[ad_1]
Ketika Museum Internasional Afrika Amerika diresmikan pada Januari 2022 di Charleston, Carolina Selatan, kehadirannya akan menceritakan kisah perbudakan di Amerika Serikat (AS), yang berarti kembali lagi ke masa 300 Sebelum Masehi (SM).
Michael Boulware Moore tumbuh dewasa dengan mewarisi cerita neneknya tentang sosok budak berusia 23 tahun, Robert Smalls, yang kabur dari kapal Konfederasi di pelabuhan Charleston selama Perang Sipil di AS dan berlayar menuju kebebasan.
Dia menyelamatkan budak-budak lainnya, termasuk anggota keluarganya. Belakangan, dia menjadi seorang negarawan, menjalani lima masa jabatan, di Dewan Perwakilan Rakyat.
Sosok pahlawan perang sekaligus politikus ini adalah kakek buyut Moore.
Jadi, ketika pada 2016, Moore ditunjuk pimpinan Museum Internasional Afrika Amerika, dia merasa sangat terhubung dengan misinya guna menghormati berbagai kisah perjalanan masyarakat Afrika-Amerika.
Pengalaman Smalls merupakan salah satu dari banyak pengalaman yang akan dibagikan di museum senilai $100 juta itu.
Museum yang didirikan di daerah Gadsden’s Wharf di Cooper River, yang pernah menjadi salah satu pelabuhan perdagangan budak paling ramai di AS.
(Pada tahun 1808, AS melarang impor budak secara internasional, tetapi perdagangan budak berlanjut di dalam negeri hingga 1865.)
Orang-orang Afrika yang selamat dari perjalanan lintas Atlantik yang melelahkan harus menunggu nasib mereka di gudang yang mengelilingi dermaga, sebelum dijual di tempat-tempat pelelangan.
Kadang-kadang mereka dikurung selama berbulan-bulan, dan ratusan orang mati kedinginan.
Tempat ini menjadi titik nol bagi pengalaman orang-orang Afrika di Amerika. Di museum ini sejarah mereka akan diungkap di sembilan galeri dan sebuah taman peringatan.
“Misi Museum Internasional Afrika Amerika ini adalah untuk mengangkat suara-suara, kontribusi dan sejarah mereka yang diperbudak, dari berbagai tempat di AS,” kata Moore.
“Hal ini untuk menciptakan artikulasi sejarah Amerika yang lebih jujur dan benar, tentang apa yang terjadi di Charleston, di Amerika, serta di dunia.”
Dalam beberapa tahun terakhir, Charleston telah berupaya untuk mengangkat masa lalunya.
Serta, sebuah monumen pendukung perbudakan serta mantan Wakil Presiden John C Calhoun diturunkan dari taman umum pada 2020.
Museum ini merupakan simbol dari kemajuan itu, dan Moore berharap, menjadi katalisator bagi perubahan lebih lanjut.
“(Misinya) adalah untuk menciptakan pengalaman yang, tidak saja secara historis dan emosional penting untuk semua, tetapi terutama untuk menginspirasi generasi muda yang barangkali belum pernah melihat seseorang pada dinding-dinding museum yang penampakannya mirip mereka, dan yang, karena sudah melihat banyak contoh prestasi dari orang kulit hitam, akan terpacu untuk berpikir lebih luas tentang rangkaian aspirasi mereka,” katanya.
Menurut Tonya Matthews yang menggantikan Moore sebagai presiden dan CEO pada 2021, museum ini memberikan konteks yang luas bagi pengalaman orang-orang Afrika Amerika, suatu narasi yang dimulai dengan peradaban Afrika kuno dan melewati zaman modern.
“Perbudakan bukanlah awal atau akhir dari perjalanan orang Afrika Amerika,” kata Matthews. “Hal ini berada di tengah. Museum ini kembali ke 300 tahun Sebelum Masehi, berupa dokumentasi paling awal tentang budidaya beras di benua Afrika. Orang-orang Afrika diperbudak hanya karena peradaban tentang itu.”
