Jakarta (DMS) – Presiden Joko Widodo resmi membuka kembali keran ekspor pasir laut setelah 20 tahun dilarang. Pembukaan tersebut didasari Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 20 Tahun 2024 yang diteken Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan. Terkait itu, Greenpeace Indonesia secara tegas menolak keputusan tersebut. Menurut mereka kebijakan itu hanya akan merusak ekosistem laut, serta mengancam kehidupan nelayan serta masyarakat pesisir.
“Sejak tahun lalu ketika Presiden Joko Widodo pada 15 Mei 2023 mengesahkan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 yang membolehkan pengisapan pasir laut ataupun sedimennya di luar wilayah pertambangan, sudah banyak kritik yang disampaikan masyarakat, nelayan, akademisi hingga peneliti. Sudah kami prediksi dari awal, rezim Jokowi tidak akan peduli dengan kritik dan tidak akan berpihak pada lingkungan,” kata Juru Kampanye Laut Greenpeace Indonesia Afdillah dalam keterangan resmi, Selasa (17/9).
Sebagai informasi, keputusan membuka kembali ekspor pasir laut diteken oleh Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan (Zulhas) lewat dua peraturan, yakni Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 20 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Permendag Nomor 22 Tahun 2023 tentang Barang yang Dilarang untuk Diekspor, kemudian Permendag Nomor 21 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Permendag Nomor 23 Tahun 2023 tentang Kebijakan dan Pengaturan Ekspor.
Menurut Afdillah, Permendag tersebut memperlihatkan wujud asli Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 (PP 26/2023) tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut. Pemerintah mengeklaim PP 26/2023 dibuat untuk memulihkan ekosistem laut yang terdampak oleh sedimentasi.
“Dari awal kami sudah curiga peraturan ini adalah upaya tipu-tipu pemerintah untuk menyelubungi upaya mereka mengekspor pasir ke luar negeri,” kata dia.
Ia menekankan bahwa penambangan pasir laut dapat merusak ekosistem laut, menghancurkan habitat keanekaragaman hayati, serta memperparah abrasi pantai dan banjir rob. Hal ini terlihat dari kasus penambangan pasir di Kepulauan Spermonde, lepas pantai Makassar pada 2020. Saat itu, kapal dredging asal Belanda, Queen of the Netherlands, melakukan pengerukan pasir laut yang merusak wilayah tangkapan nelayan.
Pengerukan pasir laut berisiko mengubah struktur dasar laut, yang akan mempengaruhi pola arus laut dan memperbesar gelombang.
Selain dampak lingkungan, penambangan pasir laut juga mengancam keberlanjutan ekonomi dan sosial masyarakat pesisir. PP 26/2023 berpotensi memicu konflik antara masyarakat terdampak dengan perusahaan tambang, seperti yang terjadi dalam 24 aksi protes masyarakat terhadap aktivitas penambangan laut selama 10 tahun terakhir.
“Penambangan pasir dapat merusak wilayah tangkap nelayan, menurunkan produktivitas, dan dalam jangka panjang dapat menyebabkan kelangkaan pangan,” katanya.
Afdillah mengkritik PP 26/2023 sebagai bentuk greenwashing atau pembungkusan kebijakan yang merusak dengan label pemulihan lingkungan. Meskipun tujuannya diungkapkan sebagai pemulihan ekosistem laut, nyatanya sebagian besar isi regulasi justru lebih banyak mengatur mekanisme perizinan dan penambangan pasir dari pada pemulihan lingkungan.
“Sampai hari ini kita belum melihat bagaimana wujud upaya pemulihan lingkungan yang digadang-gadang sebagai tujuan utama dari peraturan tersebut, justru kita disuguhi oleh aturan-aturan yang malah melancarkan proses usaha ekspor pasirnya, bukan pemulihan lingkungannya,” jelasnya.
Afdillah menegaskan regulasi itu bukan solusi bagi pemulihan lingkungan, melainkan langkah mundur yang hanya menguntungkan segelintir elite dan berisiko memperburuk krisis ekologis serta ketidakadilan sosial. Pemerintah harus segera mencabut peraturan ini dan fokus melindungi lautan kita, serta berhenti mengeksploitasi lautan kita secara serampangan seperti yang terjadi selama ini. DMS/MIC