[ad_1]
Di tengah proses pengembalian ratusan artefak bersejarah Indonesia, pemerintah Belanda belum dapat mengembalikan kerangka “Java Man” alias ‘Manusia Jawa’. Padahal, pemerintah Indonesia sudah mendesak agar objek bersejarah tersebut dikembalikan ke Indonesia sejak 1975.
Manusia Jawa merupakan fosil manusia tertua yang pernah ditemukan oleh paleoantropolog Belanda, Eugène Dubois, di Sangiran, Jawa Tengah pada 1891 hingga 1892.
Kini, kerangka tersebut dipajang di Pusat Keanekaragaman Hayati Naturalis di Leiden dan masih dianggap sebagai penemuan penting dalam peta evolusi manusia.
Wakil Kepala Bidang Budaya dan Komunikasi Kedutaan Besar Belanda, Jaef de Boer, mengatakan bahwa memang koleksi hasil ekskavasi Eugène Dubois belum disertakan ke dalam daftar benda-benda bersejarah yang akan dikembalikan oleh pemerintah Belanda kepada Indonesia.
“Koleksi Dubois sangat banyak dan membutuhkan waktu lebih lama untuk diteliti sebelum saran dikirim ke Sekretaris Negara Kebudayaan Gunay Uslu,” ujar Jaef kepada BBC News Indonesia pada Senin (10/7).
Ia menambahkan riset itu disertai konsultasi, baik dengan tim Belanda maupun komite repatriasi Indonesia, serta Museum Naturalis yang menyimpan sisa-sisa peninggalan Manusia Jawa.
Direktur Jenderal Kebudayaan Kemendikbudristek, Hilmar Farid, menyebut Manusia Jawa sebagai salah satu artefak yang masuk dalam daftar prioritas susunan tim repatriasi. Sebab, Indonesia sudah lama mendesak pemerintah Belanda agar mengembalikan Manusia Jawa ke tanah asalnya.
“Semua pemangku kepentingan kita ajak bicara untuk menyusun daftar benda-benda yang perlu mendapatkan prioritas dan Java Man termasuk di dalamnya,” ungkap Hilmar setelah mendarat di Amsterdam untuk menandatangai serah terima pengembalian 472 artefak bersejarah milik Indonesia.
Ia mengatakan bahwa pihaknya akan mengunjungi Museum Naturalis dan bertemu dengan pihak museum untuk membicarakan beberapa alternatif terkait Manusia Jawa dan potensinya dipulangkan ke Indonesia.
Sebelumnya, pemerintah Belanda menyatakan akan mengembalikan ratusan artefak berharga yang dirampas dari Indonesia selama masa colonial atau yang dikenal dengan proses repatriasi.
Khusus untuk objek budaya Indonesia, jumlahnya diperkirakan mencapai 472 unit, termasuk di dalamnya permata dari “harta karun Lombok”.
Sejak Belanda mengembalikan keris milik Pangeran Diponegoro dalam kunjungan Raja dan Ratu Belanda pada Maret 2020, pemerintah Indonesia dan pemerintah Belanda telah bekerja sama untuk memulai proses pengembalian ratusan artefak tersebut.
Apa itu Manusia Jawa?
Dr. Cecep Eka Permana, seorang dosen arkeologi Universitas Indonesia yang mengajar tentang manusia purba, menyebut Manusia Jawa sebagai bukti pertama ditemukannya fosil manusia purba di Pulau Jawa.
Pada 1890-an, Eugene Dubois, seorang ahli paleoantropologi asal Belanda pergi ke Hindia Belanda pada zaman kolonial untuk melakukan ekskavasi di daerah perhutanan dan gua-gua.
Ia hendak mencari bukti peninggalan yang menunjukan “missing link” alias mata rantai penghubung dalam teori evolusi yang menghubungkan relasi antara manusia dan kera.
“Kalau menurut teori evolusi antara kera dan manusia, itu mestinya [manusia purba tinggal] di daerah hutan belantara kan, makanya dia pilih Sumatra waktu itu,” ungkap Cecep.
Namun, Dubois tidak menemukan fosil tersebut di Sumatra. Maka, ia bertolak ke Pulau Jawa dan di sanalah ia menemukan kerangka Manusia Jawa.
“Dia menemukan itu [Manusia Jawa] di daerah Prinil, di Sangiran, dan menemukan [sisa-sisa] tengkorak dan paha, tulang paha.
