Jakarta (DMS) – Lini masa media sosial dihebohkan dengan ajakan mengirim pesan pribadi kepada anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sesuai daerah pemilihannya (dapil) untuk menolak revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI), pada Sabtu (15/3/2025).
Ajakan ini menyebar luas, mendorong warganet untuk mengirimkan pesan melalui direct message (DM) media sosial, email, atau kontak lainnya yang dapat dihubungi. Beberapa warganet bahkan membagikan tangkapan layar pesan yang telah mereka kirim sebagai bentuk dukungan terhadap aksi ini.
Ajakan untuk mengirim pesan pribadi ini muncul seiring dengan pembahasan revisi UU TNI oleh DPR. Revisi ini memicu kekhawatiran publik, yang menilai bahwa hal tersebut berpotensi mengembalikan dwifungsi militer yang sudah dihapuskan sejak Reformasi. Salah satu poin kontroversial dalam revisi adalah penambahan jumlah kementerian atau lembaga yang dapat diisi oleh TNI aktif, yang kini mencapai 16 lembaga.
Apakah Aksi Kirim Pesan Bisa Menggagalkan Revisi UU TNI?
Pakar hukum tata negara, Feri Amsari, berpendapat bahwa protes berupa pengiriman pesan kepada anggota DPR bisa menjadi langkah yang efektif dalam menggagalkan revisi UU TNI. Menurut Feri, meskipun ini bukan langkah hukum formal, aksi sosial semacam ini berpotensi memengaruhi keputusan DPR, seperti yang terjadi pada aksi Kawal Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang sempat menggemparkan media sosial.
“Seruan untuk mengirimkan DM dan mempublikasikan pesan tersebut bisa sangat efektif. Hanya ‘people power’ yang dapat menghentikan kedzaliman ini,” ujar Feri, dalam wawancara dengan Kompas.com pada Minggu (16/3/2025). Dia mengingatkan, penolakan yang masif seperti ini bisa menekan DPR untuk membatalkan revisi UU TNI, seperti yang terjadi pada pembatalan pengesahan RUU Pilkada pada 2024 lalu.
Apa Isi Revisi UU TNI?
Anggota Komisi I DPR RI, TB Hasanuddin, menjelaskan bahwa revisi UU TNI mengatur agar anggota TNI aktif dapat menduduki 16 lembaga pemerintahan. Dalam UU TNI yang berlaku saat ini, hanya 10 lembaga yang bisa diisi oleh TNI aktif. Namun, draf revisi menambah enam lembaga, termasuk di antaranya lembaga yang berkaitan dengan pertahanan, keamanan, dan kebijakan nasional.
Berikut adalah 16 lembaga yang diusulkan dapat diisi oleh TNI aktif:
Sekretaris Militer Presiden
Pertahanan Negara
Intelijen Negara
Sandi Negara
Lembaga Ketahanan Nasional
Dewan Pertahanan Nasional
Search and Rescue (SAR) Nasional
Narkotika Nasional
Mahkamah Agung
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB)
Kejaksaan Agung
Keamanan Laut
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT)
Kelautan dan Perikanan
Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP)
Dampak Revisi UU TNI
Revisi UU TNI menuai penolakan keras dari berbagai pihak. Aktivis dari Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan menggeruduk rapat pembahasan revisi UU TNI yang digelar oleh Komisi I DPR RI di sebuah hotel mewah di Jakarta pada Sabtu (15/3/2025).
Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (KontraS), Dimas Bagus Arya Saputra, menilai bahwa proses revisi UU TNI yang tergesa-gesa dan minim partisipasi publik berpotensi membawa masalah. Ia menekankan pentingnya penundaan pembahasan revisi tersebut untuk memberikan ruang bagi masukan masyarakat.
Menurut KontraS dan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan, revisi ini dikhawatirkan dapat mengancam profesionalisme TNI, menghidupkan kembali dwifungsi ABRI, serta membuka celah bagi pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dan kekerasan oleh TNI.
Pembahasan ini terus menjadi perhatian publik, dengan banyak pihak yang berharap DPR mempertimbangkan ulang rencana revisi UU TNI demi menjaga prinsip-prinsip demokrasi dan reformasi yang telah dijaga sejak era Reformasi.DMS/KC