[ad_1]

Sumber gambar, ANTARA FOTO
Peserta aksi dari Tim Advokat Penegakan Hukum dan Keadilan (TAMPAK) memegang poster saat aksi seribu lilin dan doa bersama untuk Alm Brigadir Yosua Hutabarat di Bundaran HI, Jakarta, Jumat (22/7/2022).
Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengumumkan mantan Kepala Divisi Propam Ferdy Sambo sebagai tersangka kasus tewasnya Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat, atau Brigadir J, kejahatan dengan ancaman maksimal hukuman mati.
Ferdy Sambo disebutkan memerintahkan penembakan terhadap Brigadir J dengan menggunakan senjata milik Brigadir Richard Eliezer, yang telah ditetapkan sebagai tersangka sebelumnya.
“Penembakan saudara J dilakukan saudara RE atas perintah saudara FS…Timsus telah menetapkan saudara FS sebagai tersangka,” kata Kapolri.
Listyo juga mengatakan “tidak ditemukan fakta adanya tembak menembak seperti yang dilaporkan di awal.”
“Tim khusus menemukan bahwa peristiwa yang terjadi adalah peristiwa penembakan terhadap Saudara J yang menyebabkan Saudara J meninggal dunia,” tambahnya.
Namun masih diselidiki lebih dalam apakah Ferdy Sambo terlibat dalam penembakan.
Penembakan yang terjadi awal bulan Juli lalu menjadi lebih jelas setelah Eliezer mengajukan diri sebagai justice collaborator.
“Saudara RE telah mengajukan justice collaborator dan itu juga yang membuat peristiwa ini jadi semakin terang. Kemudian untuk membuat seolah-olah terjadi tembak menambak, saudara FS melakukan penembakan dengan menggunakan senjata milik saudara J ke dinding beberapa kali ke dinding untuk membuat kesan bahwa telah terjadi tembak menembak,” kata Kapolri.
“Kemarin kita telah tetapkan tiga orang tersangka yaitu saudara RE, saudara RR, dan saudara KM. Tadi pagi dilaksanakan gelar pekaran dan timsus telah memutuskan untuk menetapkan saudara FS sebagai tersangka.”
Terkait motif, Listyo mengatakan tengah dilakukan pemeriksaan dan pendalaman terhadap saksi-saksi.
Kepala Bareskrim Polri Komjen Pol Agus Andrianto mengatakan sejauh ini telah menetapkan empat orang tersangka, yang pertama Bharada RE, yang kedua Bripka RR, yang ketiga tersangka KM, yang terakhir Irjen Pol FS.
Menurut perannya masing-masing, penyidik menerapkan pasal 30 subsider pasal 338 junto pasal 25 56 KUHP dengan ancaman maksimal hukuman mati, penjara seumur hidup atau penjara selama-lamanya, 20 tahun.
“Irjen Pol FS menyuruh melakukan dan menskenariokan peristiwa seolah-olah terjadi peristiwa tembak-menembak di rumah dinas Irjen Pol Ferdy Sambo di Kompleks Polri Duren Tiga,” kata Agus.
Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD menyatakan pemerintah akan terus mengawal kasus ini sampai ke pengadilan.
Mahfud juga meminta pihak kepolisian melindungi keluarga Brigadir J dan memfasilitasi LPSK untuk memberikan perlindungan kepada Bharada E.
“Saya juga sampaikan agar Polri memfasilitasi LPSK untuk memberikan perlindungan kepada Bharada E agar dia selamat dari penganiayaan, dari racun, atau dari apapun, agar Bharada E bisa sampai ke pengadilan dan memberikan kesaksian apa adanya, yang mungkin saja kalau dia menerima perintah, bisa saja dia bebas, tapi pelaku dan instrukturnya, rasanya tidak bisa bebas,” kata Mahfud dalam konferensi pers Selasa (09/08) malam.
Ia menyatakan harapan polisi bisa menyelesaikan kasus secara ‘tegas, terbuka, dan tanpa pandang bulu’, demi membangun institusi Polri yang bersih dan terpercaya.