“Dalam identifikasinya, dia menunjukkan bahwa bentuk tengkoraknya sudah peralihan, antara ada separuh dalam bentuk kera tapi juga seperti manusia,” kata Cecep.
Ia menjelaskan bahwa temuan Manusia Jawa sangat historis karena merupakan kerangka manusia purba jenis Pithecanthropus Erectus pertama.
“Tulang itu milik makhluk yang sudah bisa berdiri tegak, sehingga disebut dengan Pithecantropus Erectus.”
Setelah temuan Dubois, semakin banyak arkeolog dan paleontolog yang menggali di Afrika datang ke Indonesia untuk mencari fosil-fosil peninggalan manusia purba lainnya pada akhir abad ke-19.
Sebab, penemuan Manusia Jawa membuktikan bahwa kerangka-kerangka manusia purba ada di Indonesia.
“Ini sesuatu yang luar biasa dan membanggakan untuk mereka saat itu. Dan itu diakui oleh dunia,” ujarnya.
Cecep mengatakan penemuan Manusia Jawa merupakan titik permulaan pengembangan riset manusia purba di Indonesia.
Hingga sekarang pun, sebuah museum di daerah Sangiran, Jawa Tengah – tempat Manusia Jawa ditemukan – masih berdiri dan menyimpan sebuah koleksi ekstensif manusia purba yang terus diteliti oleh para arkeolog tanah air.
Mengapa Manusia Jawa belum bisa kembali ke Indonesia?
Wakil Kepala Bidang Budaya dan Komunikasi Kedutaan Besar Belanda, Jaef de Boer, mengatakan bahwa permintaan yang diajukan pemerintah Indonesia untuk pengembalian Manusia Jawa masih diproses.
Ia mengatakan pihak Belanda memang belum memasukkan koleksi Dubois ke dalam daftar 472 artefak yang akan dikembalikan ke Indonesia. Sebab, mereka membutuhkan waktu lebih lama untuk menyisir koleksi berisi ribuan objek bersejarah itu.
Sehingga, pemerintah Belanda belum bisa memberikan kepastian kapan keputusan terkait apakah Indonesia dapat menerima Manusia Jawa dan artefak hasil ekskavakasi Dubois lainnya.
“Proses ini dilakukan dengan konsultasi yang baik antara Belanda dan panitia repatriasi Indonesia, dan Museum Naturalis. Komite repatriasi indonesia terlibat erat dalam proses ini juga, dan sepengetahuan saya para ahli Indonesia terlibat,” jelas Jaef.
Ia mengatakan bahwa pemindahan kepemilikan resmi kepada Indonesia dilaksanakan pada Senin (10/7). Kemudian Museum Nasional Kebudayaan Dunia Belanda dan Museum Nasional Indonesia akan melakukan pengaturan pengiriman benda-benda tersebut.
Direktur Jenderal Kebudayaan Kemendikbudristek, Hilmar Farid membenarkan hal tersebut.
Pada Senin (10/7) pagi, ia terbang bersama timnya ke Amsterdam untuk menandatangani dokumen Pengaturan Teknis dan Pengakuan Pengalihan Hak dari Kerajaan Belanda ke Republik Indonesia.
“Jadi sudah disepakati ada 472 obyek yang akan dikembalikan dan sekarang kita bicara hal-hal yang berhubungan dengan teknikal dan logistik,” kata Hilmar kepada BBC News Indonesia lewat sambungan telepon setelah ia mendarat di Belanda.
Hilmar mengatakan bahwa pemerintah Indonesia sudah lama mengajukan permintaan agar Manusia Jawa dikembalikan ke negeri asalnya. Meski begitu, ia memahami jika pihak Belanda memerlukan waktu lebih lama.
Bahkan, sambungnya, ada beberapa artefak bersejarah ikonik lain yang disimpan di Belanda selain Manusia Jawa yang masih belum disetujui untuk kembali ke Indonesia.
“Daftar kita cukup panjang. Kita punya permintaan Quran yang dibawa Teuku Umar ketika ditangkap, itu juga kita request, sedang dipelajari. Jadi saya juga menyadari ini mesti bertahap, karena provenance research memang tidak mudah,” ujar Hilmar.
Berdasarkan kesepakatan antara Indonesia dan Belanda, barang-barang yang diambil secara paksa lewat penjarahan atau rampasan akan dikembalikan ke Indonesia tanpa syarat. Tetapi, itu bukan berarti objek-objek dapat dikembalikan.
