Ambon,Maluku (DMS) – Cuaca ekstrem kembali melanda wilayah Ambon dan sekitarnya. Hujan deras yang turun sejak 20 Juni menyebabkan banjir dan longsor di banyak titik, bahkan menelan korban jiwa.
Ratusan rumah warga terendam, akses jalan terganggu, dan infrastruktur nyaris lumpuh. Situasi ini bukan peristiwa baru melainkan peringatan lama yang kembali datang, sayangnya lagi-lagi tanpa kesiapan yang layak.
Yang paling memprihatinkan, semua bencana ini sebenarnya telah diprediksi. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) telah berulang kali mengeluarkan peringatan dini, lengkap dengan pemodelan cuaca berbasis dampak.
Teknologi prakiraan telah jauh berkembang, memungkinkan informasi yang presisi hingga ke level per jam. Namun, kecanggihan teknologi ini tidak diimbangi oleh ketegasan kebijakan dan kesiapsiagaan yang konkret dari pemerintah daerah maupun pusat.
Ambon adalah contoh nyata bagaimana prediksi tidak otomatis berujung pada aksi. Alih-alih memperbaiki sistem mitigasi, bencana justru kembali hadir dengan dampak yang sama bahkan lebih parah.
Pemerintah seolah menunggu hujan datang dan rumah hanyut dulu, baru bereaksi.Bahkan kehadiran pejabat di lokasi bencana kerap hanya menjadi seremoni rutin tanpa jaminan perubahan nyata.
Sumber masalahnya bukan semata cuaca, melainkan juga tata kelola ruang yang amburadul. Perambahan hutan, alih fungsi lahan di daerah hulu, dan pembangunan tanpa memperhatikan daya dukung lingkungan adalah bom waktu yang terus menunggu musim hujan datang untuk meledak.
Tanpa langkah tegas menata ulang wilayah rawan bencana, maka banjir dan longsor akan terus menjadi “musim tahunan” yang menakutkan bagi warga.
Penting untuk ditegaskan bahwa bencana hidrometeorologi bukan sekadar fenomena alam, tapi juga akibat langsung dari kesalahan manusia. Dan karena itu pula, upaya mengatasinya tidak bisa lagi dilakukan dengan pendekatan reaktif dan parsial.
Penanganan pascabencana harus dirancang bersama dengan strategi pencegahan yang berkelanjutan melibatkan pemerintah, akademisi, komunitas, dan terutama warga terdampak.
Sudah saatnya pemerintah, khususnya di wilayah Maluku, menjadikan data dan peringatan BMKG sebagai dasar kebijakan, bukan sekadar informasi yang diabaikan.
Bencana memang tak bisa dicegah sepenuhnya, tapi dampaknya bisa dikurangi secara signifikan jika mitigasi dilakukan secara konsisten dan menyeluruh.
Kita tidak boleh lagi menormalisasi banjir, longsor, dan pohon tumbang sebagai bagian dari “musim hujan”. Jika kita tetap lamban, maka siklus bencana akan terus berulang dengan korban yang selalu baru.
Tidak cukup hanya meninjau lokasi dan mengeluarkan instruksi reaktif saat bencana telah terjadi. Yang dibutuhkan adalah upaya mitigasi jangka panjang: penguatan sistem drainase, relokasi pemukiman dari wilayah rawan, penghentian pembabatan hutan secara ilegal, serta edukasi masyarakat untuk sadar risiko.(Stevano)