Banda Aceh (DMS) – Pemerintah Aceh bersama Forum Bersama (Forbes) DPR/DPD RI asal Aceh menyatakan akan menempuh jalur administratif dan politik untuk memperjuangkan pengembalian empat pulau yang saat ini masuk dalam wilayah administratif Sumatera Utara (Sumut).
Keempat pulau yang dipersoalkan adalah Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Besar, dan Pulau Mangkir Kecil. Seluruhnya sebelumnya masuk dalam wilayah Kabupaten Aceh Singkil, namun kini tercatat sebagai bagian dari Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumut, berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 tertanggal 25 April 2025.
Upaya tersebut dibahas dalam pertemuan khusus yang digelar di Pendopo Gubernur Aceh, Banda Aceh, Jumat malam (13/6/2024), yang dipimpin Penjabat Gubernur Aceh Muzakir Manaf dan dihadiri para anggota DPR/DPD RI asal Aceh, tokoh agama, akademisi, dan pemangku kepentingan lainnya.
“Langkah pertama yang akan diambil adalah pendekatan kekeluargaan, administratif, dan politik,” kata Muzakir Manaf. Ia menambahkan, Pemerintah Aceh akan menemui Menteri Dalam Negeri pada 18 Juni 2024 untuk menyampaikan keberatan resmi dan menyerahkan bukti-bukti pendukung yang menunjukkan keempat pulau itu bagian dari Aceh.
Menurutnya, bukti yang disiapkan antara lain data sejarah, administrasi, keberadaan penduduk, hingga letak geografis. “Itu yang akan kita pertahankan,” tegasnya.
Anggota DPR RI asal Aceh, TA Khalid, menyatakan dukungan terhadap langkah tersebut. Ia menyebut, jalur hukum seperti melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) tidak akan ditempuh, dan upaya akan difokuskan pada pendekatan politis dan administratif.
“Langkah politis bisa melalui komunikasi maupun gerakan politik,” ujarnya.
Senada, Anggota DPD RI asal Aceh Azhari Cage mengatakan pihaknya akan membawa dokumen pendukung untuk memperkuat klaim Aceh saat bertemu Mendagri. “Kita minta Mendagri meninjau kembali keputusan yang ada dan mengembalikan empat pulau tersebut ke Aceh,” kata Azhari.
Belum Ada Kepastian Potensi Migas
Terkait potensi minyak dan gas bumi (migas) di empat pulau tersebut, Muzakir Manaf belum dapat memastikan. “Mungkin iya, mungkin tidak. Itu bisa jadi harta karun,” ujarnya.
Bupati Aceh Singkil, Safriadi Oyon, juga mengaku belum memiliki data pasti mengenai potensi migas di wilayah tersebut. Namun, ia menegaskan bahwa secara historis, pulau-pulau tersebut pernah dihuni masyarakat Aceh dan masuk dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Aceh Singkil.
“Ada bangunan, pelabuhan, rumah warga, bahkan mushala di sana. Itu jadi bukti bahwa kawasan itu pernah didiami,” ujar Oyon. Ia juga menyebutkan adanya surat edaran Agraria tahun 1965 serta tugu batas wilayah di lokasi sebagai bukti historis lainnya.
Sementara itu, Kepala Badan Pengelola Migas Aceh (BPMA) Nasri Djalal menyatakan bahwa keempat pulau tersebut berada di luar Wilayah Kerja (WK) Offshore West Aceh (OSWA) yang berada di bawah pengelolaan BPMA. Meski demikian, lokasi keempat pulau cukup berdekatan dengan wilayah kerja tersebut.
“Di kawasan itu belum ada data seismik yang memadai, sehingga potensi migas belum bisa dievaluasi secara menyeluruh,” kata Nasri.
BPMA mendorong dilakukannya survei awal dan akuisisi data seismik untuk mengidentifikasi potensi migas di wilayah tersebut secara lebih jelas.
Menurut informasi dari laman resmi BPMA, saat ini Conrad Asia Energy Ltd telah ditetapkan sebagai pemenang lelang Wilayah Kerja Offshore North West Aceh (ONWA) atau Blok Meulaboh, serta Offshore South West Aceh (OSWA) atau Blok Singkil. Kedua blok itu diproyeksikan memiliki potensi hidrokarbon besar.
Blok Singkil, yang mencakup area seluas 8.200 kilometer persegi, diperkirakan memiliki cadangan gas hingga 296 miliar kaki kubik (BCF). Sementara Blok Meulaboh yang memiliki luas 9.200 kilometer persegi diperkirakan memiliki potensi 192 juta barrel minyak (MMBO) dan 1,1 triliun kaki kubik gas (TCF).DMS/KC