga mereka yang masih hilang dapat ditemukan selamat. Satu orang lain berkata dia mengharapkan “keajaiban”.
Seorang relawan, Salah Abouglasem dari lembaga Islamic Relief, telah membantu proses evakuasi di Kota Gaziantep sejak Senin petang.
Dia berkata, para relawan dan tim evakuasi masih bekerja dan “masih percaya keajaiban bisa terjadi… di saat yang sama, kami merasa telah kalah dalam pertarungan dengan waktu”.
Sekarang, lebih dari 72 jam telah berlalu – kurun waktu di mana banyak korban bisa selamat – dan udara yang membeku semakin menipiskan harapan adanya penyintas.
“Sekarang kami mulai khawatir dengan kebutuhan sanitasi para pengungsi, apakah para penyintas bisa bertahan, tidak ada air bersih,” ujar Salah.
Dia menambahkan, keadaan teman-temannya di Suriah “bahkan lebih sulit” karena tidak adanya usaha yang terkoordinasi.
Politik halangi pengiriman bantuan di Suriah
Pengiriman bantuan ke wilayah barat laut Suriah terbukti sangat sulit, tulis wartawan BBC Anna Foster.
Rute-rute bantuan yang dulu ada di negara yang nyaris 12 tahun bergulat dengan perang sipil, telah berangsur-angsur ditutup selama beberapa tahun terakhir. Saat ini, satu-satunya rute bantuan ke area tersebut harus melewati wilayah yang dikuasai pemberontak, yakni di Bab al-Hawa.
Rute ini juga masih dibuka karena adanya mandat dari Dewan Keamanan PBB. Mandat ini diperbarui pada Januari untuk enam bulan. Namun kerusakan jalanan akibat gempa membuat jalan ini harus ditutup selama beberapa hari.
Bahkan ketika jalan ini dibuka, secara logistik bantuan akan sulit lewat. Karena situasi politik, konvoi bantuan tidak bisa lewat atau mencapai daerah yang dikuasai pemberontak Suriah di barat laut tanpa izin.
Indonesia akan kirim bantuan ke Turki dan Suriah
Pemerintah Indonesia sedang menyiapkan bantuan untuk korban gempa bumi dahsyat di Turki dan Suriah. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menjelaskan, bantuan akan dikirim dalam dua tahap.
Pada tahap pertama, Indonesia akan mengirim tim Medium Urban Search and Rescue (MUSAR) beranggotakan 47 personel dari Basarnas dengan kualifikasi SAR internasional. Tim ini diperkirakan akan berangkat ke Turki 1-2 hari ke depan.
“Saat ini kita sedang menunggu flight clearance untuk kita bisa membawa personel ini lengkap dengan peralatan yang seluruhnya kita bawa dari indonesia,” kata Plt. Pusat Data Informasi dan Komunikasi Kebencanaan (Pusdatinkom) BNPB Abdul Muhari dalam jumpa pers, Kamis (09/02).
Peralatan tersebut mencakup dua unit kendaraan operasional yang akan dibawa dengan pesawat Hercules milik TNI, Abdul Muhari menambahkan.
Pada tahap kedua, Indonesia akan mengirim tim Emergency Medical Technician (EMT) beranggotakan sedikitnya 90 orang dari Kemenkes, TNI/Polri, dan Ormas yang berkualifikasi dalam medical emergency response.
Tim ini akan membawa obat-obatan beserta satu paket unit rumah sakit lapangan dengan kapasitas untuk melakukan operasi medis darurat di lapangan.
Abdul Muhari mengatakan bahwa sementara ini, tim MUSAR dan EMT hanya akan dikirim ke Turki. Itu karena baru di Turki mereka bisa melakukan koordinasi serta memastikan keselamatan tim di lapangan.
“Dan kita masih terus memantau perkembangan dan situasi di Suriah. Sekiranya nanti memungkinkan untuk deployment tim SAR maupun tim medis maka ini akan dipertimbangkan untuk dikirimkan,” ujarnya.
Selain membantu penyelamatan, Indonesia juga berencana mengirim bantuan berupa uang tunai dan logistik.
Untuk uang tunai, estimasi awalnya sebesar $1 juta masing-masing untuk Turki dan Suriah. Adapun logistik berupa makanan siap saji dan perlengkapan yang dibutuhkan sesuai dengan daftar yang diberikan kepada pemerintah Indonesia.
“Bantuan akan dikirimkan langsung ke masing-masing negara dengan empat unit pesawat. Total dukungan logistik 70 ton untuk masing-masing negara,” kata Abdul Muhari.
[ad_2]
Source link