[ad_1]
- Andrew Dickson
- BBC Culture
Sebuah pameran menampilkan foto-foto terbaru dengan proyek dari tahun 1969, membuka masalah yang melingkupi Amerika Serikat – termasuk berbagai protes, kemiskinan, dan ketidakadilan rasial.
Di musim gugur 1969, fotografer Magnum, Charles Harbutt, meluncurkan proyek multimedia yang menjadi sebuah terobosan.
Ia mengumpulkan foto-foto yang diambil dalam kurun waktu setahun sebelumnya – tahun di mana pembunuhan Martin Luther King dan Bobby Kennedy terjadi, kekacauan mendalam akibat perang Vietnam, juga saat demonstrasi menentang perang sipil yang berdarah dan protes merebak di seantero negeri.
Tujuannya adalah menyediakan cermin bagi AS dan memaksa rakyatnya menghadapi kebenaran yang menyakitkan. Foto-foto ini dipamerkan di Museum Riverside, New York, bersamaan dengan diluncurkannya buku fotografinya.
Berkolaborasi dengan kepala biro agensi foto Magnum di New York, Lee Jones, Harbutt baru-baru ini mengubek-ubek arsip untuk mencari foto-foto lain dari beberapa tahun belakangan, yang memiliki kesamaan tema dengan proyek lawasnya.
Liputan dari Vietnam oleh fotografer Don McCullin dan Philip Jones Griffith diambil untuk mendampingi karya Harbutt dan jurnalis foto lain tentang protes akan perang.
Dalam seksi berjudul Akar dari Kemiskinan, Constantine Manos menyandingkan secara kontras kehidupan petani Afrika-Amerika dengan foto-foto klub penari telanjang di wilayah AS lain yang lebih makmur. Potret ini menampakkan sebuah negara yang mencabik-cabik dirinya sendiri.
Dengan berbagai peristiwa yang terjadi beberapa tahun terakhir, dari Covid-19 hingga kerusuhan di Gedung Capitol, tak heran Galeri Saatchi di London memutuskan untuk menggelar pameran baru dengan tajuk sama, ‘America in Crisis’.
Pameran ini mengetengahkan pilihan gambar dari proyek 1969, ditambah dengan foto-foto yang lebih baru dari 40 fotografer Amerika saat ini – masa yang diwarnai dengan protes menentang kekerasan polisi dan ketidakadilan rasial, debat memanas tentang demokrasi dan representasi, gejolak ekonomi dan sosial, dan efek krisis iklim yang kian memburuk.
Fotografer dan subjek yang diambil mungkin berbeda, tapi pameran ini menyiratkan bahwa dalam beberapa hal, Amerika selalu berada di ambang jurang.
Untuk menandai pembukaan pameran ini, co-kurator Sophie Wright dan Gregory Harris dari High Museum of Art Atlanta mengajak BBC Culture mendalami beberapa foto yang ditampilkan.
Trotoar Pink, Florida, 2017
Akar dari gerakan pecinta lingkungan di AS telah ada sejak 1960-an, ketika polusi dan pembangunan pascaperang menjadi pokok perdebatan yang besar.
Meski tema itu hanya muncul sekelebat saja dalam pameran di 1969, melalui foto karya Bruce Davidson yang menampilkan saluran air yang terkontaminasi dan kota-kota yang sesak dengan gelombang migrasi penduduk dari pinggiran, di tahun 2022 tema ini tak bisa terelakkan.
Foto sebuah trotoar di Miami ini diambil oleh seniman berdarah Rusia-Amerika, Anastasia Samoylova, dan merupakan bagian dari proyek FloodZone pada 2017 yang menampilkan efek kenaikan permukaan air laut di negara bagian tempat tinggalnya, Florida.
Ini adalah foto setelah Badai Irma menerpa wilayah itu pada September 2017, yang merupakan salah satu bencana paling merusak yang pernah terjadi di negara bagian tersebut. Jika dilihat dengan standar fotografi bencana, foto ini anehnya terlihat sangat damai.
Empat pohon palem tinggi tampak menyender ke dinding bangunan kelas atas bergaya modern dan ramping, nyaris seperti pohon-pohon itu sedang beristirahat. Selain penampakan daun-daun kering berserakan di trotoar yang dicat dengan warna pastel, tidak ada tanda-tanda kerusakan lain.
Namun implikasinya jelas: Miami terletak hanya beberapa meter saja di atas permukaan laut dan terkespos oleh badai yang kekuatannya semakin membesar. Keadaan kota ini sama seperti akar pohon-pohon palem dekoratif dalam foto.
“Foto ini adalah sebuah metafor yang kuat untuk apa yang sedang terjadi dengan Amerika,” ujar Wright.
Parade 4 Juli #FXCK, Atlanta, Georgia, 2020
Walaupun berbagai demonstrasi sepanjang musim panas 2020 menghasilkan banyak sekali foto-foto indah soal konfrontasi, foto karya seniman Afrika-Amerika Sheila Pree Bright ini menampilkan sesuatu yang berbeda dan lebih positif.
