[ad_1]
Sumber gambar, Getty Images
Pada Maret 1992, Chou Yeh-Cheng berada di lereng Gunung Dabajian di Taman Nasional Shei-Pa Taiwan. Ini adalah pendakian gunung pertama yang pernah dilakukannya.
Gunung yang didaki Chou menjulang setinggi 3.500 meter itu. Gunung ini sebagian besar terdiri dari batu pasir gelap dan terkenal dengan permukaan batu vertikalnya yang mengesankan.
“Suhu saat itu di bawah nol dan saya tidak punya cukup pakaian,” ujar Chou mengenang peristiwa itu.
“Saya mendaki bersama dua adik laki-laki saya. Kami akhirnya menemukan tempat berlindung yang terbuat dari kayu. Kami lalu memutuskan menggunakan beberapa untuk membuat api demi bertahan hidup,” tuturnya.
Pada momen itu, Chou mulai menunjukkan gejala hipotermia. Dia berpikir, api mungkin akan menyelamatkan hidupnya.
Namun kobaran api itu malah menimbulkan bahaya lain. Setelah menyalakan api di dalam bivak, Chou dan saudaranya hampir mati tersedak oleh asap.
“Setelah melewati kejadian itu, saya sadar harus lebih siap saat hendak mendaki gunung,” ucapnya.
Baca juga:
Sumber gambar, Getty Images
Pendakian pertama Chou dilakukan di Gunung Dabajian yang terkenal ‘sulit ditaklukkan’ di Taiwan.
Saat ini Chou dikenal sebagai “Monyet Gunung Tua”. Sebutan itu dia dapatkan dari para pendaki Taiwan.
Chou telah mendaki lebih dari 100 gunung di Taiwan yang memiliki ketinggian lebih dari 3.000 meter. Dia mencapai puncak setiap gunung, masing-masing 16 kali.
Chou juga memegang rekor untuk mendaki 100 puncak gunung dalam waktu tercepat.
Dia kini telah menyebarkan kecintaannya pada aktivitas pendakian dan menyebarkan informasi tentang keindahan alam Taiwan.
Lebih dari itu, Chou sudah mengubah budaya mendaki di negaranya.
Pada usia 70 tahun, Chou masih tampak sebagai sosok yang tidak mencolok. Matanya terlihat sedikit cerah tapi menunjukkan tatapan ingin tahu. Dia memiliki janggut tipis yang berwarna hitam-putih.
Bahkan dengan cedera lutut (penyakit fisik pertama yang dia klaim pernah dia alami), dia masih berjalan sekitar 20 km sehari.
Selama periode 1995 hingga Maret 2021, setiap tahun Chou menghabiskan 100 hari untuk mendaki dua gunung yang membentang di bagian tengah dan pantai timur Taiwan.
Selain pendakian solo, Chou juga memimpin kelompok pendaki. Mereka menjelajah pegunungan di Hsinchu di kawasan utara hingga Pingtung di selatan, lalu ke Hualien, Yilan, dan Taitung di ujung timur Taiwan.
“Saya menganggap setiap pendaki sebagai teman atau saudara,” katanya.
“Saya suka membantu orang lain. Saya percaya membantu orang lain mencapai ‘100 puncak’ adalah bagian dari tanggung jawab saya,” kata Chou.
Sumber gambar, Chou Yeh-Cheng
Chou sudah 16 kali mencapai 100 puncak gunung di Taiwan.
Chou memegang misi untuk mempromosikan Taiwan sebagai destinasi pendakian utama global. Dia memulai cita-cita itu dengan menanamkan kecintaan warga setempat terhadap gunung-gunung di Taiwan.
Untuk menarik perhatian para pemula, Chou selalu mengajak mereka mendaki rute Nenggao-Andongjun selama enam hari.
Jalur pendakian itu yang menjulang tinggi di atas barisan pepohonan, menelusuri bagian tengah Taiwan, dan melintasi lembah curam serta hutan bambu yang luas. Bentang alam itu ibarat mimpi.
“Rute ini melalui padang rumput dan danau di ketinggian. Anda akan melihat banyak rusa ketika Anda berkemah pada malam hari. Sangat indah,” ujarnya.
Chou terlambat memulai aktivitas pendakian pada usia yang tidak muda. Saat muda dia gemar bekerja keras. Namun Chou tak bisa lepas dari kesibukannya sebagai tenaga pemasaran peralatan elektronik.
Selama bertahun-tahun Chou berkutat pada jalan hidup konvensional. Fokusnya adalah menikah, bekerja, berkeluarga. Belakangan, Chou merindukan hal lain dalam kehidupannya.
Chou berkata, sampai tahun 1990-an, tidak banyak orang Taiwan yang melirik aktivitas pendakian. Salah satu alasannya, sebagian besar gunung di negara itu ditutup selama 38 tahun darurat militer. Status keamanan itu baru berakhir pada 1987.
Saat Taiwan beralih pada sistem demokrasi pada dekade 1990-an, gunung dibuka untuk pendakian umum. Olahraga ini lantas mulai dikenal luas.
