Berita SBB,Watui – Kondisi warga di lima desa di pedalaman pulau Seram yang masuk wilayah Kecamatan Elpaputih, Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB), Provinsi Maluku sampai saat ini belum merasakan arti pembangunan yang sesungguhnya.
Lima desa yakni yaitu, Someith,Ahiolo,Pasinaru, Watui dan Huku masih terbelakang dari berbagai segi pembangunan, Mereka layak menyandang kata tertinggal .
Sudah 77 tahun Indoensia Merdeka, namun arti dari Kemerdekaan yang sesuhhnya belum dirasakan oleh warga di lima desa itu.
Merdeka untuk menikmati akses pembangunan, pendidikan, kesehatan, penerangan bahkan komunikasi dan lainnya bagi warga di lima desa itu adalah sebuah keniscayaan, jauh panggang dari api.
Sementara di pelosok wilayah lain orang bisa dengan mudah menikmati berbagai akses pembangunan yang ada. Berbanding terbalik dengan apa yang dialamai dan dirasakan warga Someith,Ahiolo,Pasinaru, Watoi dan Huku. Mereka ibarat pepatah “bagaikan pungguk merindukan bulan”.
Mereka hanya punya mimpi, mereka hanya punya harapan, kapan pembangunan itu bisa menembus wilayah mereka dalam pelosok hutan belantara Pulau Seram yang jaraknya 40 KM jika kita bergerak dari Jalan Lintas Seram- Trans Utama Pulaua Seram.
Inilah relaitas yang dialami orang-orang di desa Watoi satu dari empat desa pegunungan di kecamatan Teluk Elpaputih.
Perjalan ke ke desa Watoi harus ditempuh dengan berjalan kaki sejauh kurang lebih 40 KM memakan waktu antara 10-12 jam perjalanan normal.
Untuk keperluan di Kecamatan atau sekerdar berkunjung ke kerabat di wilayah pesisir atau menuju kota Kabupaten warga harus menyusuri jalan setapak di lebatnya hutan. Jalan itu merupakan jalur lintas satu satunya akses terbaik dan dianggap dekat untuk memotong waktu tempuh.
Di beberapa titik, jalannya berkelok naik turun perbukitan menyusuri bibir sungai, bahkan ada yang longsor, apalagi disaat hujan kondisinya penuh lumpur membuat warga harus berhati-hati. Terpelset dan jatuh menjadi hal yang sudah biasa.
Berbagai hasil bumi yang akan mereka jual ke kota harus dibawah dengan cara dipikul sejauh puluhan kilo meter untuk sampai ke jalan raya.
Dalam perjalanan warga juga harus melewati beberapa sungai kecil dan besar seperti Tala dan Nui. Jika pada musim timur sungai-sungai besar itupun meluap.
Disaat sungai Nui dan Talla meluap, warga harus bertarung nayawa melewati sungai menggunakan seutas tali. Dan disaat sungai tidak deras warga cukup menggunakan rakit yang terbuat bambu untuk menyebrangi sungai. Rakit adalah transportasi andalan warga jika kondisi sungai normal.
Seperti perjalanan yang dirasakan oleh Tim DMS Media Group ke desa Watui beberapa waktu lalu. Ditengah jalan tim menemukan seorang warga desa Watoi penyandang disabilitas sementara dibopong secara bergantian oleh warga dibantu Banbinsa setempat Serda Soleman Awayukuane.
Warga penyandang disabilitas tersebut adalah Jhon Tebiary diketahui merupakan salah satu tokoh adat desa Watoi.
Meskipun harus bergantian warga setempat sudah terbiasa bergantian membopong Tebiary melewati jalan berlumpur dan menyeberangi sungai, pergi pulang ketika, sewaktu-waktu Tebiary harus ke Kantor Kecamatan, untuk kepentingan desa Watoi.
Babinsa Serda Soleman Awayakune mengatakan, kondisi ini sudah berlansung sejak lama ketika warga yang sakit atau yang cacat phisik harus dibopong bersama-sama. Terkadang ada juga yang meminta bayaran atas jasa mereka.
Jhon Tebiary mengakui meskipun dengan kondisi phisik yang dialaminya, sebagai tokoh adat tetap menjalankan tanggung jawab demi memperjuangkan kepentingan warganya di kecamatan maupun di Kabupaten.
Dengan keterbatasan akses jalan yang ada Tebiary meminta keberpihakan pemerintah baik Kabupaten,Provinsi hingga pemerintah Pusat untuk menjawab kondisi masyarakat di lima desa yuang ada dipegunungan tersebut.
Salah satu yang dianggap sangat dibutuhkan oleh masyarakat adalah soal akses jalan masuk hingga ke lima desa itu.
Diakui persoalan akses jalan membuat hasil pertanian masyarakat di lima desa itu tidak bisa dijual ke pasar. Kalaupun ada yang dijual itu adalah hasil yang sanggup dibawah oleh warga sedangkan sisanya hanya bisa untuk dinikmati.
Dikatakan terkadang warga juga harus menginap di tengah perjalanan ketika sudah mulai malam, karena tidak sanggup melanjutkan perjalanan apalagi disaat musim hujan seperti saat ini.
Dia berharap, akses jalan bisa dibangun untuk membuka keterisolasian agar roda perekonomian warga yang ada di pegunungan itu bisa berjalan dengan baik dan maju seperti warga yang rata-rata ada di pesisir.DMS