Perwira tinggi pertama yang diduga terlibat pembunuhan
Penetapan Irjen Ferdy Sambo sebagai tersangka pembunuhan Brigadir J dinilai sebagai ujian berat bagi institusi kepolisian karena ‘baru pertama kali seorang perwira tinggi kepolisian terlibat dalam sebuah pembunuhan’, kata pengamat kepolisian.
Namun, pengumuman status tersangka itu dinilai tidak akan terlalu banyak memperbaiki tingkat kepercayaan publik terhadap Kepolisian RI.
Bambang Rukminto, pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies, mengatakan pengumuman status Irjen Ferdy Sambo sebagai salah satu tersangka merupakan hal yang ‘sangat krusial’ bagi institusi kepolisian.
“Selama ini keterlibatan pati-pati (perwira tinggi) terkait tindak pidana bukan persoalan menghilangkan nyawa. Ini sangat berat sekali dan sangat besar kaitannya karena kembali pada tugas pokok Polri yang melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat, kalau anggota Polri apalagi salah satu pimpinan tinggi Polri (menjadi tersangka pembunuhan), tentunya sangat menampar institusi Polri,” kata Bambang kepada BBC News Indonesia.
Meski ‘patut diapresiasi’, penetapan status tersangka seorang perwira tinggi Polri ini dinilai Ketua Indonesia Police Watch (IPW) Sugeng Teguh Santoso tidak akan mengembalikan kepercayaan publik begitu saja terhadap kepolisian.
Dia menilai penetapan tersangka itu dilakukan setelah mendapat tekanan publik dan ada perintah dari presiden.
“Hanya mengobati sedikitlah. Menyenangkan hati saja. Tetapi secara substansi, kemudian kelembagaan, secara kultural, ini belum mengubah apapun,” kata Sugeng.
Sudah empat kali Presiden Joko Widodo memberikan perintah kepada Kapolri untuk menyelesaikan kasus pembunuhan Brigadir J secara transparan.
‘Polisi sering rekayasa’
Sugeng menilai, tekanan dari publik dan perintah dari presiden itulah yang menyebabkan perkembangan kasus menjadi selancar ini.
“Mereka akan bertahan dengan segala argumentasi untuk melindungi jenderal karena ada satu kebiasaan di internal bahwa seorang jenderal polisi, yang lulusan Akademi Polisi akan saling melindungi antara mereka,” ujar Sugeng.
Kapolri Jenderal Listyo Sigit dalam konferensi pers pada Selasa (09/08) malam, mengakui kejanggalan-kejanggalan yang terjadi dalam kasus pembunuhan Brigadir J dam memunculkan ‘dugaan ada hal-hal yang ditutupi dan direkayasa’.
“Tim khusus telah melakukan pendalaman dan ditemukan adanya upaya-upaya untuk menghilangkan barang bukti, merekayasa, menghalangi proses penyidikan, sehingga proses penanganannya menjadi lambat,” kata Listyo.
Dia menegaskan tidak ada peristiwa tembak-menembak seperti yang dilaporkan sebelumnya.
Hasil temuan timsus menunjukkan yang terjadi sebenarnya adalah penembakan terhadap Brigadir J, yang dilakukan oleh Brigadir E, atas perintah Irjen Ferdy Sambo.
Sumber gambar, POLRI
Polisi mengakui adanya rekayasa kasus dalam pembunuhan Brigadir J.
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur mengatakan kasus rekayasa menandakan bahwa tidak ada itikad baik dari pihak kepolisian dalam menyelesaikan kasus pembunuhan anggota polisi itu.
“Bagi saya, (penetapan status tersangka terhadap Ferdy Sambo) ini menandakan bahwa rekayasa kasus di kepolisian itu adalah hal yang sangat sering terjadi. Kekerasan, brutalitas, bahkan sampai menghilangkan nyawa itu sudah sangat sering dilakukan oleh aparat kepolisian,” kata Isnur.
Dia menyebutkan, misalnya saja dalam perkara Novel Baswedan.
Pada saat itu Novel dituduh menembak dan membunuh pencuri sarang walet di Bengkulu.
