Namlea, Pulau Buru (DMS) – Masyarakat adat Negeri Masarete, Kecamatan Teluk Kayeli, Kabupaten Buru, menggelar aksi unjuk rasa sebagai bentuk penolakan terhadap kebijakan pemerintah daerah yang mengangkat seorang perempuan sebagai penjabat kepala desa. Mereka menilai keputusan tersebut bertentangan dengan tradisi adat dan nilai-nilai keagamaan yang telah lama dijunjung di wilayah mereka.
Dalam aksi yang berlangsung di depan kantor desa Masarete, warga secara tegas menyuarakan penolakannya dan bahkan memalang kantor sebagai simbol protes atas pelantikan penjabat kepala desa perempuan yang baru dilakukan pemerintah.
Tokoh masyarakat Abubakar Busou dalam orasinya menyatakan bahwa pengangkatan kepala desa perempuan bertentangan dengan tatanan adat yang sudah diwariskan secara turun-temurun. Ia menekankan bahwa tradisi yang berlaku di Negeri Masarete mewajibkan posisi kepala desa dipegang oleh laki-laki.
“Ini bukan soal diskriminasi gender, tetapi soal penghormatan terhadap adat dan agama yang menjadi pijakan masyarakat kami selama ini,” tegasnya.
Hal senada juga disampaikan tokoh adat Abdullah Waekabu. Menurutnya, kepala desa laki-laki memiliki peran penting, terutama dalam kegiatan keagamaan seperti khutbah Jumat atau sholat hari raya, di mana kepala desa kerap diminta menggantikan posisi imam jika berhalangan.
“Kalau kepala desa perempuan, siapa yang akan memimpin ibadah saat imam berhalangan? Ini bukan hanya soal jabatan, tapi soal fungsi spiritual dalam masyarakat kami,” ujarnya.
Sementara itu, tokoh agama setempat, Arsat Ultatan, mengungkapkan kekhawatirannya bahwa pengangkatan kepala desa perempuan akan berdampak pada kelangsungan aktivitas keagamaan di desa.
“Kami tidak menolak perempuan secara pribadi, tetapi dalam konteks kepemimpinan desa, ini akan mengganggu struktur sosial dan keagamaan yang sudah berjalan bertahun-tahun,” kata Arsat.
Masyarakat adat Negeri Masarete mendesak pemerintah daerah untuk mengevaluasi dan mencabut keputusan tersebut. Mereka berharap penjabat kepala desa diganti dengan sosok laki-laki yang dinilai sesuai dengan norma adat dan agama yang berlaku di desa mereka.
Aksi penolakan ini menjadi peringatan bagi pemerintah agar lebih mempertimbangkan kearifan lokal sebelum menetapkan kebijakan di daerah-daerah yang masih menjunjung tinggi nilai-nilai adat dan spiritualitas.DMS