Chou menghabiskan sebagian besar liburan dan akhir pekannya untuk mendaki selama pertengahan dekade 1990-an. Dia memutuskan untuk berhenti pada tahun 1999.
Chou melihat peluang untuk menumbuhkan kecintaan lebih banyak orang pada olahraga yang dia sukai ini. Dengan alasan itu, dia beralih menjadi pemandu gunung penuh waktu.
Sejak saat itu, Chou bekerja untuk Asosiasi Pendakian Gunung Linkou. Dia turut membangun rute pendakian gunung di Taiwan.
Sumber gambar, Getty Images
Pemerintah Taiwan mengalokasikan dana hingga miliaran rupiah untuk mempromosikan aktivitas pendakian gunung.
Dalam waktu singkat, Chou menjadi pemandu yang dicari. Ini dipicu pengetahuan dan pengalaman Chou yang tidak tertandingi tentang gunung-gunung di Taiwan.
Pemerintah Taiwan bahkan mulai memperhatikan popularitas olahraga yang meningkat, salah satunya berkat upaya Chou yang tidak sedikit.
Pada tahun 2005, Presiden Taiwan saat itu, Chen Shui-bian, memanggil Chou untuk sebuah pertemuan. Chou mengajukan sebuah proposal untuk meningkatkan popularitas pendakian gunung di Taiwan.
Segera setelah itu, Pemerintah Kota Taipei mulai mempromosikan jalur pendakian di wilayah mereka. Anggaran sekitar US$2 juta (sekitar Rp28,6 miliar) dikucurkan setiap tahun untuk memelihara dan menghubungkan jalur pendakian.
Salah satunya rute yang kemudian dikenal banyak pendaki adalah Taipei Grand Trail. Jalur sepanjang 92 kilometer ini membentang dari Yangmingshan di kawasan utara hingga Distrik Muzha di selatan.
Pada tahun 2011, pendakian Chou mencapai puncak. Ketika itu dia mencoba memecahkan rekor untuk mendaki 100 gunung setinggi lebih dari 3.000 meter dalam waktu sesingkat-singkatnya.
Pemegang rekor sebelumnya membutuhkan waktu enam bulan untuk melakukan itu. Chou berusaha mencapai target dengan bantuan pemandu dan porter yang membawakan perbekalan.
Chou mengira bisa menaklukkan seratus gunung itu hanya dalam delapan perjalanan berbeda. Jika semuanya berjalan sesuai rencana, Chou bisa menyelesaikan misi itu dalam waktu kurang dari tiga bulan.
“Tim kami hanya terdiri empat orang dan perbekalan seberat 20-30 kilogram. Tidak peduli hujan, angin topan atau gempa bumi, kami saat itu harus terus berjalan,” ujarnya.
Pada akhirnya, Chou dan tiga kawannya menuntaskan misi itu hanya dalam 87 hari. Mereka mengalahkan rekor sebelumnya.
Namun bukan prestasi itu yang paling diingat Chou, melainkan sumbangsih mereka untuk orang lain.
“Hal yang paling berarti adalah kami mengikat banyak penanda di jalan setapak untuk membantu orang menemukan jalan mereka. Di pegunungan, begitu Anda tersesat, Anda dalam masalah,” katanya.
Selain bekerja dengan giat untuk mengubah budaya pendakian di Taiwan, Chou juga berusaha membuat orang-orang yang melakukan aktivitas ini lebih aman.
Lanskap Taiwan berubah setiap tahun akibat topan. Chou sering kali memetakan rute baru untuk melewati penanda yang tersapu tanah longsor.
Dia melakukannya sambil mengajari para pendaki keterampilan navigasi tradisional. Tujuannya agar pendaki tidak terlalu bergantung pada ponsel pintar dan teknologi lainnya, yang pada satu titik bisa gagal berfungsi.
Sumber gambar, Chou Yeh-Cheng
Pemerintah Taiwan juga membuka pusat pelatihan pendakian gunung yang didanai dengan anggaran pemerintah federal.
Pemerintah Taiwan mendeklarasikan 2020 sebagai “tahun pariwisata gunung Taiwan”. Mereka mempromosikan serangkaian rute jalur pendakian yang dirancang khusus yang menyoroti keanekaragaman ekologi dan budaya kepulauan itu.
Kebijakan itu tentu tidak lepas dari upaya selama puluhan tahun yang dilakukan Chou.
Salah satu rute yang dipromosikan pemerintah Taiwan adalah jalur bersejarah seperti Danlan Old Trail. Rute ini dianggap sebagai jalan pendakian tertua di Taiwan dan pernah menghubungkan Taipei dan Yilan selama Dinasti Qing.
Namun promosi itu terkendala pandemi Covid-19 yang merebak pada tahun 2020.
Saat ini pemerintah Taiwan sedang mendirikan pusat pendidikan pemandu pendakian. Dananya dipasok oleh pemerintah federal.
Dalam program ini pemandu dapat menjalani pelatihan keselamatan dan pengetahuan yang telah disebarkan Chou selama beberapa dekade.
