[ad_1]
Sumber gambar, ANTARA FOTO
Pemerintah diingatkan agar “berhati-hati” dan “tidak terpengaruh tekanan pihak tertentu” dalam memutuskan nasib Pondok Pesantren Al Zaytun yang belakangan menuai polemik, kata pengamat keagamaan Budhy Munawar Rachman.
Rekomendasi untuk menutup Pondok Pesantren Al Zaytun muncul dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Barat yang menganggap ajaran pemimpinnya, Panji Gumilang “menyimpang” dan khawatir hal itu “sudah dipaparkan” kepada para santri dan pengajar.
Hingga Rabu (5/7), pemerintah belum memutuskan langkah apa yang akan diambil terkait Ponpes Al Zaytun sebagai sebuah institusi pendidikan.
Namun, Wakil Presiden RI Ma’ruf Amin mengatakan bahwa salah satu alternatifnya adalah Al Zaytun “tidak ditutup, tapi akan dibina”.
Secara terpisah, Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD menuturkan bahwa isu Ponpes Al Zaytun “tidak perlu dibesar-besarkan” karena “biangnya”, yakni Panji Gumilang, “sudah ditangani”.
Menurut Bhudy Munawar, usulan untuk menutup pesantren itu “sangat berlebihan” karena dapat menghilangkan hak pendidikan ribuan santrinya.
Selain itu, dia berpendapat tuduhan penistaan agama “tidak bisa dialamatkan” kepada Panji Gumilang atas dasar “perbedaan tafsir” karena berpotensi menjadi “pelanggaran atas kebebasan beragama”.
“MUI mencampurkan kebebasan menafsirkan agama dengan ajaran sesat. Kalau ajaran itu berujung pada tindak kriminal, boleh dibilang sesat. Tapi kalau berbeda pendapat, pandangan, berbeda dengan umumnya, tidak bisa serta merta disebut sesat,” kata Budhy kepada BBC News Indonesia.
Kekhawatiran MUI
Sumber gambar, ANTARA FOTO
Front Persaudaraan Islam (FPI) berunjuk rasa di depan Kantor Kementerian Agama pada Senin (26/6/2023) mendesak pemerintah mencabut izin Pondok Pesantren Al Zaytun
Bagi MUI Jawa Barat, pemeriksaan Panji Gumilang oleh Bareskrim Polri pada Selasa (4/7) lalu belum cukup untuk menyelesaikan polemik terkait Ponpes Al Zaytun.
Sekretaris MUI Jawa Barat, Rafani Achjar menduga Panji Gumilang “telah melakukan kaderisasi selama puluhan tahun memimpin Al Zaytun”.
“Ini kan harus digali sampai ke akar-akarnya karena kalau hanya Panji Gumilang yang ditindak, sementara ajarannya sudah dilanjutkan oleh yang lain, itu tetap saja. Kekhawatiran kita akan terus berlanjut,” kata Rafani kepada wartawan di Bandung, Yuli Saputra, yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.
“(Bakal) ada pelanjut-pelanjutnya. Karena pasti lah sudah sekian puluh tahun itu, dia sudah menyiapkan kader,” sambung Rafani.
MUI beralasan, hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa Panji Gumilang “pernah terlibat sebagai anggota dan aktif mengikuti ajaran Isa Bugis”.
Sejak 1980-an, MUI menyatakan aliran Isa Bugis sebagai aliran “sesat” karena dianggap melawan rukun iman dan rukun Islam.
Rifani mengaku mendapat informasi bahwa ajaran itu “sudah dipaparkan” kepada para santri “secara selektif”, juga “diterapkan oleh para pengajar dan pengurus yang memiliki loyalitas tanpa batas”.
“Kalau dibiarkan itu kan daya rusak terhadap bangsa dan negara ini besar ya, karena dia memiliki siswa begitu banyak. Jadi bisa dibayangkan, setiap saat didoktrin dengan ideologi dan pandangan-pandangan yang bertentangan dengan negara kita,” jelas Rafani.
