[ad_1]
Sumber gambar, Tempo
Mahasiswa yang berdemonstrasi pada 8 Desember 2015 di depan kantor Komnas HAM.
Kejaksaan Agung RI menetapkan seorang tersangka – anggota TNI berinisial IS – dalam kasus pelanggaran HAM berat, Tragedi Paniai yang terjadi pada Desember 2014.
Dalam keterangan persnya, Kejaksaan Agung menyatakan penyidik telah berhasil mengumpulkan alat bukti sesuai Pasal 183 junto 184 KUHAP. Hal itu memperjelas “adanya peristiwa pelanggaran HAM Berat di Paniai Tahun 2014 berupa pembunuhan dan penganiayaan”.
“Peristiwa pelanggaran HAM Berat terjadi karena tidak adanya pengendalian yang efektif dari komandan militer yang secara de yure dan/atau de facto berada di bawah kekuasaan dan pengendaliannya, serta tidak mencegah atau menghentikan perbuatan pasukannya dan juga tidak menyerahkan pelakunya kepada pejabat yang berwenang untuk dilakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan,” kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung RI Ketut Sumedana dalam rilisnya, Jumat (01/04).
Tragedi Paniai terjadi pada 8 Desember 2014. Sebanyak empat orang warga tewas ditembak dan 21 lainnya terluka ketika warga melakukan aksi protes terkait pengeroyokan aparat TNI terhadap kelompok pemuda sehari sebelumnya.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) pada Februari 2020 baru menetapkan perisitiwa Paniai pada 7-8 Desember 2014 merupakan kasus pelanggaran HAM berat menyusul temuan tim.
Dalam peristiwa itu, Komnas HAM mencatat empat orang tewas terkena peluru panas dan luka tusuk. Sementara itu, 21 orang lainnya terluka karena penganiayaan.
Komnas HAM menduga anggota TNI yang bertugas pada peristiwa tersebut, baik dalam struktur komando Kodam XVII/Cendrawasih sampai komando lapangan di Enarotali, Paniai, sebagai “pelaku yang bertanggung jawab”.
Penyidikan kasus pelanggaran HAM berat dalam Tragedi Paniai dimulai pada Desember 2021 lalu. Selama kurang lebih empat bulan, Kejaksaan Agung telah memeriksa tujuh warga sipil, 18 orang dari kepolisian, 25 orang dari unsur TNI, serta enam pakar ahli.
Ketut Sumedana mengatakan pemeriksaan dilakukan di beberapa wilayah Indonesia.
“Kita melakukan pemeriksaan sampai ke Jambi, keliling loh, sampai ke Sumbar (Sumatera Barat). Kita ada sampai ke Papua juga,” kata Ketut saat diwawanca BBC News Indonesia, Senin (28/03).
“Tidak hanya di Jakarta, bahkan di Jakarta kita lakukan di tempatnya kepolisian, ada tempatnya TNI, kita lakukan pemeriksaan,” tambah Ketut.
Dituding tidak transparan, perspektif korban tidak didengar
Sumber gambar, Getty Images
Unjuk rasa mahasiswa asal Papua pada 22 Agustus 2019.
Menjelang pengumuman tersangka kasus kekerasan di Paniai, Papua, oleh Kejaksaan Agung, pada akhir Maret lalu para pegiat HAM dan perwakilan keluarga korban mengkritik proses penyidikan yang dianggap tidak transparan.
KontraS, YLBHI, Amnesty International Indonesia dan keluarga korban kasus Paniai mempertanyakan mengapa dalam penyidikan kasus tersebut Kejaksaan Agung tidak melibatkan penyidik ad hoc dari unsur masyarakat.
Padahal, menurut mereka langkah ini penting untuk membuat penyidikan partisipatif dan independen.
“Tim ini tertutup, dalam artian, satu, update-nya tertutup dan tim ini tidak memasukkan masyarakat sipil dalam tim penyidiknya,” kata Kepala Divisi Pemantauan Impunitas KontraS, Tiorita Pretty, dalam jumpa pers, Senin (28/03).
Selain itu, mereka juga mempertanyakan pelibatan keluarga korban maupun korban terluka dalam mengungkap kasus yang menewaskan empat orang itu.
Yones Douw, pendamping keluarga korban tragedi Paniai, mengatakan hingga saat ini mereka tidak pernah bertemu dengan tim penyidik.
“Sampai saat ini Kejaksaan Agung tidak pernah ketemu dengan keluarga korban, dengan korban, sampai hari ini.
“Kita tanya kepada keluarga korban, apakah Jaksa Agung atau tim yang dari Jakarta sudah ketemu keluarga atau korban, tapi mereka mengatakan sampai saat ini mereka belum ketemu,” kata Yones.
Menurut keterangan para keluarga dan korban kepada Yones, hanya ada pejabat-pejabat dan ormas yang mengunjungi mereka dan menanyakan kasus Paniai.
Hal tersebut membuat keluarga korban meragukan proses penegakan hukum yang sedang berjalan akan berujung pada keadilan.
Mereka berkaca pada beberapa kasus seperti Kasus Dogiyai yang menewaskan dua orang (Dominokus Auwe dan Alwisus Waine) pada 2011 dan pembunuhan Pendeta Yeremia Zanambani pada 2020.
Sumber gambar, JEWEL SAMAD/AFP via Getty Images
Para pengunjuk rasa Papua ikut serta dalam demonstrasi di depan kedutaan besar AS di Jakarta, 5 Juli 2007, untuk memprotes militer Indonesia karena dituduh menyiksa masyarakat.
