Jakarta, (DMS) – Gelombang aksi penolakan terhadap Rancangan Undang-Undang (RUU) perubahan atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) terus bergulir di berbagai daerah dalam sepekan terakhir.
Aksi ini melibatkan mahasiswa, aktivis, serta akademisi yang mengecam percepatan pembahasan revisi UU TNI yang dinilai minim transparansi.
Aksi unjuk rasa berlangsung di berbagai kota besar, termasuk Jakarta, Yogyakarta, Solo, Surabaya, dan Makassar. Massa menilai revisi UU TNI berpotensi menghidupkan kembali dwifungsi militer yang telah dihapus sejak Reformasi 1998.
Pada Rabu (20/3), mahasiswa Universitas Trisakti menggelar aksi di depan kompleks parlemen Jakarta. Massa sempat menghadang kendaraan yang membawa Menteri Hukum dan HAM, Supratman Andi Agtas, yang datang untuk membahas draf final RUU TNI sebelum disahkan dalam rapat paripurna. Supratman menyebut tidak ada perubahan mendasar dalam draf tersebut, hanya perbaikan tata bahasa pada satu pasal.
Di Makassar, aktivis dari Aliansi Masyarakat Sipil Makassar menggelar aksi di depan kantor DPRD Sulawesi Selatan dan Markas Kodam XIV Hasanuddin. Mereka mendesak pemerintah dan DPR untuk menghentikan pembahasan RUU yang dinilai tidak memiliki urgensi yang jelas.
“DPR dan pemerintah harus menghentikan pembahasan RUU TNI karena berpotensi menghidupkan kembali dwifungsi militer yang membatasi ruang demokrasi,” ujar Koordinator Aksi, Badai.
Sementara itu, di Yogyakarta, massa dari Aliansi Jogja Memanggil menggelar unjuk rasa di depan Museum TNI AD Dharma Wiratama.
Mereka memasang spanduk besar berisi seruan menolak pengesahan RUU TNI dan menekankan bahwa dwifungsi militer harus menjadi bagian dari sejarah yang tidak dihidupkan kembali.
“Kami menyerukan masyarakat di seluruh Indonesia untuk bersuara dan menolak RUU TNI. Dwifungsi militer adalah ancaman bagi demokrasi,” kata Humas Aliansi Jogja Memanggil, Bung Kus.
Di lingkungan akademik, civitas akademika Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Universitas Islam Indonesia (UII) turut mengeluarkan pernyataan sikap menolak RUU TNI.
Dalam aksi di halaman Gedung Balairung UGM pada Selasa (19/3), mereka menilai revisi UU TNI bertentangan dengan prinsip negara hukum dan mengancam independensi peradilan.
“Tidak ada urgensi perubahan UU TNI, apalagi jika prosesnya dilakukan secara tertutup dan tidak melibatkan partisipasi publik,” ujar Achmad Munjid, dosen Fakultas Ilmu Budaya UGM.
Di Solo, mahasiswa Universitas Sebelas Maret (UNS) menggelar aksi di depan kantor DPRD Kota Solo. Presiden BEM UNS, Muhammad Faiz Yuhdi, menyatakan bahwa revisi UU TNI berpotensi mengembalikan era Orde Baru, di mana militer memiliki kendali besar dalam pemerintahan.
“Kami khawatir ini akan menjadi Orde Baru jilid dua. Sejarah mencatat, militerisme di masa lalu menyebabkan banyak tragedi yang tidak berpihak kepada rakyat,” tegas Faiz.
Di Surabaya, massa aktivis yang memperingati Hari Perempuan Internasional juga menyuarakan penolakan terhadap RUU TNI dalam aksi di depan Gedung Negara Grahadi. Mereka menilai RUU ini berpotensi mempersempit ruang kebebasan bagi kelompok masyarakat sipil, termasuk perempuan.
Elsa Ardhilia Putri, penanggung jawab aksi, mengatakan bahwa masyarakat harus terus mengawal pembahasan RUU TNI agar tidak lolos begitu saja di DPR.
“Jika tidak diawasi, RUU ini bisa segera disahkan. Oleh karena itu, kami mendesak masyarakat Surabaya untuk menolak revisi ini secara tegas,” ujarnya.
Gelombang aksi penolakan diperkirakan akan terus berlanjut, terutama menjelang rapat paripurna DPR yang dijadwalkan dalam waktu dekat. Massa aksi menegaskan akan terus mengawal proses legislasi untuk memastikan RUU TNI tidak menghidupkan kembali praktik militerisme dalam kehidupan sipil di Indonesia.(DMS/CC)