Namun, kemudian Ombudsman melakukan pemeriksaan, yang akhirnya menerbitkan laporan bahwa ada rekayasa dan manipulasi dalam kriminalisasi terhadap Novel Baswedan.
Isnur juga mengatakan rekan-rekannya di LBH kerap menyaksikan rekayasa atau kasus-kasus yang ditutupi pihak kepolisian, yang pelakunya merupakan anggota mereka sendiri.
Pasalnya mereka kerap mendampingi korban-korban penyiksaan di ruang-ruang penyidikan.
Rekayasa kasus, kata Isnur, terjadi ketika menyangkut kepentingan dan kekuasaan anggota polisi.
“Banyak yang meninggal juga di ruang tahanan dan itu kemudian mereka berusaha menutupi kekerasan dan penyiksaan itu. Jadi, ini semakin menegaskan bahwa kepolisian kondisi internalnya memang sudah sedemikian rupa harus direformasi, harus diperbaiki,” tambah Isnur.
Momentum Polri untuk ‘bersih-bersih‘
Selain menetapkan Irjen Ferdy Sambo sebagai tersangka, Kapolri juga mengumumkan keterlibatan 31 personel kepolisian dalam kasus ini.
Mereka disebut melanggar kode etik profesi, seperti menghilangkan barang bukti, sampai mengaburkan dan merekayasa kasus. Sebelas di antaranya mendapatkan penempatan khusus.
“Kita juga telah melakukan penempatan khusus kepada empat personel beberapa waktu yang lalu dan saat ini bertambah menjadi 11 personel polri terdiri dari: 1 bintang dua, 2 bintang satu, dua kombes, 3 AKBP, 2 Kompol, dan 1 AKP, dan ini kemungkinan masih bisa bertambah,“ kata Listyo.
Bambang Rukminto menilai langkah penetapan tersangka terhadap Irjen Ferdy Sambo dan melakukan penempatan khusus kepada anggota lain yang terlibat sebagai momentum untuk berbenah.
Bambang menilai keterlibatan ‘kelompok internal‘ di tubuh Polri ini merupakan hal yang ‘sangat fatal‘.
“Ini kan tidak hanya orang per orang, tapi banyak orang dan lintas satuan. Kalau seperti itu dipertahankan, sangat membahayakan bagi kepolisian,“ kata Bambang.
“Tidak apa-apa Kapolri membuang, misalnya 50 orang, tidak masalah daripada mengorbankan institusi Polri dan mengorbankan ratusan ribu anggota lain yang masih baik. Membuang 50 atau 100 orang tidak jadi masalah,“ tambah dia.
Sugeng juga mengatakan bahwa kasus pembunuhan Brigadir J ini harus ‘menjadi evaluasi‘ dan penegasan kembali praktek komunikasi atasan bawahan dalam tubuh Polri.
“Jadi, yang disebut dengan tranformasi kultural dan memulihkan kembali peraturan bahwa bawahan wajib menolak perintah atasan yang bertentangan dengan norma hukum. Di dalam kode etik itu wajib,“ kata Sugeng.
Secara terpisah, Bambang menjelaskan, selama ini terdapat kesalahan dalam memahami semboyan Satya Haprabu, yang arti sebenarnya adalah setia pada pimpinan negara, tetapi dipahami setia pada pimpinan atau atasan.
“Akibatnya bawahan ini selalu memegang apa kata atasan. Padahal dalam pola seperti itu hanya berlaku pada militer, pada komando, seperti komando di militer. Padahal kepolisian ini adalah profesional yang seharusnya bukan setia kepada atasan, tetapi setia pada aturan dan hukum yang berlaku.
Artinya bukan Satya Haprabu, tapi Satya Dharma, setia pada dharma, pada tugas dan aturan,” kata Bambang.
Selain perbaikan personel, Bambang mengatakan kepolisian juga harus melakukan perbaikan sistem pada internalnya demi memulihkan kepercayaan masyakarat terhadap kepolisian.
Misalnya dengan melakukan perbaikan pada sistem pengawasan dan peraturan terkait penggunaan senjata.