“Jadi kami berpikir ya lebih baik ditutup dibubarkan, walaupun memang ditutup itu tidak berarti ditutup begitu saja. Ya tentu kita harus mengambil tindakan yang bijaksana juga untuk menyelamatkan siswa, guru, karyawan.”
‘Tidak dibubarkan, tapi dibina’
Di tengah desakan itu, Wakil Presiden Ma’ruf Amin menyebut ada sejumlah alternatif untuk menanggapi polemik Ponpes Al Zaytun ini. Salah satunya, ponpes itu “tidak dibubarkan, tapi dibangun dan dibina dengan baik”.
“Pesantrennya ini memang masyarakat ingin banyak membubarkan, menutup, tetapi memang ada pertimbangan bahwa di situ banyak santri, cukup besar ya berapa jumlahnya itu.
“Ini perlu dibina, perlu supaya diluruskan, akidahnya diluruskan, pemahamannya diluruskan, apa namanya komitmen kebangsaannya diluruskan nanti semuanya itu, nah itu perlu dilakukan pembinaan,” kata Ma’ruf pada Rabu (5/7).
Sementara itu, Menkopolhukam Mahfud MD mengatakan pada Rabu, bahwa penindakan terkait isu Ponpes Al Zaytun sejauh ini adalah “tindak pidana umum yang melibatkan personal, bukan institusi”.
Kasus dugaan penistaan agama Panji Gumilang sendiri telah memasuki tahap penyidikan.
Penyelidikan terkait tindak pidana khusus terorisme atau pencucian uang pun, kata Mahfud, “akan diusut kalau ditemukan”.
Pada saat bersamaan, masih menurut Mahfud, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) akan mendalami dugaan keterkaitan Al Zaytun dengan Negara Islam Indonesia (NII).
“Karena itu sejarahnya memang tidak bisa disembunyikan. Dulu ya. Munculnya itu dari ide kompartemen sembilan NII.
“Tapi di dalam perkembangannya, itu menjadi, sekurangnya yang bisa kita lihat fisiknya itu lembaga pendidikan biasa. Tetapi di balik itu yang sedang diselidiki,” kata Mahfud.
Sedangkan nasib institusinya sejauh ini belum diputuskan oleh pemerintah. Sebelumnya, Mahfud juga sempat menyinggung bahwa pemerintah “belum pernah menutup pondok pesantren”.
Bahkan ketika Abu Bakar Baasyir divonis atas kasus terorisme, Ponpes Al Mukmin di Sukoharjo yang dia pimpin tidak ditutup oleh pemerintah.
“Termasuk pondok pesantren yang seperti Al Mukmin sekalipun, kita tidak [menutup]. Tapi kalau pribadi yang melakukan pidana ya kita… Tapi itu akan dibaca dulu,” kata Mahfud.
‘Pemerintah perlu hati-hati’
Menurut Budhy Munawar, polemik terkait Ponpes Al Zaytun ini harus dijawab secara hati-hati oleh pemerintah karena pesantren itu adalah “aset pendidikan” yang bahkan dia sebut sebagai “salah satu contoh pesantren terbaik di Indonesia dengan visi yang sangat modern”.
Ribuan santri juga berpotensi kehilangan hak pendidikannya apabila pesantren tersebut ditutup.
“Kalau sampai ditutup atau diambil alih oleh negara, itu mengerikan sekali.”
“Akan ada banyak konsekuensinya. Terhadap pesantren di Indonesia itu pertanda buruk, ternyata negara bisa turut campur menutup sekolah. Ketika negara tidak cocok dengan pandangan guru atau dosen atau rektornya, maka sekolahnya bisa ditutup,” kata Budhy.
Apalagi, belum ada jawaban yang jelas dan jernih atas beragam tuduhan yang dilayangkan kepada Ponpes Al Zaytun.
Dugaan keterkaitan dengan NII sejauh ini masih didalami BNPT, dan pengusutan kasus pidana oleh Polri pun tidak menyasar ke arah terorisme atau radikalisme.
