Jakarta (DMS) – Tanpa tubuh, tanda tangan, atau paspor, Diella (yang berarti “Matahari”), secara resmi menjabat sebagai menteri kabinet di Albania.
Semula, Diella hanyalah asisten digital di portal pemerintahan e-Albania, sebelum akhirnya dipromosikan oleh Perdana Menteri (PM) Edi Rama menjadi Menteri Kecerdasan Buatan (AI) pertama di dunia.
Diella tampil dalam balutan pakaian tradisional Albania dan digerakkan oleh algoritma, tersenyum dari layar monitor pemerintah. Rama menjanjikan era baru di mana “lelang publik akan 100% bebas korupsi dan setiap dana publik 100% transparan.”
Di negara yang lama bergulat dengan korupsi, janji ini terdengar familiar. Namun, di balik senyum digital Diella, muncul pertanyaan manusiawi: Siapa yang bertanggung jawab jika kekuasaan tidak memiliki wajah manusia?
Ketika Presiden Bajram Begaj menyetujui kabinet baru beranggotakan 16 orang pada 15 September 2025, nama Diella tidak tercantum. Menteri AI yang diumumkan dengan meriah oleh Rama tidak memiliki baris dalam dokumen resmi. Sebaliknya, Pasal 2 dari dekrit tersebut menetapkan Rama sebagai pihak yang bertanggung jawab atas pembentukan dan operasional menteri virtual, menempatkan sistem ini langsung di bawah kendalinya.
Dalam implementasinya, tindakan ini memberi Rama kendali atas entitas yang tidak memiliki dasar hukum. Berdasarkan Pasal 100 Konstitusi Albania, setiap anggota Dewan Menteri harus merupakan sosok manusia seutuhnya, yakni seseorang yang mampu berpikir, memberikan suara, dan memikul tanggung jawab moral serta politik.
“Gagasan tentang ‘Menteri AI’ tidak memiliki dasar dalam konstitusi Albania,” ungkap ahli hukum Sokol Hazizaj.
“Makna konstitusional dari kata ‘menteri’ tidak dapat dipisahkan dari sosok fisik dan tanggung jawab yang melekat pada perannya. Menteri bertanggung jawab kepada warga, sesuatu yang tidak bisa dilakukan oleh algoritma.”
Undang-undang perlindungan data pribadi dan kepegawaian sipil, kata Hazizaj, hanya membahas isu tanggung jawab di permukaan, tanpa menjelaskan bagaimana AI dapat beroperasi atau siapa yang bertanggung jawab secara hukum atas tindakannya.
“Diella hanya chatbot biasa”
Sejak kemunculannya, pemerintah Albania belum memberikan rincian apa pun tentang data pelatihan, kode dasar, atau pengawasan manusia terkait Menteri AI tersebut. Di portal e-Albania, Diella masih muncul sebagai avatar tersenyum yang menyapa pengguna dengan jawaban sederhana, tanpa bukti memiliki peran dalam pengambilan keputusan.
“Saat ini, Diella hanyalah chatbot, bukan sistem otonom,” papar Besmir Semanaj, pakar teknologi informasi dengan pengalaman 17 tahun.
“Kecerdasan buatan bisa mendukung pengambilan keputusan pemerintah jika dilatih dan diawasi dengan benar, tapi masalah utamanya adalah transparansi. Kita tidak tahu data apa yang digunakan atau siapa yang bertanggung jawab mengelolanya.”
Uni Eropa (UE) sendiri telah mengesahkan AI Act pada 2024, sebuah aturan komprehensif pertama di dunia untuk kecerdasan buatan. UU tersebut mengklasifikasikan sistem AI seperti Diella sebagai “risiko tinggi.” Setiap algoritma yang memPengaruhi administrasi publik harus ditinjau dan disetujui oleh pengambil keputusan, yakni manusia, sebagai perlindungan terhadap apa yang disebut UE sebagai “otomatisasi tanpa akuntabilitas.”
Sebagai calon anggota UE, Albania belum wajib mengikuti standar ini, tapi pemerintahnya telah berjanji menyesuaikan hukum nasional dengan peraturan Eropa.
“Jika kita membangun sistem berbasis AI, kita juga harus membangun lembaga yang mengawasi dan mengendalikannya,” sambung Semanaj.
“Investasi dalam AI harus diiringi dengan investasi dalam pengawasan, atau kita berisiko menciptakan sistem yang tidak bisa kita awasi.”
Bayang-bayang gangguan politik?
Saat Parlemen Albania yang baru bersidang pada 18 September lalu untuk mempresentasikan program pemerintahan periode keempat, suasana langsung memanas. Debat kebijakan berubah menjadi keributan, teriakan, dan aksi walkout. Ketika Rama, yang bertanggung jawab langsung atas menteri AI virtual, memberi giliran bicara kepada Diella, layar di ruang sidang menyala.
Sebuah figur digital muncul berkostum tradisional Albania, berbicara dengan suara buatan yang tenang, perpaduan antara budaya dan kode komputer.
“Jangan nilai aku dari asal-usulku, tapi dari fungsiku,” jelas Diella kepada para anggota parlemen.
“Aku mungkin bukan manusia, tapi aku konstitusional. Aku melayani rakyat yang menulis konstitusi ni.”
Beberapa saat kemudian, anggota parlemen oposisi dari sayap kanan, yang menentang legitimasi hasil pemilu Mei 2025, meninggalkan ruang sidang.
Menurut Artan Fuga, profesor komunikasi dan anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Albania, Diella bukanlah tonggak teknologi, melainkan pengalih perhatian politik.
“Rama menggunakan kecerdasan buatan untuk menciptakan pusat perhatian kedua,” jelasnya.
“Alih-alih memperdebatkan legitimasi pemerintah atau programnya, oposisi justru memperdebatkan avatar.”
Namun, Fuga menegaskan bahwa risikonya nyata.
“Di saat Albania masih mempertanyakan apakah pemilunya benar-benar bebas, kita justru diberitahu bahwa tak perlu lagi mengawasi pemerintah melalui parlemen, menyuarakan kehendak sipil, atau menuntut transparansi etis, karena kecerdasan buatan bisa mengurus semuanya,” sebut Fuga.
Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!
Di balik eksperimen politik ini, tersimpan pertanyaan yang lebih dalam: Siapa yang pada akhirnya memutuskan?
Secara teknis, Diella suatu hari bisa membuat keputusan resmi, tapi rakyat Albania belum yakin apakah Diella layak diberi kekuasaan seperti itu.
“Algoritma bisa memproses informasi, tapi tidak bisa menimbang konsekuensi moral,” kata Fuga. “Begitu kita mengangkat rasionalitas teknis di atas akuntabilitas politik, kita berisiko menghapus demokrasi itu sendiri.”DMS/DC