Banjarbaru (DMS) – Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu prihatin atas maraknya pemberitaan kekerasan seksual di media online yang belum responsif gender dan perlindungan korban. Karena itu, Dewan Pers akan menerbitkan pedoman etik pemberitaan ramah terhadap korban kekerasan seksual pada akhir tahun 2024.
“Narasi pemberitaan kekerasan seksual di media online masih banyak melanggar pasal 5 Etika Jurnalistik, dengan mengungkap identitas korban dan berdampak pada perlindungan korban,” ucap Ninik Rahayu saat workshop kompetensi wartawan dalam pemberitaan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan pers, di Banjarbaru, pada Rabu, 18 September 2024.
Ia menyebut tiga indikator temuan riset bahwa media online belum responsif gender dan perlindungan korban: diskriminatif, pelabelan (stereotyping), dan victim blaming. Temuan ini pararel dengan pengaduan kasus pers di Dewan Pers dalam lima tahun terakhir.
Pada 2019, Dewan Pers menerima 626 kasus pengaduan. Angka itu melonjak jadi 813 kasus pengaduan pers pada 2023. Padahal, kata Ninik, wartawan yang telah ikut uji kompetensi sebanyak 17.966, yang terdiri atas wartawan muda 10.529, wartawan madya 3.729, dan wartawan utama 3.708.
Ninik Rahayu mengakui isu seksual dan kekerasan seksual merupakan topik berita yang punya nilai jual tinggi di media online, seperti pemerkosaan, pelecehan seksual, dan penjualan perempuan.
Ia mengimbau pimpinan redaksi dan pemilik media dapat memberikan atensi dan dukungan perlindungan korban kekerasan seksual. “Dengan kontrol ketat atas pemberitaan kekerasan seksual,” tutur Ninik Rahayu.
Dewan Pers melaksanakan uji coba perdana atas modul, silabi, dan kurikulum atas draft pedoman etik pemberitaan ramah terhadap korban kekerasan seksual. Uji coba perdana ini melibatkan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, konstituen Dewan Pers, jurnalis, organisasi Jalastoria, dan aparat penegak hukum di Banjarmasin, Kalimantan Selatan.
“Kami harap teman-teman jurnalis di Banjarmasin memberi masukan konstruktif. Ini uji coba yang pertama di Banjarmasin, setelah itu Yogyakarta dan Indonesia timur lewat online. Tiga daerah saja,” kata Ninik Rahayu.
Pihaknya ingin membuat pedoman lebih detail dari kode etik jurnalistik dengan melibatkan banyak pihak sebagai mitigasi kekerasan seksual, terutama setelah terbitnya UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Sebab, kata Ninik Rahayu, masih banyak respons negatif pada upaya pemulihan korban atas produk jurnalistik yang mengabaikan kode etik tentang kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak.
“Sehingga tidak kondusif menghapus kekerasan seksual, ini perlu diantisipasi. Dewan pers kan sudah punya pedoman pemberitaan ramah anak, pedoman berperspektif keberagaman. Ke depan, kita punya pedoman pemberitaan pencegahan dan penghapusan kekerasan seksual,” kata Ninik Rahayu.
Setelah konsultasi publik, Ninik berkata Dewan Pers dan Kementerian PPPA akan membuat nota kesepahaman (MoU) untuk mendorong penerbitan pedoman pemberitaan. Sebab, kata dia, Dewan Pers tidak bisa tiba-tiba bikin peraturan. Mereka perlu lebih dulu konsultasi publik bersama konstituen.
Ia mengimbau masyarakat tidak menyebarkan dan membaca berita yang tidak ramah terhadap upaya penghapusan kekerasan seksual. Menurut Ninik, pembaca harus menghapus asumsi bahwa semakin viral berita, maka dianggap benar. “Padahal belum tentu benar.”
Ninik Rahayu pun berharap platform media sosial, seperti Facebook, YouTube, Instagram, dan Google, tidak ikut-ikutan menyebarkan berita yang berkonotasi tidak ramah terhadap penghapusan kekerasan seksual.
Analis Kebijakan Ahli Madya Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Susanti, merespons positif kolaborasi antara Kementerian, Dewan Pers, konstituen Dewan Pers, jurnalis, dan aparat penegak hukum untuk menyusun pedoman pemberitaan berperspektif gender.
Menurut Susanti, jurnalis harus memperhatikan hak-hak korban dan ikut serta memitigasi kekerasan seksual, selain fokus pada penulisan kasus-kasus kekerasan seksual.
Pihaknya telah melakukan survei kekerasan seksual periode 2016-2021. Survei pada 2016, kata Susanti, satu dari tiga perempuan mendapat kekerasan seksual. Adapun survei pada 2021, ada penurunan kekerasan seksual, yakni satu dari empat perempuan menerima kekerasan seksual.
“Kami berharap tahun 2024 ini ada penurunan lagi kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak. Kalau bisa hilang meski agak berat,” tutur Susanti.
Adapun seorang peserta jurnalis perempuan, Devi Farahdiba, mengatakan Dewan Pers perlu menyosialisasikan materi ini ke masyarakat luas untuk membangun kesadaran terhadap potensi kekerasan seksual. Menurut Devi, beberapa jurnalis perempuan pun menerima tindakan pelecehan dari narasumber dan rekan kerja.
“Perlu disikapi dengan ketegasan sikap. Masyarakat luas harus diedukasi tidak boleh melakukan kekerasan seksual dan lebih peduli terhadap potensi kekerasan seksual,” kata Devi.DMS/TC