Siapa saja tersangka kematian Yosua?
Tiga orang tersangka lain terkait tewasnya Yosua di rumah dinas bekas Kadiv Propam Ferdy Sambo adalah ajudan lain, Bharada Richard Eliezer Pudihang Lumiu dan ajudan yang juga sopir istri Ferdy Sambo yaitu Brigadir Ricky dan K.
Richard disangkakan Pasal 380 KUHP juncto Pasal 56 dan 56. Penerapan Pasal 55 dan 56 itu menyiratkan adanya dakwaan perbuatan pembunuhan yang tidak hanya dilakukan satu orang.
Pada Senin (08/08), Richard resmi mengajukan diri sebagai justice collaborator ke Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dalam kasus tewasnya Yosua.
Tersangka kedua Brigadir Ricky dikenakan Pasal 340 KUHP yakni pembunuhan berencana.
Rekayasa kasus tewasnya Brigadir Yosua
Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J diketahui tewas dalam insiden yang disebut di awal sebagai “baku tembak” di rumah dinas Ferdy Sambo, pada Jumat 8 Juli lalu.
Tapi baru dibuka ke publik tiga hari setelahnya atau pada Minggu sore.
Yosua merupakan anggota personel Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) yang diperbantukan di Propam sebagai ajudan dan sopir Ferdy Sambo.
Pada awal kejadian, kepolisian menyebut insiden baku tembak itu dipicu oleh adanya dugaan aksi pelecehan yang dilakukan Yosua terhadap istri Ferdy Sambo, Putri Candrawathi.
Yosua disebut masuk ke kamar istri Ferdy Sambo sambil menodongkan senjata ke arah kepalanya.
Menurut polisi, Putri Candrawathi sempat berteriak sehingga ajuan lain, Bharada Richard Eliezer Pudihang Lumiu yang berada di luar masuk ke dalam rumah dan berjalan ke arah kamar. Akan tetapi Yosua disebut telah keluar kamar lebih dahulu.
Yosua lantas mengeluarkan tembakan sebanyak tujuh kali dan dibalas oleh Richard sebanyak lima kali.
Menurut kepolisian, tidak ada tembakan Yosua yang mengenai Richard. Sementara tembakan Richard disebut menewaskan Yosua.
Adapun soal keberadaan Fredy Sambo menurut keterangan polisi di awal, berada di luar rumah untuk keperluan melakukan tes PCR Covid-19.
Ia baru datang setelah dihubungi istrinya, kemudian menghubungi Polres Jakarta Selatan untuk melaporkan penembakan itu.
Sumber gambar, ANTARA FOTO
Polisi berjaga di depan rumah dinas Kadiv Propam Polri Irjen Pol Ferdy Sambo pascaperistiwa baku tembak dua ajudannya di Kompleks Polri Duren Tiga, Jakarta Selatan, Selasa (12/7/2022) malam.
Tapi belakangan berdasarkan pengakuan terbaru Richard, tidak ada peristiwa baku tembak di rumah Ferdy Sambo. Selain itu, dia mengaku diperintah oleh atasannya langsung untuk menembak Yosua.
Keterangan itu, kata Muhammad Boerhanuddin kuasa hukum Richard, sudah dicatat dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) kepada penyidik dan tim khusus Polri.
Boerhanuddin juga menyebut, bekas proyektil yang berada di TKP hanya alibi. Padahal pistol milik Yosua sengaja ditembakkan ke arah dinding supaya terkesan ada peristiwa baku tembak.
Dalam laporan Majalah Tempo Senin (8/8), Richard menyatakan dia turun dari lantai dua saat mendengar ada keributan di rumah tamu. Saat berada di tangga, dia melihat Ferdy Sambo tengah memegang pistol. Di dekatnya, Yosua sudah terkapar bersimbah darah.
Siapa Ferdy Sambo?
Ferdy Sambo menjabat sebagai Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Polri sejak 16 November 2020.
Lulusan Akademi Kepolisian tahun 1994 ini berpengalaman di bidang reserse. Tahun 2010, dia menjabat sebagai Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Jakarta Barat.
