Berita Ambon – Komunitas Bangtan Dreamer Maluku bersama dengan Yayasan Baku Kele, FKPT, dan MUI Provinsi Maluku menggelar kegiatan Group Discussion (FGD) yang berlangsung di Aula Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Pattimura Ambon pada hari Senin, 26/06/2023.
Kegiatan FGD mengusung tema “Peran milenial dalam melawan ekspansi ideologi radikal di tengah-tengah masyarakat Maluku” sebagai bagian dari keresahan publik tentang fakta bahwa begitu derasnya ekspansi paham radikal di tengah milenial Maluku.
Demikian disampaikan ketua Komunitas Bangtan Dreamer Maluku, Ayuni Rengifuryaan. Menurutnya, Komunitas Bangtan Dreamer Maluku menaruh perhatian serius terhadap generasi muda Indonesia agar tidak menjadi korban propaganda radikalisme dan terorisme.
Dikatakannya, secara statistik, penduduk Maluku didominasi oleh kelompok produktif, yaitu anak muda yang masuk kategori generasi Milenial. Hal ini tentunya bisa menjadi bom waktu di kemudian hari apabila para anak muda justru terjerumus/terpapar dalam ideologi radikalisme dan terorisme.
Fakta statistik tersebut kemudian menggetarkan nurani Komunitas Bangtan Dreamer Maluku untuk terus berupaya menyadarkan publik tentang bahaya radikalisme dan mendorong peran aktif milenial dalam menolak ideologi asing yang berkembang di tengah-tengah mereka.
Selaras dengan tema Focus Group Discussion (FGD), para narasumber yang hadir juga turut memberikan sudut pandang mereka tentang eksistensi Radikalisme di Maluku. Ketua Yayasan Baku Kele, Rusli Amiludin, yang juga notabene sebagai mantan anggota Mujahidin, mengulas tentang bagaimana sulitnya mendeteksi sel-sel tidur radikalisme yang secara masif bergerak di tengah masyarakat.
Selaku ketua Yayasan Baku Kele, dia mengapresiasi apa yang dilakukan oleh Komunitas Bangtan Dreamer Maluku. Bahaya ekspansi ideologi asing tidak dapat dipandang sebelah mata dan tidak dapat diperangi sendiri, melainkan butuh peran aktif dan keterlibatan semua pihak, terutama generasi milenial, untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya Pancasila sebagai Dasar Negara Indonesia serta semangat nasionalisme dan patriotisme generasi milenial itu sendiri.
Sementara Ketua Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Maluku, Abd Rauf, menjelaskan bahwa penyalahgunaan narasi agama dalam terorisme tidak hanya menjadi permasalahan bagi Indonesia tetapi juga negara mayoritas Muslim lainnya. Perspektif ini menciptakan stigma buruk terhadap agama Islam dan pemeluknya.
Disebutkan bahwa perspektif sesuai syariat Islam adalah menjadi pemimpin mulai dari keluarga, sesama manusia dan menerapkan hukum-hukum islam melalui dakwah. Bukan yang dipersepsikan sebagian kelompok untuk melegitimasi Khilafah agar berlaku di Indonesia dengan artian ingin menjadikan Khilafah sebagai idiologi.
Menurutnya, Khilafah sengaja diusung oleh kelompok radikal dengan tujuan memecah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)” Bahkan konsep tersebut akan menimbulkan benturan antar kelompok di Indonesia dan mengancam kelangsungan NKRI sebagai hasil konsensus nasional para pendiri bangsa Indonesia.
Kendati saat ini potensi ancaman radikalisme tidak begitu besar, namun menurut Abd Rauf sesuatu yang sifatnya mengancam itu harus tetap diantisipasi dengan edukasi dan sosialisasi sperti kegiatan ini.
Pada kesempatan yang sama Ketua MUI Maluku Abdulah Latuapo memiliki sudut pandang bahwa sumber pertahanan seseorang untuk kemudian tidak terpapar idiologi radikal dan terorisme adalah lingkungan keluarga dan juga lingkungan pendidikan yaitu sekolah.
Dimana banyak contoh kasus keterlibatan anggota keluarga yang turut serta mengarahkan bahkan membiayai mendalami paham radikal dan aksi terorisme. Peran pendidikan dari keluarga oleh orangtua yang dimaksud adalah ayah dan ibu,sebagai pertahanan utama.
Selain keluarga, faktor eksternal yang juga memiliki peran sentral dalam menangkal idiologi asing adalah tokoh agama yang mengajarkan pentingnya moderasi beragama. Moderasi beragama merupakan konsepsi yang dapat membangun sikap toleran dan rukun guna memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa.DMS