[ad_1]
- Penulis, Jonathan Head
- Peranan, Koresponden Asia Tenggara, BBC News
Simbol tanaman ganja telah muncul di antara lampu-lampu neon yang menerangi Sukhumvit Road, jalan paling internasional di Bangkok.
Sejak ledakan bisnis terkait ganja di Thailand sejak tanaman itu didekriminalisasi Juni lalu, gambar daun lima jari dan berwarna hijau cerah muncul di mana-mana.
Apabila berjalan sepanjang dua kilometer ke arah timur dari kantor BBC di Bangkok, Anda akan melewati lebih dari 40 apotek yang menjual kuncup bunga ganja dan semua perlengkapan yang diperlukan untuk menghisapnya.
Berjalan ke arah berlawanan, ke Khao San Road yang menjadi tempat nongkrong backpacker terkenal terdapat pusat perbelanjaan bertema ganja, Plantopia. Toko-tokonya setengah tersembunyi di balik kabut asap yang dikepulkan para pelanggan yang mencoba produk tersebut.
Situs web Weed di Thailand mencantumkan lebih dari 4.000 bisnis di seluruh negeri yang menjual produk ganja dan turunannya.
Dan ini adalah Thailand, yang hingga Juni 2022 lalu masih menjatuhkan hukuman penjara lima tahun kepada seseorang hanya karena memiliki ganja, hingga 15 tahun karena memproduksinya; serta hukuman mati jika terbukti mengedarkan narkoba. Laju perubahan telah begitu menakjubkan.
“Ini berantakan, tapi kemudian ini Thailand. Tanpa liberalisasi mendadak seperti ini saya pikir itu tidak akan terjadi sama sekali,” kata Kitty Chopaka, pendiri Chopaka, sebuah perusahaan konsultan industri ganja, dan telah menjadi bagian dari komite parlemen yang berusaha mengesahkan peraturan baru.
Tapi ini bukan jenis pembebasan yang diimpikan aktivis seperti dia, yang sudah lama mendorong legalisasi ganja.
“Kami butuh regulasi. Menjabarkan apa yang bisa dan tidak bisa Anda lakukan,” kata Chopaka. “Ini menyebabkan banyak kebingungan, banyak orang tidak tahu apa yang bisa mereka lakukan, di mana mereka bisa berinvestasi.”
Sudah ada aturan, tetapi penegakannya serampangan, atau tidak ditegakkan sama sekali. Tidak semua apotek mengantongi lisensi, yang seharusnya mereka miliki, dan mereka seharusnya mencatat asal semua bunga ganja yang mereka jual serta merekam data pribadi setiap pelanggan.
Seharusnya tidak ada produk selain bunga ganja yang belum diproses yang mengandung lebih dari 0,2 persen THC, zat kimia psikotropika dalam kanabis. Produk-produk tersebut juga semestinya tidak bisa dijual secara online.
Akan tetapi, Anda dapat menemukan pedagang yang menawarkan brownies dan permen ganja dengan kandungan THC tinggi di dunia maya, dikirim ke rumah Anda dalam satu jam.
Seharusnya ganja tidak boleh dijual kepada siapapun yang berusia di bawah 20 tahun, tapi siapa yang tahu bila produk itu bisa dikirim hanya dengan kurir ojek?
Ada restoran-restoran yang menyajikan hidangan mengandung ganja, seperti teh ganja, atau es krim ganja. Minimarket bahkan menjual air minum yang mengandung ganja.
Polisi telah mengakui bahwa mereka sendiri tidak yakin apa yang legal dan tidak legal sehingga mereka hanya menegakkan sedikit aturan tentang ganja.
‘Rezim’ baru kanabis ini bisa dibilang sebuah kecelakaan politik. Anutin Charnvirakul, pemimpin salah satu partai politik terbesar di Thailand, menjadikan dekriminalisasi ganja sebagai bagian dari manifestonya untuk Pemilu 2019.
Itu terbukti ampuh menarik hati pemilih, terutama karena gagasan – yang belum terbukti – bahwa ganja dapat menjadi sumber cuan alternatif bagi para petani miskin.
Sebagai menteri kesehatan di pemerintahan yang baru, Anutin memprioritaskan agar ganja dihapus dari daftar narkotika yang dilarang sesegera mungkin untuk memenuhi janji kampanyenya.
Namun parlemen Thailand, tempat benturan berbagai kepentingan, bergerak lambat.
Ganja didekriminalisasi sebelum ada regulasi untuk mengontrol bisnis-bisnis yang baru muncul. Dan proses pembuatan undang-undang baru terhambat oleh perseteruan antar partai.