Hilmar mengatakan Manusia Jawa masuk dalam kategori benda bersejarah yang memiliki arti penting secara historis. Sehinnga, pemerintah Indonesia menganggapnya sebagai prioritas dalam proses repatriasi.
“Kami ingin memperlihatkan kontribusi dari Indonesia sendiri terhadap perkembangan pengetahuan mengenai manusia di dalam sejarah, dan itu menjadi satu alasan mengapa Java Man perlu ada di Indonesia,” katanya.
Dr. Sri Margana, sejarawan dari Universitas Gadjah Mada sekaligus Anggota Komite Repatriasi, mengatakan bahwa Manusia Jawa merupakan hasil dari ekskavasi ilmiah di Pulau Jawa yang kemudian dibawa ke Belanda.
Saat itu, memang Indonesia merupakan wilayah yang berada di bawah kekuasaan Belanda.
“Penguasa kolonial adalah Belanda, kalau mereka sudah melakukan izin atau diberi izin oleh pemerintah yang berkuasa pada masa itu, tidak bisa dibilang sebagai sesuatu yang ilegal,” ungkapnya.
Namun, menurut Sri, Manusia Jawa merupakan hak milik bangsa Indonesia karena merupakan nenek moyang masyarakat.
“Itu tidak biadab, ada tengkorak dari Indonesia yang dipancung oleh pemerintah Belanda. Sekarang tengkoraknya disimpan di Belanda,” kata Sri kepada BBC News Indonesia.
Menurut Sri, pemerintah Belanda masih enggan melepas Manusia Jawa karena nilai sejarah tinggi yang dimilikinya.
“[Itu satu-satunya] artefak yang tertua yang pernah ada, dan ditemukan di Jawa, itu bukti ilmiah yang sangat penting. Jika sebuah lembaga memiliki koleksi sepenting itu, itu bisa dikatakan sebagai lembaga yang hebat.
“Jadi kalau itu dikembalikan ke Indonesia, otomatis legitimasi lembaga itu akan berkurang,” ujar Sri.
Sebab, penemuan itu tidak hanya signifikan bagi Indonesia atau Belanda semata, tetapi bagi seluruh dunia.
“Itu tidak hanya penting bagi Indonesia, karena itu warisan dunia, warisan prasejarah yang tertua yang menjadi bukti penting bagi munculnya peradaban manusia di bumi ini,” katanya.
Sementara, arkeolog UI Cecep Eka Permana menilai pihak Belanda tidak memiliki data ataupun bukti penemuan manusia purba yang cukup, sehingga mereka masih ingin menyimpan Manusia Jawa dalam koleksi mereka.
“Karena itu menjadi satu bagian yang menjadi kebanggaan mereka, karena mereka dulu memang intens sekali dalam meneliti bangsa-bangsa Belanda waktu awal abad ke-19. Karena saat itu kita mereka wilayah dia secara dulu karena mereka merasa memiliki juga,” kata Cecep.
Meski begitu, ia mengatakan pemerintah Indonesia perlu meningkatkan keseriusan mereka dalam merawat dan meneliti Manusia Jawa jikalau Belanda setuju untuk mengirimnya kembali ke Indonesia.
“Kita harus mempersiapkan sarana dan prasarana untuk menunjukkan keseriusan kita kalau memang kita mau menerimanya dan tentu dengan ada temuan asli itu, penelitiannya tidak berhenti sampai di sini,” ungkapnya.
Menanggapi tudingan Indonesia tidak bisa merawat artefak bersejarah
Direktur Jenderal Kebudayaan Kemendikbudristek, Hilmar Farid, mengatakan bahwa kemampuan Indonesia merawat dan mempreservasi benda bersejarah seharusnya tidak dipermasalahkan lagi.
Menurut dia, ada banyak museum-museum di Indonesia yang mampu menyimpan kerangka Manusia Jawa dengan baik.
“Tentunya, semuanya akan dikoordinasikan dengan museum nasional. Kita sangat siap menampung koleksi itu seandainya kembali.
“Kita beberapa kali, di Sangiran itu jauh lebih tua daripada Java Man dan itu tinggalannya utuh sampai sekarang,” ungkap Hilmar.
Senada, sejarawan Sri Margana juga menilai kualitas para peneliti sejarah dan arkeolog di Indonesia sudah cukup kompeten sehingga mereka mampu menghargai dan merawat objek dengan nilai sejarah itu.