Kapas menguasai sebagian besar wilayah Selatan, tetapi beras Carolina Gold (sejenis beras, yang juga dikenal sebagai golden seed) adalah hasil panen yang menjadikan Charleston salah satu kota terkaya di dunia sebelum Perang Saudara (1861-1865).
Museum Carolina Gold Gallery menampilkan akar sistem perkebunan di Lowcountry, suatu wilayah di sepanjang pantai Carolina Selatan, dan menggambarkan bagaimana kekayaan Charleston didukung oleh pengetahuan dan budak-budak dari Afrika Barat, di mana pertanian padi lahan basah biasa terjadi.
Saat ini, mesin ekonomi Charleston adalah pariwisata, bukan beras.
Para pengunjung datang untuk berjalan-jalan melalui rumah-rumah besar yang sudah ada sebelum perang, menikmati perjalanan dengan kuda dan kereta di sepanjang jalan berbatu, dan mengagumi gereja-gereja bersejarah yang membuat Charleston dijuluki Kota Suci.
Salah satunya adalah Frankly Charleston yang menciptakan landmark seperti Citadel, perguruan tinggi militer di Carolina Selatan, juga mengeksplorasi wilayah yang kurang dikenal di luar jalur wisata biasa.
Pilihan lainnya adalah Slavery to Civil Right, tur jalan kaki ke tempat seperti Blake-Grimke House milik dua bersaudari abolisionis abad ke-19, Sarah dan Angelina Grimke, dan dipimpin oleh sejarawan dan penulis Charleston, Ruth Miller.
Serta, tempat yang dulunya pusat perbelanjaan Kress & Co di mana para pelajar dari sekolah menengah atas yang semua muridnya berkulit hitam melakukan aksi duduk di gerai makan siang yang melarang pelanggan berkulit hitam pada 1960an.
Meski demikian, pariwisata dapat menjadi pedang bermata dua bagi penduduk Afrika Amerika, kata Michael Allen.
Allen adalah aktivis sipil yang baru-baru ini meraih penghargaan Order of the Palmetto di South Carolina untuk karyanya berupa warisan bagi masyarakat Afrika-Amerika. Dia juga anggota jajaran pendiri Museum Internasional Afrika Amerika.
“Pengaruh dari pariwisata dan tantangan abad ke 21 telah mempengaruhi kehidupan keluarga-keluarga dan bisnis di daerah perkotaan Charleston secara tidak seimbang,” kata Allen.
“Bersama-sama dengan investasi bisnis, gentrifikasi telah mengakibatkan hampir hilangnya kehadiran penduduk Afrika Amerika di kota semenanjung bersejarah itu.”
Setelah pensiun dari National Park Service, Allen memulai karirnya pada 1980 sebagai penjaga di Taman Nasional Fort Sumter, lokasi awal mula terjadinya Perang Saudara.
Dia memperhatikan hampir tidak ada perwakilan dari masyarakat Afrika Amerika di pameran itu.
Sebagian besar masa karirnya dihabiskan dalam upayanya memasukkan sejarah kulit hitam di situs bersejarah tersebut.
Allen adalah Gullah, keturunan komunitas masyarakat budak Afrika Barat yang tinggal di kepulauan di perairan Carolina Selatan selama beberapa generasi setelah Perang Saudara.
Karena keberadaan tempat tinggal mereka di kepulauan itu relatif tertutup, mereka dapat mempertahankan banyak tradisi dan bahasa asli Afrika mereka, lebih banyak dari kelompok masyarakat Afrika Amerika lainnya. (Di Georgia dan Florida, mereka disebut Geechee).
Melalui National Park Service, Allen membantu mengembangkan Koridor Warisan Budaya Gullah Geechee, satu dari empat Wilayah Warisan Nasional yang membentang dari Wilmington, Carolina Utara, hingga Jacksonville, Florida.
Tujuannya untuk membangkitkan segala peninggalan terkait musik, kerajinan, makanan dan praktik-praktik keagamaan yang membentuk budaya yang dinamis ini.
