[ad_1]
Sebanyak 15 WNI, mayoritas terdiri dari keluarga yang mempunyai anak kecil atau bayi serta ibu hamil, telah dievakuasi ke Kantor KBRI di Khartoum, di tengah situasi pertempuran yang masih berlangsung.
Suara berat artileri di Kota Khartoum, dan beberapa bagian wilayah di Sudan masih bergemuruh hingga Rabu (19/04), sejak pertempuran antara pasukan militer dan paramiliter berlangsung Sabtu pagi (15/04).
Sebanyak 39 rumah sakit dilaporkan “berhenti beroperasi”, sembilan di antaranya dibom.
Sejumlah pertokoan dilaporkan ditutup, dan belum ada instruksi dari pihak yang bertikai untuk melakukan proses evakuasi masyarakat sipil.
Perwakilan RI di Sudan telah mengevakuasi 15 warga Indonesia di tengah konflik dan pertempuran di Sudan yang dimulai sejak Sabtu, (15/04).
Namun, ratusan WNI yang berada di ibu kota Khartoum lainnya belum dapat dievakuasi ke rumah aman.
KBRI mengimbau kepada WNI yang belum dapat menjangkau rumah aman, untuk “tetap berada dalam rumah masing-masing dan tidak melakukan kegiatan di luar rumah.”
“Demi keselamatan, pergerakan menuju Safe House KBRI dilakukan ketika situasi keamanan sudah memungkinkan,” sebut laporan KBRI Khartoum yang diterima BBC News Indonesia, Rabu (19/04).
Ke-15 WNI yang sekarang berada ke rumah aman di Kantor KBRI Khartoum, berhasil dievakuasi saat pihak KBRI mendistribusikan logistik.
“Menggunakan kesempatan pergerakan saat melakukan distribusi logistik, KBRI membawa 15 WNI dimaksud dari wilayah Khartoum yang mayoritas terdiri dari keluarga yang mempunyai anak kecil atau bayi serta ibu hamil,” kata laporan itu lagi.
KBRI distribusikan logistik
Sebelumnya, KBRI Khartoum mendistribusikan logistik kepada sejumlah WNI yang terdampak konflik di sejumlah kawasan Khartoum, Selasa (18/04).
Bantuan itu diberikan kepada sekitar 200 WNI terdampak perang “yang mayoritas berstatus Mahasiswa dan Pekerja Migran Indonesia”.
“Petugas KBRI bekerja sama dengan PPI Sudan dan Ikatan Mahasiswa Indonesia (IMI) menelusuri beberapa wilayah di Arkaweet dan Makmurat yang berjarak 500 meter dari zona konflik bersenjata,” sebut laporan KBRI Khartoum.
KBRI juga telah mendistribusikan sembako kepada WNI, termasuk kepada 76 mahasiswa yang ditampung di Auditorium Kampus Internasional University of Africa.
Bantuan yang diberikan berupa mie instan, roti, beras, telur, teh, kopi dan air mineral. Pasokan didapatkan KBRI di tengah kelangkaan pasokan logistik akibat tersendatnya distribusi barang masuk dan banyaknya toko yang tutup.
Pada 16 April, KBRI juga telah melakukan silaturahmi virtual dengan WNI berdomisili di Khartoum dan sekitarnya untuk menyampaikan langkah dan imbauan KBRI di masa genting tersebut.
Sesuai data KBRI, jumlah WNI tercatat sebanyak 1.209 orang, mayoritas berdomisili di wilayah Khartoum, dan sebagian di Wad Madani, dan Port Sudan.
Bagaimana situasi terakhir di Sudan?
Gemuruh artileri masih terus terdengar di Kota Khartoum dan sekitarnya.
Sampai Rabu (19/04), dilaporkan pertempuran antara militer dan paramiliter di Sudan telah berdampak terhadap sistem kesehatan di Kota Khartoum.
Serikat dokter di Sudan mengatakan sebanyak 39 dari 59 rumah sakit di Khartoum dan negara bagian terdekat “berhenti beroperasi”, menunjukkan situasi kemanusiaan yang makin memburuk di negara itu.
Komite Sentral Dokter Sudan (CCSD) melaporkan hanya 20 rumah sakit yang beroperasi penuh atau sebagian. Pernyataan ini diunggah CCSD melalui Facebook pada Rabu pagi.
“Di antara rumah sakit yang berhenti beroperasi, ada sembilan rumah sakit yang dibom, dan 16 rumah sakit yang terpaksa (tenaga kesehatan dan pasiennya) dievakuasi,” lapor CCSD.
Pertempuran terus belanjut di Khartoum dan wilayah Sudan lainnya karena pihak militer dan paramiliter saling menyalahkan terkait pelanggaran gencatan senjata kemanusiaan 24 jam, yang berlaku Selasa malam.
Saksi mata: Penjarahan dan dugaan kekerasan seksual
Juru kampanye keadilan gender dan demokrasi, Hala Y. Alkarib melaporkan Pasukan Pendukung Cepat (RSF) dan tentara paramiliter sejenisnya berusaha masuk ke rumah-rumah warga untuk menjarah.
“Ada laporan kekerasan seksual yang belum dikonfirmasi,” kata Hala Y. Alkarib yang telah mengumpulkan kesaksian dari teman dan koleganya di seluruh Kota Khartoum.
Hala berkata kepada BBC Newsday, bahwa ia meyakini RSF tak memiliki rantai pasok logistik, dan karenanya mengandalkan penjarahan.
Tidak ada yang bisa melindungi rakyat, katanya, “karena militer dan polisi Sudan – keduanya mantan mitra RSF – tidak cukup punya orientasi untuk memberikan perlindungan yang luas pada warga sipil”.
Situasi saat ini pertokoan tutup, dan pasokan listrik terputus, kata dia.
Kondisi penduduk berada pada risiko tinggi – karena banyak warga pinggiran kota yang bergantung “100% pada ekonomi informal”. Sementara, orang-orang yang tinggal di pusat kota – yang menjadi pembeli/konsumen – harus meninggalkan rumah mereka.
Hala melanjutkan, sejauh ini tidak ada tempat untuk pergi, karena sebenarnya jauh lebih berbahaya untuk keluar karena tidak ada rute yang aman.
“Tidak ada instruksi dari militer, ke mana harus pergi. Tidak ada hotline, ini sangat acak.
“Beberapa orang mencoba untuk meninggalkan kota, tetap sangat rumit karena, dari apa yang kami dengar, terdapat juga kantong-kantong pertempuran yang meluas di sekitar Khartoum,” kata Hala.
Pada Senin (17/04), serikat dokter di Sudan melaporkan hampir 100 orang meninggal akibat pertempuran bersenjata, dan lebih dari 1.000 mengalami luka.
Pertempuran di Sudan berawal sejak Sabtu pagi (15/04). Namun, tidak diketahui siapa memuntahkan peluru pertama kali.
Pertempuran itu terjadi setelah melewati hari-hari yang menegangkan, terutama saat anggota RSF kembali ditempatkan di seluruh negara, yang kemudian dianggap ancaman oleh militer.
[ad_2]
Source link