Gambar ini diambil dalam demo selama Hari Kemerdekaan di Atlanta yang menyerukan diakhirinya kekerasan polisi terhadap perempuan dan kelompok LGBT+. Ada momen solidaritas di sana: seorang pendemo berdiri dengan punggung menghadap kamera, tangan kanannya terangkat ke udara. Di hadapannya, sekelompok orang melakukan pose serupa.
Harris mengaku terkejut dengan cara foto hitam-putih ini, yang diambil dari proyek #1960Now, secara sadar mencerminkan gambar-gambar dari parade demo untuk hak-hak sipil yang puluhan tahun lalu didokumentasikan oleh Bruce Davidson dan Danny Lyon.
“Ada perasaan tentang kesopanan dan martabat yang nyata dalam foto ini, perayaan perdamaian dan tanpa kekerasan, yang merupakan bagian sangat penting untuk gerakan hak-hak sipil,” ujar dia.
Seseorang di tengah keramaian memegang poster bertuliskan “4 Juli BUKAN kemerdekaan untuk SEMUA”, tapi kaos yang dipakai pendemo memberikan optimisme akan janji Amerika untuk toleransi dan kebebasan bagi semua rakyatnya: “Kami Selalu Berarti”, begitu tertulis.
Perempuan di dapur, Rome, Mississippi, 2017
Sejarah foto dokumenter AS dimulai dari gambar-gambar yang diambil oleh Dorothea Lange, Walker Evans, dan yang lainnya pada 1930-an, yang kebanyakan menampilkan keadaan selama masa Depresi Besar.
Jika dilihat secara sekilas, foto hitam-putih ini seperti berasal dari era tersebut. Kita dibawa ke dalam sebuah hunian yang berisi tak lebih dari tumpukan kayu, dengan lantai papan, dan langit-langit berjamur karena lembab.
Wajan-wajan dengan pantat menghitam tertempel di dinding, di atas setumpuk panci-panci kotor, dilatari kamar tidur kecil di belakangnya. Seorang perempuan tua berdiri di dekat pintu; ini mungkin rumahnya.
Ini bukan foto dari tahun 1937, melainkan 2017, tahun inaugurasi Donald Trump: dikuatkan dengan pakaian yang dikenakannya, yakni kaos dan leggings. Di kaosnya tertulis “Rome” – nama komunitas miskin di area Selatan, yang juga sebelumnya nama dinasti raksasa yang kemudian hancur.
Sebagai gambaran komunitas miskin, gambaran suram ini universal, kata Wright. “Sepanjang waktu ada gambaran seperti ini. Kita selalu berpikir sejarah adalah soal kemajuan, tapi kita juga seperti tidak pernah belajar dari kesalahan.”
Smithville, Tennessee, 2015
Lahir di Kentucky, Stacy Kranitz tinggal di Pegunungan Appalachian yang ada di Tennessee timur. Area ini dulu dikenal sebagai wilayah pertambangan batu bara, tapi kini kerap kali dikenal sebagai daerah “pedesaan miskin Amerika”, terang Gregory Harris.
Tapi foto ini seperti datang dari dunia yang berbeda. Remaja kulit putih ini berpenampilan – mungkin hendak pergi ke pesta dansa sekolah – seperti putri Disney dengan tiara tinggi dan jubah velvet warna biru. Dia duduk di atas mobil dengan atap terbuka, dengan seorang perempuan, mungkin ibunya, di belakang kemudi.
“Ada sesuatu yang manis dan membangkitkan aspirasi dari foto ini,” ujar Gregory Harris. “Tapi juga ada sesuatu yang meresahkan.”
Perkelahian di kampanye pro-Trump, Berkeley, California, 2017
Jalanan dan lapangan di seantero AS tak ubahnya medan perang di beberapa tahun terakhir – yang paling terkenal pada Januari 2021, ketika massa bersenjata menyerbu Gedung Capitol.
Foto ini diambil pada saat konfrontasi sebelum peristiwa itu terjadi. Pemandangannya familiar: pendukung Trump dan lawan politiknya terlibat dalam baku hantam di pusat Berkeley, California. Ironisnya, perkelahian ini terjadi di sebuah taman yang dinamai dari pejuang hak asasi kulit hitam, Martin Luther King.
Fotografer DC, Leah Millis mengambil foto ini untuk agensi Thomson Reuters, dan foto ini tentu saja menjadi produk jurnalitik yang hebat, kata Gregory Harris, dengan narasi kuat dan kemampuannya membawa yang melihatnya ke tengah-tengah peristiwa.
“Dia berada tepat di tengah; dan lihat bagaimana dengan pintar dia mempigura gambar ini, dengan pendukung Trump berkelahi di sebelah kanan, dan lawannya di sebelah kiri.”
Yang juga menakjubkan adalah kualitas jepretan Millis: orang-orang ini benar-benar tampak sedang berada dalam pertikaian soal hidup dan mati, terutama pendukung Trump yang mengenakan jaket kulit dan tongkat. Semua ini terlihat seperti lukisan yang berasal dari abad ke-18.
