Jakarta (DMS) – Kementerian Pertanian (Kementan) mengungkap adanya dugaan anomali dalam data distribusi beras yang dirilis Food Station Tjipinang Jaya. Dugaan ini muncul setelah tercatat sebanyak 11.410 ton beras keluar dari Pasar Induk Beras Cipinang (PIBC) hanya dalam satu hari pada 28 Mei 2025.
Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman menyebut angka tersebut tidak wajar, mengingat rata-rata distribusi harian dari PIBC biasanya berkisar antara 1.400 hingga 2.500 ton.Ia menduga ada pihak yang bermain di balik lonjakan distribusi tersebut.
“Ini masuk akal nggak 11 ribu ton keluar dalam satu hari? Aneh, kan? Ya, ini bisa menjawab kenapa harga beras naik,” ujar Amran dalam konferensi pers di Jakarta Selatan, Selasa (3/6/2025).
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), harga rata-rata beras di tingkat penggilingan pada Mei 2025 memang turun tipis 0,01 persen secara bulanan menjadi Rp 12.733/kg. Namun, secara tahunan, terjadi kenaikan sebesar 2,37 persen. Di sisi lain, harga beras di tingkat grosir dan eceran justru mengalami kenaikan dibandingkan bulan sebelumnya.
Mentan menduga ada peran pihak perantara yang mempermainkan distribusi dan harga beras. “Kalau ini terjadi, ya kadang-kadang kita menyebutnya mafia,” kata Amran.
Ia juga menyoroti klaim soal kurangnya stok beras di Cipinang, padahal data resmi menunjukkan stok tetap stabil bahkan meningkat. “Stok Januari 2025 mencapai 50 ribu ton, lebih tinggi dari tiga hingga empat tahun sebelumnya,” ungkapnya.
Kementan bersama Satgas Pangan Polri saat ini tengah menyelidiki kemana perginya 11 ribu ton beras tersebut. Amran menyebut pihaknya sudah mengantongi sejumlah dugaan, termasuk kemungkinan praktik pencampuran beras lokal dan program SPHP untuk kemudian dijual dengan harga tinggi.
“Kalau stok tidak banyak, nanti minta impor. Padahal stok kita 4 juta ton. Ini diminta dikeluarkan SPHP, lalu beras dicampur dan dijual mahal. Ini tidak benar,” tegas Amran.
Satgas Pangan: Ada Dugaan Manipulasi Data
Kepala Satgas Pangan Polri, Brigjen Pol Helfi Assegaf, menyatakan pihaknya masih mendalami kasus tersebut. Hingga kini, pihak Food Station belum bisa menjelaskan ke mana beras sebanyak 11 ribu ton itu disalurkan.
“Mereka belum bisa menjelaskan barang itu sekarang ada di mana. Kalau memang tidak sesuai data, berarti ada manipulasi,” ujar Helfi.
Ia menilai temuan ini menjadi lebih mencurigakan karena muncul bersamaan dengan permintaan pedagang di Cipinang untuk merealisasikan impor beras.
“Kalau datanya dimanipulasi dan bersamaan muncul permintaan impor, itu berarti ada maksud tertentu. Pemerintah bisa disesatkan dengan data yang tidak akurat,” katanya.
Helfi menambahkan, selain ancaman manipulasi data, pelaku juga bisa dijerat dengan tindak pidana penggelapan atau korupsi. Ia mengingatkan bahwa penyampaian data resmi kepada pemerintah harus akurat, karena menjadi dasar pengambilan kebijakan.
“Kalau melanggar, bisa dijerat pasal 108 Undang-Undang Perdagangan. Ancaman hukumannya empat tahun penjara dan denda Rp 10 miliar,” tandasnya.DMS/DC