Dengan adanya pemilu lagi pada bulan Mei, kecil kemungkinan undang-undang baru akan disahkan oleh parlemen sebelum akhir tahun ini. Partai-partai yang saling bersaing sudah memperingatkan akan bahaya ganja yang tidak diregulasi, dan mengancam akan kembali menjadikannya ilegal jika mereka berkuasa.
Masa depan industri baru yang bebas ini belum pasti.
Tukta, mahasiswa berusia 21 tahun, ikut-ikutan berbisnis mariyuana tahun lalu, menginvestasikan lebih dari satu juta baht untuk membuka sebuah toko ganja dan kedai kopi bernama The Herb Club di Distrik Klong Toei, Bangkok.
Gadis itu menjual 16 jenis bunga ganja kering, dengan harga berkisar US$10 (setara Rp146.000) hingga $80 (Rp1.168.000) per gram, tetapi ia khawatir peraturan akan berubah lagi. Lantaran ada begitu banyak toko-toko lain, ia mengaku bisnisnya tidak baik dan tidak juga buruk.
“Harganya jatuh karena ada demam ganja,” kata Chopaka.
“Ada banyak produk impor yang ilegal. Kami menumbuhkan jenis ganja dari luar negeri, yang butuh pendingin ruangan dan pencahayaan. Kita perlu berusaha mengembangkan jenis yang cocok dengan iklim Thailand untuk menghemat ongkos.
“Kita benar-benar perlu kembali ke tradisi lama, budaya lama. Karena ganja dan orang Thai, Thailand, terjalin erat dengan satu sama lain.”
Bagi banyak warga Thailand, yang besar di negara yang memandang semua narkotika sebagai kejahatan sosial dan berbahaya, mekarnya bisnis ganja sejak tahun lalu jelas mengherankan. Tetapi pandangan tanpa kompromi terhadap narkotika adalah perkembangan yang relatif baru.
Hingga akhir tahun 1970-an, mariyuana dibudidayakan secara luas oleh suku-suku perbukitan di Thailand utara, di wilayah perbatasan yang dikenal sebagai Segitiga Emas. Wilayah itu pula yang pernah menjadi pemasok sebagian besar opium dunia. Ganja juga sering digunakan sebagai rempah dan bumbu masakan di timur laut Thailand.
Ketika tentara AS tiba di Thailand pada tahun 1960-an untuk beristirahat dari peperangan di Vietnam, mereka menemukan tongkat Thai, dibuat dari kuncup ganja kering yang dibungkus dengan daun dan dililit ke batang bambu, seperti cerutu.
Para tentara mulai mengirimkan ganja Thailand ke kampung halaman dalam kuantitas besar. Bersama dengan heroin dari Segitiga Emas, ganja mencakup sebagian besar narkotika yang mengalir ke Amerika Serikat.
Setelah Perang Vietnam mereda, AS menekan Thailand untuk mengerem produksi narkotika. Pada 1979, Thailand mengesahkan Undang-Undang Narkotika, mengamanatkan hukuman pidana yang berat bagi orang yang menggunakan dan menjual narkotika, termasuk hukuman mati.
Ini bertepatan dengan reaksi konservatif di seluruh Asia Tenggara yang menentang sikap permisif terhadap narkotika dan seks pada tahun 1960-an, reaksi terhadap para backpacker yang merokok ganja dan melancong ke timur sepanjang “jalur hippie”.
Thailand, Singapura, dan Malaysia semuanya memerintahkan petugas imigrasi mereka untuk mengawasi kaum hippie dan melarang mereka masuk. Di bandara Singapura, mereka yang berambut panjang diberi pilihan untuk pergi ke tukang rambut atau putar balik.
Di Malaysia, siapapun yang dicurigai sebagai hippie paspornya akan dicap dengan SHIT – suspected hippie in transit – sebelum dideportasi.
Pemerintahan Thailand utamanya sangat waspada dengan budaya anak muda alternatif setelah menghancurkan gerakan mahasiswa kiri yang menewaskan puluhan orang di Universitas Thammasat Bangkok pada Oktober 1976.
Kaum konservatif takut para mahasiswa itu mendukung kudeta komunis di Thailand, seperti yang baru saja terjadi di negara jiran Laos, Kamboja, dan Vietnam.
Sementara itu, serangkaian proyek substitusi perkebunan yang disponsori Kerajaan Thailand berhasil membujuk kebanyakan suku perbukitan untuk berhenti menanam opium dan mariyuana, dan sebagai gantinya mencoba kopi atau kacang macadamia.
Sejak tahun 1990-an, sabu-sabu murah masuk ke Thailand dari wilayah-wilayah Myanmar yang dilanda perang. Kerusakan sosial akibat kecanduan sabu membuat masyarakat Thailand semakin menentang narkoba, dan berujung pada kampanye antinarkoba yang brutal pada 2003. Kala itu, setidaknya 1.400 terduga pengguna dan bandar narkoba ditembak mati.