Kariernya terus menanjak hingga 2012 ditugaskan sebagai Kapoles Purbalingga. Setahun kemudian dia menjabat sebagai Kapolres Brebes.
Pada 2015 Ferdy Sambo menduduki posisi Wakil Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya.
Sebelum ditunjuk sebagai Kadiv Propam, dia sempat menjadi Kepala Subdirektorat IV, lalu Kasubdit III Direktorat Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri pada 2016.
Beberapa kasus yang pernah ditangani Ferdy Sambo di antaranya bom Sarinah Thamrin tahun 2016; kasus kopi mengandung sianida; surat palsu tersangka Djoko Tjandra; kebakaran di Gedung Kejakasaan Agung; hingga insiden bentrok FPI dan Polri di Jalan Tol Jakarta-Cikampek pada Desember 2020 yang menewaskan enam orang anggota FPI.
Sumber gambar, ANTARA FOTO
Kadiv Propam nonaktif Irjen Pol Ferdy Sambo (tengah) berjalan keluar usai menjalani pemeriksaan di Bareskrim Mabes Polri, Jakarta, Kamis (4/8/2022).
Sejak dicopot dari jabatannya sebagai Kadiv Propam Polri pada 4 Agustus lalu, Irjen Ferdy Sambo telah diperiksa penyidik sebanyak empat kali.
Kepada wartawan, dia meminta maaf kepada institusi Polri atas kasus yang melibatkannya dan menyampaikan belasungkawa kepada keluarga Yosua.
Pada pemeriksaan di hari Sabtu (6/8), Ferdy Sambo langsung diboyong ke Mako Brimob Kepala Dua, Depok dengan penjagaan ketat dari pasukan Brimob yang membawa senjata laras panjang.
Pemeriksaan terus berlanjut hingga Senin (8/8) malam oleh tim khusus bentukan Kapolri.
Kepala Divisi Humas Polri, Irjen Pol. Dedi Prasetyo, mengatakan Ferdy Sambo ditempatkan di tempat khusus Mako Brimob selama 30 hari atas dugaan melakukan pelanggaran etik dalam penanganan perkara Yosua.
Presiden Jokowi: Jangan ada yang ditutupi
Di awal pengusutan kasus, kematian Yosua dinilai penuh kejanggalan menurut keluarga karena sempat dilarang oleh kepolisian untuk melihat jenazah dengan alasan telah dilakukan proses autopsi.
Tapi setelah bernegosiasi, pihak keluarga akhirnya dibolehkan melihat jasad Yosua.
Kejanggalan lain merujuk pada luka-luka yang terdapat di tubuh Yosua.
Menurut pihak keluarga, sedikitnya ada tujuh luka tembak. Tak cuma itu, ada juga luka senjata jatam di bagian telinga dan bahu kanan.
Temuan lain, bagian jari manis mengalami kerusakan dan perut bagian kanan dan kiri termasuk tulang rusuk mengalami memar.
Barang bukti berupa kamera pengintai atau CCTV di sekitar rumah Ferdy Sambo yang kemungkinan merekam peristiwa “baku tembak” itu mendadak hilang. Kemudian beberapa telepon selular milik Yosua juga lenyap.
Pihak keluarga Yosua meyakini ponsel itu setidaknya bisa menjadi bukti dalam kasus ini.
“Jangan ada yang ditutupi, ungkap kebenaran apa adanya, ungkap kebenaran apa adanya,” kata Jokowi dalam video di akun YouTube Sekretariat Presiden, Selasa (9/8/2022).
“Jangan sampai menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap Polri, itu yang paling penting. Citra Polri apa pun tetap harus kita jaga,” sambung Jokowi.
Sumber gambar, ANTARA FOTO
Kuasa hukum keluarga Brigadir J, korban peristiwa dugaan baku tembak antaranggota Polisi di rumah dinas Kepala Divisi Propam Polri Irjen Pol. Ferdy Sambo, Kamaruddin Simanjuntak (tengah) menunjukkan surat laporan resmi di Bareskrim Mabes Polri, Jakarta, Senin (18/7/2022).
