[ad_1]
Sumber gambar, AFP
Ribuan warga dari berbagai negara telah berusaha keluar dari Port Sudan selama beberapa hari terakhir
- Penulis, Lyse Doucet
- Peranan, Kepala Koresponden Internasional
Port Sudan dengan cepat menjadi pusat perjalanan para pengungsi yang ingin meninggalkan Sudan di tengah konflik antara dua faksi militer. Kepala Koresponden Internasional BBC, Lyse Doucet, bergabung dalam misi evakuasi terbaru ke Jeddah.
Pada tengah malam yang senyap, kapal HMS Al Diriyah terlihat mendekati pesisir Sudan.
Para petugas Arab Saudi menyalakan lampu pencarian agar kapal perang mereka dapat merapat dengan selamat di pelabuhan yang dengan cepat berubah menjadi menjadi pusat evakuasi dan kemanusiaan dalam konflik bersenjata yang semakin parah di Sudan.
Meski sudah jam 02:00 pagi Waktu Sudan, dua kapal besar lain juga berlabuh di perairan dekat Port Sudan, pelabuhan terbesar di negara tersebut. Kedua kapal itu menunggu giliran mereka dalam upaya penyelamatan internastional tersebut.
”Saya merasa sangat lega tetapi juga sangat sedih karena bisa menjadi bagian dari sejarah,” kata Hassan Faraz kepada BBC, dengan tubuh gemetar.
Kami sampai di dermaga dengan menumpang kapal tunda Saudi setelah menempuh perjalanan selama 10 jam menggunakan kapal HMS Al Diriyah dari Kota Jeddah di Saudi.
Sebuah kelompok kecil yang terdiri dari jurnalis asing diberikan akses langka untuk memasuki Sudan yang terbelah karena perang, meski hanya sebentar.
”Orang-orang akan membicarakan kejadian-kejadian ini hingga beberapa tahun ke depan,” kata Faraz merujuk antrean panjang di atas dermaga menuju titik pemeriksaan paspor para penumpang menuju Saudi.
Kali ini, banyak pekerja muda dari Asia Selatan mengeluh telah menunggu di sana selama tiga hari yang panjang, setelah dua minggu penuh melewati penderitaan perang.
Seorang pria lainnya dari Pakistan, yang mengatakan sebelumnya bekerja di pabrik pengecoran Sudan, bercerita tentang pengalamannya ” melihat begitu banyak [hal], begitu banyak ledakan bom dan tembakan”.
Kemudian, ia terdiam dan hanya menatap ke arah lautan, penuh trauma untuk berbicara lebih banyak.
Konflik semakin parah membuat ribuan warga asing bergegas keluar
Sumber gambar, AFP
Para pengungsi berbaring di lantai kapal laut Arab Saudi yang berlayar dari Port Sudan menuju Jeddah
Pertempuran sudah berlangsung dalam beberapa minggu terakhir dan disela oleh gencatan senjata parsial.
Konflik tersebut merupakan upaya perebutan kekuasaan antara pasukan militer Sudan yang dipimpin oleh Abdel Fattah al-Burhan dan kelompok paramiliter Pasukan Dukungan Cepat (RSF) yang dipimpin Mohammed Hamdan Dagalo, yang lebih dikenal sebagai Hemedti.
”Port Sudan bertahan cukup baik di tengah perang ini,” jelas rekan saya asal Inggris-keturunan-Sudan, Mohamad Hashim. ”Konflik baru pecah di sini pada 15 April, hari pertama [perang itu], namun sekarang kota pelabuhan ini kepenuhan karena banyaknya orang yang berusaha keluar dari Khartoum dan tempat-tempat lain.”
Kami baru berlayar melewati kawasan pelabuhan Sudan yang sudah berubah menjadi kawasan perkemahan bagi para pengungsi. Banyak orang kini tidur di jalanan sambil menunggu jalan keluar mereka.
Hotel-hotel setempat dibanjiri orang-orang dengan paspor dari berbagai negara, bersama dengan layanan konsuler darurat yang didirikan dengan cepat oleh berbagai kedutaan yang telah mengevakuasi sebagian besar staf mereka dari ibu kota.
Banyak yang khawatir tidak punya peluang untuk mengungsi. Port Sudan kini dipenuhi oleh orang-orang yang memegang paspor kurang beruntung, termasuk warga Yaman, Suriah, dan Sudan.
Sekitar 3.000 warga Yaman, kebanyakan pelajar, telah terjebak selama berminggu-minggu di Port Sudan.
”Para petugas Saudi membantu menyelamatkan sebagian dari warga Yaman, namun mereka khawatir jika memperbolehkan mereka masuk dalam jumlah besar,” ungkap seorang penasihat keamanan yang mencoba membantu mereka menemukan jalan kembali ke Yaman yang juga dilanda perang.
