Jakarta (DMS) – Kasus kanker usus buntu menunjukkan peningkatan signifikan di kalangan generasi X dan milenial di Amerika Serikat, meskipun jenis kanker ini tergolong langka. Penelitian terbaru menunjukkan angka kejadian melonjak tajam pada mereka yang lahir setelah tahun 1975.
Salah satu kasusnya dialami Chris Williams, warga AS berusia 48 tahun. Ia mengunjungi rumah sakit pada 2021 karena merasakan sakit perut dan mual. Awalnya ia didiagnosis menderita radang usus buntu dan langsung menjalani operasi.
Namun, hasil pemeriksaan pascaoperasi menunjukkan adanya tumor kanker di usus buntunya. Setelah biopsi, tumor tersebut dipastikan sebagai kanker stadium III.
“Ini seperti anugerah tersembunyi. Kalau tidak segera dioperasi, kankernya bisa naik ke stadium IV,” kata Williams, dikutip dari CNN, Selasa (17/6/2025). Ia dinyatakan bebas kanker setelah menyelesaikan pengobatan pada November 2022.
Penelitian yang dipublikasikan dalam Annals of Internal Medicine menyebutkan, dibandingkan mereka yang lahir antara 1941–1949, risiko terkena kanker usus buntu meningkat tiga kali lipat pada orang yang lahir antara 1976–1984, dan empat kali lipat pada kelahiran 1981–1989.
Penelitian dilakukan oleh tim dari Vanderbilt University Medical Center, West Virginia University, dan University of Texas Health Science Center. Data diambil dari 4.858 pasien berusia 20 tahun ke atas yang terdiagnosis kanker usus buntu pada 1975–2019, berdasarkan data National Cancer Institute AS.
“Ini tren yang mengkhawatirkan. Kami menemukan lonjakan yang tidak bisa dijelaskan hanya dengan kemajuan teknologi diagnostik,” ujar dr Andreana Holowatyj, penulis utama studi dan asisten profesor onkologi di Vanderbilt University Medical Center.
Menurutnya, kanker usus buntu umumnya ditemukan secara tidak sengaja, seperti setelah kasus radang usus buntu akut, karena belum ada metode skrining standar.
Para peneliti menduga, faktor lingkungan seperti obesitas berperan dalam tren peningkatan kanker gastrointestinal (saluran pencernaan) secara keseluruhan, termasuk kanker usus besar, rektum, dan lambung.
“Fakta bahwa tren ini juga terjadi pada kanker saluran cerna lainnya menunjukkan adanya faktor risiko bersama yang perlu diteliti lebih lanjut untuk pencegahan,” ujar Holowatyj.
Penelitian lebih lanjut diharapkan dapat mengungkap faktor risiko yang mendorong lonjakan kasus ini, sekaligus menjadi dasar pengembangan strategi pencegahan yang lebih efektif.DMS/CC