Kejanggalan-kejanggalan tersebut memicu kecurigaan dari keluarga Yosua adanya kejahatan pembunuhan berencana sehingga mereka mengajukan autopsi ulang dan membuat laporan ke Bareskrim Polri.
Laporan itu soal dugaan pembunuhan dan penganiayaan bersama-sama.
Sementara itu Menkopolhukam Mahfud MD dan Presiden Joko Widodo berkali-kali meminta Kapolri untuk mengungkap kasus tersebut secara transparan agar tidak merusak citra Polri.
Kapolri bentuk Tim Khusus dan mutasi 25 anggota polisi atas pelanggaran etik
Pada 12 Juli 2022, Kapolri Listyo Sigit Prabowo membentuk tim khusus yang ditujukan untuk mendalami kasus penembakan yang menewaskan Yosua.
Tim khusus ini dipimpin oleh Wakapolri Gatot Eddy Pramono dengan anggota unsur lainnya seperti Irwasum, Kabareskrim dan Provos.
Tim ini setidaknya telah memeriksa 11 orang dari pihak keluarga Yosua, saksi yang berada di Tempat Kejadian Perkara dan ahli kriminolog.
Sebelumnya, tim khusus ini juga sudah memeriksa petugas kesehatan yang melakukan tes PCR dan sopir Ferdy Sambo serta tim ahli dari Indonesia Automatic Fingerprint Indentifiaction System (Inafis) juga dokter forensik.
Sumber gambar, ANTARA FOTO
Polisi berjaga di depan rumah dinas Kadiv Propam Polri Irjen Pol Ferdy Sambo pascaperistiwa baku tembak dua ajudannya di Kompleks Polri Duren Tiga, Jakarta Selatan, Selasa (12/7/2022) malam.
Dalam perkembangannya, inspektorat khusus (Irsus) yang masuk dalam tim khusus bentukan Kapolri memeriksa 25 anggota polisi dari berbagai kesatuan dan pangkat yang diduga tidak bekerja profesional dalam menangani kasus Yosua.
Dua puluh lima polisi yang diperiksa itu terdiri dari tiga perwira tinggi bintang 1, lima orang Komisaris Besar (Kombes), tiga Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP), dua Komisaris Polisi (Kompol), tujuh perwira pertama, dan lima orang bintara serta tamtama.
Mereka berasal dari berbagai kesatuan di antaranya Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam), Polres Jakarta Selatan, Polda Metro Haya, hingga Bareskrim.
Para anggota polisi tersebut, menurut Irsus, diduga melakukan perbuatan tidak profesional dan terindikasi menghambat olah Tempat Kejadian Perkara seperti menghilangkan atau merusak barang bukti.
Pada 4 Agustus 2022, Kapolri Listyo Sigit langsung memutasi 25 anggota Polri yang diduga melanggar kode etik dalam penanganan kasus kematian Yosua.
Salah satu yang dicopot dari jabatannya adalah Kadiv Propam, Irjen Ferdy Sambo dan dimutasi sebagai Pati Yanmas Polri.
Barang bukti rusak
Kepala Bareskrim, Komjen Agus Andrianto, mengatakan tim khusus mengalami kendala lantaran adanya barang bukti yang rusak atau dihilangkan. Itu mengapa tim membutuhkan waktu untuk mengungkap kasus ini.
Sejumlah barang bukti yang dirusak itu yakni kamera pengintai atau CCTV di rumah dinas Kadiv Propam Polri Ferdy Sambo hingga lenyapnya ponsel Brigadir Yosua.
Namun begitu Kapolri Listyo Sigit mengatakan dirinya sudah mengetahui siapa personel yang mengambil CCTV rusak tersebut.
“Ada CCTV rusak yang diambil pada saat di satpam, dan itu juga sudah kita dalami dan kita sudah mendapatkan bagaimana proses pengambilannya,” ujar Sigit dalam jumpa pers di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Kamis (4/8).
Kapolri berjanji akan membuka hasil penyidikan setelah seluruh proses pemeriksaan selesai.
[ad_2]
Source link