[ad_1]
Aksi kekerasan yang dilakukan personel TNI/Polri kepada warga sipil menunjukkan budaya militeristik dan kekerasan masih terpelihara dalam kultur keseharian polisi dan tentara ketika bersinggungan dengan masyarakat, kata Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).
Dalam beberapa waktu terakhir, sebuah video viral di media sosial menunjukkan prajurit TNI menendang seorang ibu pengemudi motor di Bekasi, Jawa Barat. Kemudian, beredar juga video aksi pemukulan yang dilakukan anak polisi di Sumatra Utara – ayahnya, perwira menengah Polri, terlihat menyaksikan aksi tersebut dan melarang penganiayaan itu untuk dilerai.
Kasus penendangan personel TNI itu berakhir dengan maaf antara kedua pihak. Sementara anak anggota polisi di Medan dijadikan tersangka dan ayahnya telah ditahan untuk kemudian menjalani sidang etik.
Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) melihat seringkali penindakan kasus yang melibatkan aparat baru akan ditangani ketika viral di media sosial, seperti kasus pemukulan oleh anak polisi yang telah terjadi dan dilaporkan sejak Desember 2022.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mengecam tindakan kekerasan tersebut karena seharusnya aparat keamanan menjadi contoh bagi masyarakat dalam mengedepankan prinsip penghormatan terhadap hak asasi manusia (HAM).
Berdasarkan data KontraS dari Juli 2021 – Juni 2022 tercatat setidaknya telah terjadi 677 peristiwa kekerasan oleh pihak kepolisian. Lalu, dalam periode Oktober 2021 hingga September 2022, terdapat setidaknya 61 peristiwa kekerasan melibatkan anggota TNI.
Tangis ibu korban di Medan – ‘Anak saya dipijak’
Elvi Indri Putri tidak kuasa membendung tangis ketika menceritakan tentang penganiayaan yang dialami anaknya, KA, pada Desember 2022 lalu, di Medan, Sumatra Utara.
Elvi tak habis pikir pelaku, AH, anak AKBP Achiruddin Hasibuan, tega menghajar dan memperlakukan anaknya ‘layak binatang’ meski sudah tidak berdaya dan terkapar.
“Bagaimanalah, anak saya dipijak. Kalau tadi itu anjing, sudah ampun-ampun pasti ditolong,” Elvi kepada wartawan Fahri BB di Medan yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Rabu (26/04).
Sebagai seorang ibu, Elvi menyatakan tidak akan pernah membuka pintu damai bagi pelaku.
“Saya minta proses hukum berjalan lancar saja. Tidak ada damai, biar prosedur hukum yang berjalan. Tidak usah ada damai,” ujar Elvi.
“Supaya jangan ada perwira-perwira menengah yang tidak berhati nurani sama sekali, kan ini untuk menjaga citra kepolisian juga,” katanya.
Saat ini, kata Elvi, anaknya telah kembali ke Inggris untuk melanjutkan kuliah. Namun akibat tindak penganiayaan yang dialami, mata KA mengalami gangguan pengelihatan dan kupingnya seperti mendengar suara berdengung.
Oleh sebab itu, ujarnya, KA masih menjalani perawatan medis di luar negeri.
Sebuah video yang viral di sosial media memperlihatkan KA ketika ditendang dan dipukul berkali-kali oleh AH, pada Desember 2022 lalu.
Dalam aksi kekerasan tersebut, AKBP Achiruddin Hasibuan ada di lokasi kejadian. Dia terlihat diam dan menyaksikan penganiayaan, bahkan menghalangi seseorang yang ingin melerai.
Pascakejadian tersebut, kata Elvi, dia lalu melaporkan penganiayaan itu ke Polrestabes Medan. Selang beberapa hari kemudian, Elvi justru memeroleh surat yang menyatakan bahwa anaknya berstatus sebagai terlapor.
Elvi kemudian melanjutkan laporannya ke Polda Sumut.
Selang empat bulan usai kejadian, Polda Sumut menetapkan AH sebagai tersangka dengan ancaman pasal 351 ayat 2 KUHP.
Sementara, Achiruddin dicopot dari jabatannya sebagai Kepala Bagian Bina Operasional Direktorat Reserse Narkoba Polda Sumut dan ditahan di tempat khusus untuk pemeriksaan.
Achiruddin belum ditetapkan sebagai tersangka menunggu sidang etik profesi Polri.
Bagaimana kronologi penganiayaan?
Pascapenetapan tersangka, polisi menggeledah rumah Achiruddin di Medan guna mencari barang bukti.
Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Sumatera Utara, Kombes Sumaryono, menjelaskan dugaan tindak penganiayaan yang dilakukan AH terjadi pada 11 Desember 2022 sekitar pukul 16:00 WIB.
Saat itu, KA mengirim pesan kepada AH dan mempertanyakan hubungannya dengan seorang perempuan. AH diduga tidak senang dengan pertanyaan tersebut.
Pada 21 Desember 2022 malam, KA dan saudaranya melintas di suatu jalan dengan mengendarai mobil. Tiba-tiba, mereka dihentikan oleh AH dan aksi pemukulan terjadi. Tak hanya itu, AH juga diduga merusak spion mobil korban.
Keesokannya, KA dan beberapa orang temannya mendatangi rumah AH dan memanggilnya agar ke luar rumah. Tak lama berselang, pelaku muncul bersama Achiruddin.
Setelah itu, AH mengajak KA berkelahi dan langsung melakukan pemukulan.
“Kemudian bapak dari terlapor menyuruh seorang laki-laki untuk mengambil senjata laras panjang dan menodongkannya kepada korban,” ujar Sumaryono.
Saat rekan korban ingin melerai, lanjut Sumaryono, lelaki yang membawa senjata tersebut malah melarang. Akibat tindakan itu, KA mengalami luka-luka pada bagian kepala.
Sebelumnya, Kabid Propam Polda Sumut, Kombes Dudung Adijon,o mengatakan hasil pemeriksaan menunjukkan AKBP Achiruddin Hasibuan terbukti membiarkan anaknya menganiaya KA.
“AKBP Achirudin terbukti melanggar kode etik, sesuai Pasal 13 huruf M Peraturan Kepolisian No.7/2022 tentang tentang Kode Etik Profesi dan Komisi Kode Etik Polri, yang berbunyi setiap pejabat Polri dalam etika kepribadian dilarang melakukan tindak kekerasan, berperilaku kasar, dan tidak patuh,” kata Kabid Propam Polda Sumut Kombes Dudung Adijono, Selasa (25/04).
Penendangan oleh anggota TNI di Bekasi
Selain kekerasan di Medan, warganet juga diramaikan dengan sebuah video yang menunjukkan seorang tentara menendang motor dikendarai seorang perempuan yang membonceng anak di Bekasi, Jawa Barat.
Dalam video itu, pria berseragam tentara itu menggunakan kaki kanannya untuk menendang motor di sebelahnya. Motor yang dikendarai perempuan itu hampir terjatuh namun mampu ditopang oleh perempuan dan anak itu. Setelah menendang, tentara itu melajukan motornya.
Usai video itu viral, akun Twitter TNI Angkatan Udara menjelaskan, bahwa tentara itu adalah Praka ANG, anggota Detasemen Pertahanan Udara (Denhanud) 471 Pasgat.
“Selamat pagi Airmen. Yang bersangkutan adalah Praka ANG, Anggota Denhanud 461. Saat ini ybs sudah mendapat sanksi disiplin dari atasannya. Dandenhanud 471 juga sedang mencari ibu tersebut utk meminta maaf secara langsung. Terima kasih,” bunyi tulis akun TNI Angkatan Udara itu.
Selain menerima sanksi disiplin, Komandan Denhanud 471 Pasgat dan pelaku penendangan pun bertemu dengan korban untuk meminta maaf.
Kepala Dinas Penerangan TNI AU, Marsekal Madya Indan Gilang Buldansyah, menjelaskan peristiwa itu bermula ketika Praka ANG berkendara di belakang motor Sri Dewi Kemuning.
“Ketika sampai di pertigaan jalan raya Hankam Mabes TNI, Jatiwarna, tiba-tiba, motor yang di depannya melakukan pengereman mendadak sehingga Praka ANG tanpa sengaja menabrak motor di depannya, ” kata Indan dalam keterangan tertulis, Selasa (25/04).
Usai peristiwa itu, Praka ANG dan korban terlibat adu mulut sehingga muncul tindakan penendangan tersebut.
Atas peristiwa yang terjadi Senin (24/04) lalu itu, Panglima TNI Laksamana Yudo Margono menyampaikan permintaan maaf.
“Panglima TNI atas nama segenap prajurit TNI memohon maaf atas adanya perilaku arogan yang ditampilkan oleh oknum TNI tersebut,” ujar Kepala Pusat Penerangan TNI Laksamana Muda Julius Widjojono, Selasa (25/04).
Julius menegaskan bahwa Praka ANG telah ditangkap dan mendapatkan hukuman disiplin.
Mengapa tindakan kekerasan aparat terus berulang?
Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad Isnur, mengatakan maraknya tindakan kekerasan yang dilakukan oleh personel TNI dan Polri ke masyarakat menunjukkan budaya militeristik masih terpelihara dalam kultur keseharian aparat negara ketika bersinggungan dengan masyarakat.
“Ini adalah bagian dari budaya militeristik dan kekerasan yang sudah sangat lama mengendap di tentara, dan polisi yang masih terpelihara. Kebiasaan yang kemudian gemar, atau terbiasa melakukan kekerasan sebagai cara penyelesaian, dan tentu ini seharusnya sudah berubah sejak reformasi 1998, di mana UU TNI dan Polri sangat melarang budaya kekerasan ini berlangsung,” katanya.
“Ini adalah bagian dari pelanggaran HAM dan pelanggaran profesionalisme tentara dan polisi yang diatur dalam UU,” tambahnya.
Isnur pun melihat, aksi kekerasan yang dilakukan itu mengandung unsur pidana sehingga, “bukan sekedar minta maaf, tapi juga etika diperika, dan pidanannya diproses agar memberikan efek jera bagi yang lain,” kata Isnur.
Wakil Koordinator KontraS, Andi Muhammad Rezaldy, menambahkan, terus berulangnya peristiwa kekerasan yang dilakukan oleh aparat keamanan disebabkan karena minimnya pengawasan dan ringannya hukuman kepada para pelaku.
“Hingga kultur dari aparat keamanan itu sendiri yang belum terinternalisasi secara menyeluruh terkait nilai-nilai hak asasi manusia dalam menajalankan tugasnya,” kata Andi.
Andi juga menyoroti lambatnya penanganan kasus hukum yang melibatkan aparat keamanan, seperti penganiayaan di Medan yang terjadi sejak Desember 2022, namun baru ditetapkan sebagai tersangka empat bulan kemudian.
“Setelah viral di media sosial, polisi baru langsung melakukan penindakan. Hal ini seperti menunjukkan polisi baru akan sigap menangani suatu kasus apabila viral terlebih dahulu atau didasari pada viralitas. Perbuatan tersebut merupakan tindakan yang tidak profesional dan harus segera dievaluasi secara menyeluruh,” katanya.
“Keduanya harus diproses hukum, baik anaknya yang diduga melakukan pemukulan dan perwira polisi itu yang diduga membiarkan bahkan memerintahkan sejumlah orang tidak memisahkan aksi anaknya,” katanya.
Sementara untuk kasus penendangan yang dilakukan personel TNI, kata Andi, pelaku harus diproses hukum walau keluarga telah memaafkan, agar peristiwa serupa tidak terulang kembali.
Berapa jumlah kekerasan oleh personel TNI/Polri?
Selama periode Oktober 2021 – September 2022, KontraS mencatat terdapat setidaknya 61 peristiwa kekerasan melibatkan anggota TNI.
“Tidak jarang kasus-kasus kekerasan yang melibatkan aparat TNI diselesaikan lewat jalur damai dan tidak terliput oleh media nasional maupun lokal. Angka yang kami catat tahun ini juga meningkat dari laporan tahunan sebelumnya yang menunjukan terdapat 54 peristiwa,” kata Andi.
Kemudian dalam periode Juli 2021 – Juni 2022, KontraS mencatat setidaknya telah terjadi 677 peristiwa kekerasan oleh aparat kepolisian.
Sejumlah kekerasan itu, tambah Andi, telah menimbulkan 928 jiwa luka-luka, dan 59 jiwa tewas dan 1.240 ditangkap, di mana pelanggaran didominasi oleh penggunaan senjata api sebanyak 456 kasus.
Menurut data Komnas HAM dari periode 2020-2021, terdapat 1.162 kasus kekerasan aparat negara terhadap masyarakat sipil yang ditangani, di mana sebanyak 480 kasus di antaranya terkait dengan kerja penegakan hukum oleh polisi.
Komisioner Komnas HAM, Anis Hidayah, melihat aksi kekerasan yang dilakukan aparat negara ke masyarakat sipil merupakan bentuk pelanggaran HAM.
“Mestinya mereka [aparat] memberikan contoh kepada masyarakat bagaimana menghormati yang lain dalam kehidupan sehari-hari sebagaimana itu merupakan hak konstitusional warga dan merupakan HAM,” kata Anis.
Dia pun berharap kasus kekerasan itu tidak terulang kembali dan “kejadian itu mestinya tidak berujung pada minta maaf, tapi jika memenuhi unsur pidana, maka penegak hukum harus menjalankan tugasnya,” ujarnya.
Reportase tambahan oleh wartawan di Medan, Fahri BB.
[ad_2]
Source link