Ilmu itu akan diteruskan ke para pendaki yang ingin menjejaki puncak gunung-gunung di Taiwan.
Banyak warga Taiwan kini memiliki kedekatan dengan Chou setelah diperkenalkan pada aktivitas pendakian. Chou selama ini memandu mereka berkeliling Taiwan untuk mendaki gunung.
Beberapa di antara pendaki itu bahkan terinspirasi untuk menyelesaikan misi pendakian 100 puncak versi mereka.
Judy Ho dari Danshui, New Taipei City, baru mendaki delapan dari 100 puncak sebelum mendaftar untuk mendaki bersama Chou.
Dia sering melihat foto Danau Jiaming yang berada di gunung tertinggi di Taiwan. Permukaannya yang seperti cermin terkenal karena memantulkan langit dan pemandangan sekitarnya.
Ho bermimpi melakukan perjalanan untuk melihat danau itu secara langsung. Untuk sampai ke sana dia harus melalui enam hari pendakian naik-turun, menempuh rata-rata 20 kilometer per hari di medan yang berat.
“Kami berjalan dari fajar hingga senja. Cuaca menolak untuk bekerja sama, mengguyur rombongan selama dua hari pertama, dan salju di hari ketiga,” ujar Ho tentang pengalamannya itu.
“Saya lelah tapi merasa sangat bahagia.” Dengan bimbingan Chou, Ho dapat melihat danau yang ia impikan.
“Chou mengajari orang lain keterampilan yang dia kuasai selama perjalanan,” kata Ho. Dia menjelaskan bagaimana Chou mewariskan pengetahuan ensiklopedisnya tentang kehidupan tumbuhan dan hewan lokal kepadanya.
Sumber gambar, Getty Images
Mencapai Danau Jaming di salah satu puncak tertinggi di Taiwan merupakan impian banyak pendaki.
Chou ingin para pendakinya menjelajahi gunung dengan lebih dari sekadar perasaan pencapaian karena tiba di suatu tujuan. Mereka memanggil Chou “guru” untuk menghormati. Sebaliknya, dia menyebut mereka “murid”.
Chou mengajari mereka bagaimana bertahan saat mengalami hipotermia di ketinggian. Dia menunjukkan satwa liar yang biasanya hanya bisa dilihat banyak orang Taiwan lewat program televisi.
Dia mengajak para pendaki berhenti ketika mendengar suara rusa muntjac atau ocehan monyet di kanopi hutan.
Chou menjelaskan bagaimana pakis telinga gajah berdaun lebar dapat dilipat menjadi wadah air atau digunakan sebagai payung alami di tengah hujan lebat.
Chou juga mengajarkan cara mengidentifikasi berbagai spesies ular dan apa yang harus dilakukan jika seseorang menderita gigitan yang berpotensi fatal.
Namun karena masih menjalani pemulihan cedera lutut, Chou tidak lagi memimpin tur ke pegunungan akhir-akhir ini.
Sebaliknya, dia mengabdikan dirinya untuk hal yang sama sekali baru, yaitu berjalan di mengitari Taiwan. Ini adalah sebuah perjalanan yang disebut sebagai Huan Dao dalam bahasa lokal. Terjemahannya secara terminologi adalah “mengelilingi pulau”.
Sejak Maret lalu, Chou telah mengelilingi pulau dua setengah kali, kadang-kadang sendirian dan selebihnya bersama teman-temannya.
Dalam perjalanan mengelilingi Taiwan itu, dia menceritakan pengalaman naik-turun berbagai puncak gunung di Taiwan. Saat ini, Chou sudah mengelilingi Taiwan sejauh lebih dari 10.000 kilometer.
Sama seperti dia telah mencari jalan baru di pegunungan, Chou juga telah menambahkan rute baru di perjalanan Huan Dao.
Dia memetakan yang dia sebut jalur “jaring laba-laba”. Rute itu melalui jalur pegunungan di pedesaan yang kurang dikenal. Dia berharap rute itu akan dilintasi dan dihargai para pejalan.
Sumber gambar, Getty Images
Chou berkata telah mengelilingi Taiwan sejauh lebih dari 10 ribu kilometer.
Bagaimanapun Chou belum sepenuhnya meninggalkan aktivitas pendakian. Dia masih merasakan panggilan untuk mejelajah gunung.
Chou juga berharap orang lain akan menemukan gunung sebagai tempat dengan keindahan dan ketenangan yang tiada bandingnya. Itu adalah perasaan yang dia miliki terhadap gunung-gunung di Taiwan.
Saat mengenang perjalanan pertamanya ke Dabajian hampir tiga dekade lalu, bukan pengalaman menuju kematian yang mendominasi pikirannya, melainkan apa yang dia temukan.
“Saya pernah mendengar orang menyebut Taiwan dengan sebutan ‘Formosa’ (pulau yang indah),” kata Chou.
“Tapi hanya setelah mendaki gunung saya mengerti alasan di balik sebutan itu. Saya sudah memahami keindahan Taiwan,” tuturnya.
Artikel ini pertama kali tayang dalam bahasa Inggris diBBC Travel
[ad_2]
Source link