Fakta bahwa penjara-penjara Thailand penuh – tiga-perempat dari seluruh napi dihukum karena pidana narkoba, banyak yang pelanggarannya ringan saja – yang akhirnya membujuk para pejabat Thailand untuk memikirkan ulang pendekatan keras mereka.
Apalagi ada pertimbangan bahwa ganja untuk pengobatan dan terapi dapat mendukung industri wisata kesehatan Thailand.
Dari situ, mereka melihat jug ada potensi dari industri ganja rekreasional.
“Selamat datang di Amsterdam dengan steroid,” teriak Tom Kruesopon, pengusaha Thailand yang dikenal di sini sebagai “Mr. Weed” karena perannya dalam melonggarkan hukum narkoba, kepada sekelompok turis Jerman yang baru saja turun dari pesawat, tidak percaya dengan apa yang mereka lihat.
Kruesopon telah membuka cabang toko ganja AS Cookies di Bangkok, dan menjelaskan berbagai jenis ganja yang ditanam secara lokal, masing-masing dalam toples yang diterangi dengan lampu. Pakaian dalam, sandal, dan kaos bertema ganja dipajang di rak.
Barangkali cerita-cerita familier tentang orang-orang Barat yang dikurung selama puluhan tahun di penjara Bangkok membuat para pengunjung tampak agak ragu-ragu. Tetapi Kruesopon meyakinkan mereka bahwa mereka tidak bisa lagi ditangkap karena membeli dan mengonsumsi bagian mana pun dari tanaman ganja di Thailand, meskipun ia tidak mengizinkan orang merokok di tokonya.
Ia yakin bisnisnya akan terus berkembang. “Akan ada beberapa perusahaan bernilai miliaran dolar di sini – saya jamin.” Tetapi ia juga mengakui bahwa regulasi yang lebih baik amatlah penting “kalau tidak, Anda akan membunuh angsa emasnya”.
Di luar parlemen, tak dinyana ternyata tidak begitu banyak perdebatan publik tentang ganja.
“Ini tidak baik. Buat saya ini [ganja] masih seperti narkotika … Hanya saja semakin banyak anak-anak muda yang menggunakannya dan mereka yang sebelumnya pernah menggunakannya sekarang menggunakannya lagi,” kata seorang pedagang kaki lima berusia 32 tahun.
Tetapi seorang pengemudi ojek yang lebih tua mengatakan legalisasi ganja tidak menguntungkan atau merugikannya: “Kami tidak memperhatikan karena kami belum pernah merokok ganja. Lagipula itu bukan masalah bagi kami.”
Beberapa dokter telah memperingatkan bahaya kecanduan ganja. Tetapi bagi sebagian besar orang Thailand itu tidaklah seberapa dibandingkan krisis sabu yang sudah berlangsung lama.
Toko-toko ganja di Bangkok pusat mengatakan sebagian besar pelanggan mereka adalah turis asing, bukan orang Thailand. Pendukung rezim baru yang paling antusias adalah sejumlah orang yang cukup banyak di Thailand yang sudah menggunakan ganja secara rutin.
Amanda adalah salah satunya. Menyebut dirinya sendiri sebagai “stoner”, ia senang bisa menumbuhkan berbagai jenis ganja yang ia suka di rumah, tanpa takut digerebek polisi.
Ia telah mengubah apartemen kecilnya menjadi semacam rumah untuk ganja, memenuhi balkon kamar kecilnya dengan tenda reflektif dan lampu yang terang, tempat ia dengan hati-hati merawat tujuh tanaman ganja. Kucingnya tidak lagi diizinkan masuk ke kamar tidur.
“Awalnya sulit. Saya harus banyak belajar. Saya tidak mendapatkan suhu yang tepat pada awalnya, dan menggunakan AC 24 jam sehari, saya butuh pelembab udara. Tapi sangat keren ini terjadi di Thailand. Ada ribuan pertanian dan toko ganja sekarang, begitu banyak orang yang menarik dalam bisnis ini.”
Meskipun ada banyak pembicaraan di kalangan partai politik Thailand tentang mengkriminalisasi kembali ganja, atau mencoba membatasinya hanya untuk keperluan medis, alih-alih rekreasi – yang menurut para pengusaha ganja hampir tidak mungkin dibedakan – sepertinya kecil kemungkinan setelah gila-gilaan selama sembilan bulan terakhir, situasi bisa putar balik.
Namun akan ke mana arah industri mariyuana Thailand dari sini, tidak ada yang tahu.
[ad_2]
Source link