Charleston City Market yang bersejarah adalah salah satu dari banyak situs di Charleston yang menawarkan sekilas tentang tradisi Gullah.
Para pengunjung dapat mengamati para pengrajin Gullah yang sedang menjahit keranjang yang terbuat dari rumput wangi, benda yang sekarang menjadi salah satu ikon budaya mereka yang paling dikenal.
Allen merasa senang karena Museum Internasional Afrika Amerika akan menampilkan Gullah Geechee Gallery yang didedikasikan untuk mempraktekkan bahasa dan budaya mereka.
“Saya telah melihat dan mengalami tantangan dan perjuangan untuk menghadirkan pengakuan dan penghormatan kepada komunitas Gullah Geechee secara langsung,” kata Allen.
Dia menyebut museum sebagai “sebuah pengharapan dan alat perubahan bagi kehidupan masyarakat Gullah Geechee di seluruh Low Country dan bangsa ini.”
Meskipun Allen memiliki kekhawatiran tentang pariwisata dan masalah-masalah lain yang sebagian besar memengaruhi masyarakat Afrika Amerika, dia mengakui bahwa kota tersebut telah mengambil langkah penting menuju inklusivitas.
“Menurut saya, wilayah Charleston yang lebih besar telah membuat langkah besar untuk menceritakan narasi Afrika-Amerika yang lebih inklusif, beragam dan holistik,” katanya.
Untuk satu hal, rumah-rumah besar sebelum masa perang menghindari apa yang disebut Allen sebagai tur “pengalaman rok mengembang” yang fokus pada pemilik rumah kulit putih dan sebagian besar mengabaikan mereka yang diperbudak.
“Glorifikasi dan romantisme masa lalu itu sebagian besar karena keinginan untuk menghormati masa lalu para pemilik budak,” kata Allen.
Pada 1990an, situs-situs bersejarah ini mulai mengambil pendekatan yang lebih inklusif dan berimbang. Gloria Barr Ford telah menjadi bagian dari perubahan itu.
Seorang Gullah yang merupakan penerjemah kehidupan budak di Boone Hall Plantation & Gardens menceritakan kisah-kisah dan lagu-lagu rohani di luar sembilan kabin bata yang dulunya adalah tempat tinggal para budak.
Hal ini cocok karena dia juga seorang pendeta di Dickerson AME Church di Georgetown, kota pelabuhan di utara Charleston tempat dia dilahirkan dan dibesarkan.
Nenek moyang Ford diperbudak di Hilton Head Island, sekitar 150 kilometer sebelah utara Charleston.
Keluarganya mengalami undang-undang Jim Crow (undang-undang negara bagian dan kawasan lokal yang memberlakukan segregasi rasial di wilayah selatan Amerika setelah berakhirnya Perang Saudara) selama bertahun-tahun, juga gerakan hak-hak sipil pada 1960an.
“Anda tidak akan pernah bisa melupakan perbudakan atau Jim Crow,” kata Ford, “tetapi [museum] dapat menyatukan masyarakat ke tingkat yang lebih tinggi, yaitu tingkat moral.”
Dia berharap para pengunjung akan datang dari seluruh dunia “untuk melihat apa yang terjadi”.
Dan, sebagaimana yang dicatat Matthews, untuk melihat apalagi yang bisa dilakukan.
“Museum adalah landasan peluncur rasa ingin tahu bagi mereka yang berani,” kata pimpinan museum.
“Saya penggemar alis yang terangkat. Saya tidak ingin orang-orang berkunjung dan berpikir bahwa mereka telah menyelesaikan perjalanan sejarah orang kulit hitam dalam sekali kunjungan museum.
“Kesuksesan [terkait keberadaan museum ini] bagi saya adalah ketika orang-orang berpikir, ‘ada banyak hal yang tidak saya ketahui, jadi saya akan mengambil buku dan mempelajarinya lebih jauh’.”
[ad_2]
Source link