Peneliti dari Lembaga Penelitian Indonesia (LIPI), Adriana Elizabeth menambahkan, dalam kasus pelanggaran HAM di Papua yang terjadi sampai sekarang, perspektif korban kerap kali tidak didengar.
Padahal menurutnya, perspektif korban sangat penting.
“Mereka kan betul-betul mengharapkan ada informasi yang jelas, ada alasan yang kuat mengapa terjadi hal-hal seperti itu atau terjadi pelanggaran HAM itu, apa sebab dan sebagainya, kemudian respons dan tanggung jawab negara dalam hal ini.
“Itu yang menurut saya sangat ditunggu,” kata Adriana.
Seandainya, apa yang mereka inginkan tidak terungkap, Adriana mengatakan “mereka pasti akan terus bersuara untuk meminta sampai kasus ini betul-betul bisa disampaikan secara baik”.
Dan jika negara terlibat, menurutnya, “harus ada tanggung jawab untuk menyelesaikan secara baik”.
Kejaksaan Agung: ‘Kami sudah periksa korban’
Sumber gambar, PRASETYO UTOMO/ANTARA FOTO
Sejumlah pengunjuk rasa dari Koalisi Rakyat Papua Barat melakukan aksi di Bundaran HI, Jakarta, Senin (24/9/2007).
Namun, Kejaksaan Agung mengatakan pihaknya sudah transparan dan proses penyidikan kasus pelanggaran HAM berat itu sudah dilakukan sesuai dengan kebutuhan.
Ketut Sumedana, mengungkap Kejaksaan Agung tidak menunjuk penyidik ad hoc karena proses itu akan membuat proses penyidikan berjalan lebih lama lagi.
Dia juga menambahkan, tidak ada aturan yang melarang bahwa penyidikan mutlak dilakukan Jaksa Agung.
“Tapi, memang ada juga bahwa melibatkan ad hoc juga bisa, cuma prosedur pemilihannya akan memakan waktu yang cukup panjang.
“Kalau makin lama, nanti kita kehilangan waktu dan kehilangan momen untuk melakukan penyidikan,” kata Ketut kepada BBC News Indonesia, Senin (28/03).
Sementara itu, terkait pemeriksaan keluarga korban dan korban, Direktur Pelanggaran HAM Berat Kejaksaan Agung pada Jampidsus, Erryl Prima Putera, mengatakan sudah memeriksa kedua pihak.
“Dalam setiap perkara kan kita harus periksa (korban). Salah satu korban juga sudah kita periksa di Papua sana,” kata Erryl kepada BBC News Indonesia, Selasa (29/03)
Proses penyidikan, diakui Erryl, memang berlangsung diam-diam agar berjalan lancar karena kasus pelanggaran HAM berbeda dengan kasus-kasus lainnya.
“Semua sudah sesuai mekanisme KUHAP,” tegas Erryl.
Sebelumnya, Ketut mengatakan penyidikan yang dilakukan oleh pihaknya sudah dilakukan sesuai kebutuhan.
“Penyidikan itu tergantung kebutuhan penyidikan, artinya penyidik menentukan apa yang dilakukan dalam menyelesaikan proses penyidikan itu, apa yang diperlukan, itulah yang dicari dulu.
“Kita tidak melebar ke mana-mana. Nanti kalau kita melibatkan sesuatu yang tidak terkait dengan pembuktikan, nanti malah ke mana-mana kasusnya,” kata Ketut.
Berdampak besar dan menjadi harapan
Adriana Elizabeth mengatakan penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat tragedi Paniai tujuh tahun silam memiliki dampak besar, baik untuk masyarakat Papua maupun Indonesia secara keseluruhan.
Sebab, Presiden Joko Widodo berjanji akan menyelesaikan kasus tersebut pada 2014 lalu.
“Saya ingin kasus ini diselesaikan secepat-cepatnya, agar tidak terulang kembali di masa yang akan datang.
“Kita ingin, sekali lagi, tanah Papua sebagai tanah yang damai,” kata Jokowi pada 27 Desember 2014, di Stadion Mandala, Jayapura.
Sementara tragedi Paniai terjadi pada 8 Desember 2014.
Sumber gambar, AFP
Presiden Jokowi berjanji menggelar dialog dengan masyarakat Papua.
“Ini menjadi catatan penting karena masyarakat berharap ini selesai, tapi ternyata perintah presiden pun sampai hari ini belum selesai.
“Salah satunya karena tertahan di Kejaksaan Agung,” kata Adriana.
Pengungkap kasus yang relatif masih baru ini, kata Adriana, juga menjadi harapan bagi kasus-kasus lainnya, yang dijanjikan akan diselesaikan.
“Secara umum masyarakat menagih janji kan, terutama korban. Katanya mau selesaikan kasus HAM termasuk di Papua, yang satu ini saja tidak selesai-selesai.
“Jadi, harapan itu akan semakin hilang kalau kasus ini tidak diungkap secara baik. Dampaknya akan sangat panjang kalau ini tidak selesai-selesai,” ujar Adriana.
Forum dialog tentang HAM
Menurut Adriana, sampai saat ini pemerintah terkesan “tidak serius” dalam mengatasi masalah pelanggaran HAM, terutama di Papua.
Adriana pernah mengusulkan dibentuk forum dialog tentang HAM kepada pemerintah, tapi sampai sekarang hal itu tidak pernah terwujud.
“Saya usulkan untuk membentuk forum dialog tentang HAM supaya persoalan ini tidak seolah-olah pemerintah terus dituntut, walaupun memang itu tanggung jawab pemerintah ya.
“Termasuk misalnya bagaimana kita mau menjawab laporan-laporan internasional tentang HAM, kita duduk bersama, kita bicara ada apa sebetulnya,” kata Adriana.
[ad_2]
Source link