‘Tolong bantu kerabat kami yang masih tertinggal di Sudan’
Sumber gambar, NAOMI SCHERBEL-BALL/BBC
Rasha, seorang ibu yang dikelilingi anak-anaknya, memiliki satu pesan: ”Tolong beri tahu dunia untuk melindungi Sudan”
Para penumpang yang datang di Kerajaan Arab Saudi diinapkan sementara di hotel. Tetapi sudah jelas diketahui bahwa utusan dari negara-negeara mereka akan segera membayar tagihan penginapan itu dan meneruskan tahap perjalanan berikutnya.
Mohanad Hashim melihat sekitar dermaga di Port Sudan. Ia berharap dapat menemukan salah seorang kerabatnya di Sudan yang mungkin berusaha keluar juga.
Sehari sebelumnya, di pangkalan Angkatan Laut Raja Faisal di Jeddah tempat kami memulai perjalanan, dia tiba-tiba mendapati dirinya memeluk seorang sepupu yang berhasil sampai di Jeddah bersama dengan dua anaknya yang masih remaja, setelah menempuh perjalanan selama 18 jam melintasi Laut Merah.
Bagi para warga Sudan pemiliki paspor asing yang berhasil keluar dari negara tersebut, momen itu terasa campur-aduk.
“Tolong, tolong bantu kerabat kami yang masih tertinggal di Sudan,” pinta seorang perempuan berhijab merah muda bernama Rasha. Seorang anak tidur di pundaknya, tiga anak lainnya memegang bunga yang dibagikan kepada mereka oleh tentara Arab Saudi.
“Tolong beri tahu dunia untuk melindungi Sudan,” ia meminta kami. Keluarga mereka tinggal dekat Sport City di Khartoum, di mana suara tembakan terdengar pada Sabtu (15/4) pagi.
Putrinya yang berusia delapan tahun, bernama Leen, berbicara dalam Bahasa Inggris yang fasih dengan aksen Amerika. Dia menceritakan dengan sangat rinci bagaimana sekelompok orang bersenjata masuk ke rumah mereka.
“Kami semua harus bersembunyi, kami semua bersepuluh [bersembunyi] di ruang belakang,” katanya dengan keberanian muda.
“Saya tetap tenang. Saya tidak menangis karena kami tidak boleh bersuara.”
“Mereka orang-orang jahat,” tambah adik laki-lakinya. Ayah mereka menjelaskan bahwa para pria bersenjata itu merupakan bagian dari Pasukan Dukungan Cepat (RSF). Para prajurit itu disalahkan warga karena melakukan melakukan banyak penjarahan dan kekerasan.
Menghadapi masa depan yang belum jelas
Sumber gambar, NAOMI SCHERBEL-BALL/BBC
Banyak pengungsi dari Sudan kini menghadapi masa depan yang tidak jelas
Perang yang semakin parah dan mengkhawatirkan antara dua pria Sudan paling berkuasa serta termotivasi tidak hanya oleh alasan pribadi dan pertikaian politik. Namun, perang itu juga dilatari kepentingan yang bertentangan dan pengaruh pihak-pihak berkuasa.
Negara-negara kuat, termasuk Arab Saudi dan Uni Emirat Arab telah lama membiayai Hemedti. Ia bertambah kaya setelah mengirimkan pasukan untuk membela kedua negara itu pada tahun-tahun awal peperangan melawan kubu pemberontak Houthi di Yaman.
Namun, dalam beberapa tahun terakhir, pemerintahan Arab Saudi sudah semakin dekat dengan Burhan dan juga memiliki hubungan erat dengan tentara Sudan.
Geografi politik yang kusut di negara dengan kekayaan mineral dan potensi pertanian yang luas juga mencakup Mesir, Israel, dan Rusia, khususnya kelompok tentara bayaran Wagner.
Namun dalam krisis kali ini, di mana Amerika Serikat, Inggris dan negara-negara pegiat perdamaian lain ikut mengambil andil, para pihak-pihak luar sepakat menyerukan agar perang ini diakhiri.
Para diplomat berterima kasih kepada Arab Saudi atas upaya evakuasi yang mereka jalankan.
Sejauh ini, lebih dari 5.000 orang, dari 100 kewarganegaraan berbeda, telah melintasi Laut Merah menggunakan kapal perang Saudi atau kapal pribadi lainnya yang disediakan pasukan Arab Saudi.
Operasi terbesar diselenggarakan pada Sabtu (29/4), yang mengangkut sekitar 2.000 penumpang, bahkan termasuk warga Iran.
Riyadh dan Teheran, yang saling bermusuhan, baru-baru ini bergerak menuju pemulihan hubungan secara hati-hati, termasuk membuka kembali kedutaan dan konsulat mereka.
“Ini merupakan keberuntungan bagi kami. Kami harap akan ada perdamaian antara negara-negara kami,” kata insinyur berusia 32 tahun, Nazli, ketika dia sampai di Jeddah dengan suaminya yang juga seorang insinyur dan telah bekerja bertahun-tahun di Sudan.
Pada Minggu (30/4), saat kapal tunda berlayar di perairan berombak menuju kapal perang Saudi yang menunggu, para penumpang melambaikan tangan untuk terakhir kalinya ke daratan Sudan dengan kesedihan, sebab ada kemungkinan mereka tidak akan pernah bisa kembali.
[ad_2]
Source link