“Kita juga punya lembaga-lembaga yang cukup kompeten, seperti museum nasional yang sudah cukup bisa diandalkan,” kata Sri.
Walau begitu, ia tidak bisa mempungkiri bahwa memang jika dibandingkan dengan museum atau lembaga luar negeri, Indonesia masih tertinggal jauh.
“Kalau kita bandingkan dengan lembaga-lembaga yang di luar negeri, memang museum nasional masih tertinggal jauh. Tapi soal kemampuan merawat itu tetap bisa kita,” ujarnya.
Ia sendiri cukup optimis bahwa Manusia Jawa – beserta benda-benda bersejarah historis lainnya – akan kembali ke Indonesia. Hanya saja, memang membutuhkan waktu lebih lama dan usaha lebih dari pihak Indonesia dalam melestarikan benda-benda bersejarah tersebut agar tetap terawat.
“Kalau saya yakin dalam proses nanti, akan bisa dikembalikan. Tapi itu memerlukan proses, kita tunggu saja,” tutur Sri.
Bagaimana berjalannya proses repatriasi Belanda untuk Indonesia?
Gerakan pengembalian barang bersejarah dimulai di Perancis, yang mengembalikan sejumlah barang dari era penjajahan ke negara-negara di Afrika tahun 2018.
Setahun sebelumnya, Presiden Prancis Emmanuel Macron mengatakan Prancis akan mengembalikan barang-barang yang diperoleh secara paksa ke negara-negara di Afrika dalam kurun waktu lima tahun.
Namun, berbeda dengan Prancis, Belanda tidak akan menunggu sampai ada klaim dari negara yang pernah dijarah benda budayanya untuk mengembalikannya.
Pada 2019, Museum Nasional Kebudayaan Dunia (yang mencakup Tropenmuseum, Amsterdam; Museum Volkenkunde, Leiden; Museum Afrika, Nijmegen) menerbitkan pedoman untuk merespons permintaan pengembalian barang-barang bersejarah oleh negara lain.
Di tahun yang sama, Belanda memulangkan 1.500 benda budaya Indonesia dari Museum Nusantara di Delft yang ditutup akibat keterbatasan dana.
Hingga pada 2020, Belanda mengembalikan keris milik Pangeran Diponegoro dalam kunjungan Raja dan Ratu Belanda. Sejak itu, Indonesia dan Belanda mulai membicarakan upaya repatriasi yang dilakukan dengan kerja sama dari kedua belah pihak.
Bahkan, Sultan Banjar sempat meminta berlian Banjarmasin, ‘jarahan perang’ yang disimpan di satu museum di Belanda dikembalikan.
Berlian yang saat ini dipamerkan di Rijksmuseum di Belanda, merupakan saksi “sejarah gelap, kekerasan pada zaman kolonial,” menurut sejarawan dan kurator.
Berlian 80 karat, “jarahan perang” hampir 160 tahun lalu, sempat diberikan kepada Raja Willem III pada tahun 1862 sebagai hadiah.
Kesultanan Banjar menyebut “simbol kesultanan yang dirampas” Belanda ini harus kembali ke tanah Banjar.
Tetapi sebetulnya, Indonesia sudah lama mengajukan permintaan pengembalian artefak-artefak bersejarah kepada Belanda.
Permintaan pengembalian barang-barang bersejarah ke Indonesia diajukan pertama kali oleh Mohammad Yamin selaku Menteri Pengajaran, Pendidikan, dan Kebudayaan pada 1954
Pengembalian pun sudah dilakukan sejak tahun 1970. Detilnya sebagai berikut:
- Pada 1970, Ratu Juliana secara simbolis mengembalikan naskah Negarakertagama kepada mantan presiden Soeharto. Naskah itu baru benar-benar dikembalikan ke Indonesia tahun 1972.
- Pada 1977, pemerintah Belanda mengembalikan sejumlah benda budaya, antara lain Prajnaparamita, payung, pelana kuda, dan tombak Pangeran Diponegoro serta 243 benda pusaka Lombok hasil invasi militer di Puri Cakranegara tahun 1894.
- Pada 2015, Belanda mengembalikan tongkat Kiai Cokro milik Pangeran Diponegoro.
- Akhir 2019, Belanda mengembalikan 1.500 benda budaya dari Museum Nusantara, Delft.
- Pada Maret 2020, Belanda mengembalikan keris Diponegoro.
[ad_2]
Source link