Sementara itu, tuduhan penistaan agama pun menurut Budhy “tidak bisa dialamatkan kepada Panji”.
Pasalnya, tuduhan itu dia nilai berlandas pada “perbedaan tafsir agama yang kemudian dianggap sesat oleh pihak mayoritas”.
Menurutnya, harus ada batasan yang jelas antara anggapan “sesat” dengan “keragaman menafsirkan agama”.
“Jadi kalau ajaranya dianggap sebagai sesat, perlu dipertanyakan kenapa dianggap sesat. Apakah ajarannya itu bersifat kriminal, bisa dikaitkan dengan kesesatan?
“Dari Panji Gumilang tidak masuk kategori itu, itu hanya prasangka beberapa orang, yang berbeda dengan prasangkanya sendiri,” jelas Budhy.
Apabila pelabelan ajaran yang dianggap “menyimpang” atau “sesat” itu tidak tepat, Budhy mengatakan yang berpotensi terjadi justru adalah “pelanggaran kebebasan beragama”. Apalagi jika itu terjadi “di bawah tekanan massa”.
“Tetapi kecenderungan selama ini kasus penistaan agama itu selalu di bawah tekanan massa. Pemerintah harus hat-hati, dan harusnya pemerintah sadar bahwa mereka bukan ormas Islam yang punya pandangan sendiri yang ekslusif,” tutur dia.
Oleh sebab itu, dia berharap setiap tuduhan dan kontroversi mengenai Al Zaytun diungkap duduk perkara dan kebenarannya di hadapan publik secara jernih.
Bagaimana nasib para santrinya?
Sumber gambar, DOKUMENTASI MA’HAD AL-ZAYTUN
Kompleks Pesantren Al Zaytun
Sejauh ini, Kementerian Agama Wilayah Jawa Barat mengatakan tengah menyiapkan langkah-langkah mitigasi sambil menunggu keputusan pemerintah pusat terkait nasib Ponpes Al Zaytun.
“Kami juga belum tahu [keputusannya], tetapi langkah-langkah itu harus dimitagasi juga dari sekarang,” kata Plh Kepala Kanwil Kemenag Jawa Barat, Ali Abdul Latief.
“Prinsipnya bahwa pembelajaran itu tidak boleh berhenti. Yang kedua, tidak boleh merugikan anak didik atau santri sehingga proses pembelajaran itu harus terus berjalan. Apapun nanti keputusan Kementerian Agama ataupun pemerintah terhadap Pesantren Al Zaytun, prinsipnya pendidikan itu tidak boleh terganggu,” tegas Ali.
Apabila pembelajaran di pesantren Al Zaytun harus dihentikan, Ali mengungkapkan, salah satu langkah penyelamatan yang akan dilakukan Kementerian Agama adalah mendistribusikan para santri ke pesantren dan madrasah terdekat.
Akan tetapi, langkah itu pun harus memperhitungkan jumlah pesantren dan madrasah yang ada di wilayah Indramayu, jelasnya.
“Kita juga nanti sesuaikan karena kapasitas satu rombongan belajar itu sudah ada ketentuannya. Di mana pondok atau lembaga yang bisa menerima tentu harus ada juga dari kita untuk mengarahkannya,” kata Ali.
Namun Ali mengakui, langkah itu akan memakan waktu lama mengingat jumlah santri Al Zaytun yang mencapai lima ribu lebih orang.
Sementara mengenai kurikulum yang dipakai Al Zaytun, Ali mengatakan, sudah menggunakan kurikulum yang disampaikan dari Kementerian Agama.
“Namun kita juga tidak menutup mata kemungkinan ada hal-hal lain yang di luar kurikulum yanng menimbulkan kehebohan sekarang ini,” ujarnya.
Wartawan di Bandung, Jawa Barat, Yuli Saputra berkontribusi dalam artikel ini.
[ad_2]
Source link