“Dan lihat berapa banyak kamera yang tertangkap di gambar ini,” tambah Harris. “Ini tentang bagaimana peristiwa tersebut menjadi sorotan.”
Kabur, 2019
Seri fotografi terbaru karya Zora Murff yang berjudul At No Point in Between mencampurkan foto-foto arsip dan dokumentasi yang diambilnya sendiri, namun temanya selalu konsisten: keseganan dan terkadang kekerasan dalam hubungan orang-orang kulit berwarna dengan otoritas.
Kabur, atau Flight, adalah tangkapan layar dari video penembakan Walter Scott, seorang pria kulit hitam tak bersenjata, oleh seorang petugas polisi di North Charleston, California Selatan, pada 2015.
Potongan video ini diambil oleh saksi mata, menunjukkan Scott melarikan diri dari polisi Michael Slager setelah mobilnya dihentikan karena lampunya pecah. Saat Scott mencoba kabur, Slager menembaknya berulang kali di punggung.
Slager belakangan divonis dengan tuduhan pembunuhan tingkat kedua – satu dari banyak kasus serupa yang membangkitkan kemarahan nasional.
Di luar kengerian gambar itu sendiri, yang diberi judul “Flight”, Harris juga mengaku terkejut mendapati ponsel, kamera tubuh, dan kamera mobil telah menjadi pusat perdebatan dalam politik AS.
Benda-benda ini tidak hanya bisa dipakai untuk membuka ketidakadilan (seperti dalam kasus George Flyod, di mana video menjadi bukti pengadilan), tapi juga menyediakan ikonografi untuk kekerasan yang marak terjadi di AS.
“Meskipun bentuknya berubah, fotografi masih sangat kuat,” tukas Harris. “Foto menyediakan narasi.”
Lee Square, Richmond, Virginia, 2020
Pembunuhan George Flyod oleh petugas polisi kulit putih di Menneapolis pada Mei 2020 memicu protes besar di musim panas itu, mengubah banyak kota di AS menjadi medan perang antara aktivis Black Lives Matter yang menuntut perubahan, juga melawan pasukan polisi yang dituduh melakukan kekerasan kepada warga kulit berwarna.
Di beberapa wilayah, terutama bagian Selatan, konflik ini semakin tajam terutama karena perdebatan panjang nasib tugu-tugu memorial era Perang Sipil, yang sebagian besar dipersembahkan untuk menghormati para serdadu Konfererasi yang berperang untuk mempertahankan perbudakan.
Foto ini diambil oleh fotografer asal New York, Kris Graves, dan merupakan bagian dari seri berjudul American Monuments. Sophie Wright menjelaskan, foto ini menampakkan bagian dasar dari patung neoklasik Komandan Konfederasi Jenderal Robert E Lee.
Memorial-memorial yang banyak sekali terdapat di Selatan ini, digambari dengan grafiti oleh para aktivis Black Lives Matter.
“Ini adalah protes, tapi secara lebih besar, perdebatan ini adalah soal politik dan kekuasaan,” ujar Wright.
Patung Robert E Lee sendiri akhirnya dicopot pada September 2020 dan akan dipasang di Museum Black History di kota itu. Nasib alas granit ini masih belum jelas.
Bungalo keluarga dengan pohon Ash terakhir, Mudway, Chicago, AS, 2018
Buku America in Crisis pada 1969 dibuka dengan bab yang berjudul The American Dream, yang berisi foto-foto dari AS yang secara tradisional kerap mereka pakai untuk membingkai dirinya sendiri: tanah yang kaya akan kesempatan, cowboy dan piknik dan pagar kayu putih.
Namun dalam buku itu, setiap lembarnya semakin menunjukkan bagaimana mimpi itu begitu jauh dari kenyataan.
Meski begitu, foto karya Paul D’Amato ini, yang diambil di pinggiran Chicago dengan warga sangat beragam, Midway, menunjukkan sekilas janji itu.
Sebuah keluarga Latin duduk di bawah pohon besar yang tumbuh di tepi jalan dengan rumput yang terpotong rapi di depan rumah mereka; seorang pria melemparkan anak kecil ke udara; anak perempuan yang lebih tua berdiri di dekat ibunya. Langit cerah, semburat cahaya malam membawa kehangatan.
Walaupun mereka tidak tampak kaya, mereka juga tidak terlihat miskin, bagian dari kelas menengah Hispanik di AS.
“Mimpi Amerika sekarang tidak lagi seperti di 1960-an, apalagi seperti yang tercermin dari media populer,” kata Harris. “Ini adalah cara lain untuk menunjukkan seperti apa mimpi Amerika sekarang.”
Satu-satunya catatan adalah ekspresi wajah pria yang duduk di tengah, yang melihat dengan tajam ke arah lensa D’Amanto. Apakah dia marah karena kita mengganggu waktu keluarga ini, atau dia cemas karena apa yang dimilikinya bisa hilang suatu hari nanti?
Apakah dia menjalani kehidupan yang diimpikannya, atau dia masih berusaha meraihnya? “Ada banyak narasi di sini,” kata Harris. “Terserah kita bagaimana menafsirkannya.”
[ad_2]
Source link