Berita Nasional, Jakarta – Satuan Tugas (Satgas) Penanganan COVID-19 mencatat jumlah kematian karena COVID-19 mencapai 35.274 kasus sepanjang Juli 2021. Jumlah ini naik 348 persen dibandingkan Juni 2021. Bahkan, kenaikan ini tercatat paling drastis selama COVID-19 mewabah di Indonesia.
Berdasarkan data Satgas COVID-19, pada Juni 2021, jumlah kasus meninggal karena COVID-19 sebanyak 7.865 orang. Sementara selama Juli 2021, kasus kematian COVID-19 mencapai 35.274 orang.
Angka kematian COVID-19 sebenarnya mulai mengalami peningkatan pada Mei 2021 dengan penambahan 552 kasus atau 12,22 persen dibanding April 2021. Kemudian jumlah itu terus meningkat pada Juni 2021 dengan penambahan 2.798 kasus atau 55,22 persen.
Sepanjang Juli, Satgas Penanganan COVID-19 mencatat kasus kematian meningkat setiap pekan. Pada pekan terakhir tercatat rata-rata kasus meninggal per hari mencapai 1.582 orang.
Sebanyak 87,71 persen kasus meninggal pada Juli 2021 disumbang oleh 10 provinsi yaitu Jawa Tengah (Jateng), Jawa Timur (Jatim), DKI Jakarta, Jawa Barat (Jabar), Daerah Istimewa Yogyakarta, Kalimantan Timur (Kaltim), Riau, Kepulauan Riau (Kepri), Sumatera Selatan (Sumsel), dan Bali.
Kenaikan persentase kasus meninggal paling banyak didapati di Kaltim yakni meningkat 1.167,83 persen. Kemudian, Bali meningkat 955,36 persen, Jateng naik 521,63 persen, Jatim meningkat 512,62 persen, dan Daerah Istimewa Yogyakarta meningkat 389,10 persen.
Jika dianalisis berdasarkan kabupaten/kota, daerah yang menyumbang kasus meninggal terbanyak sepanjang Juli adalah Semarang, Jakarta Timur, Garut, Jakarta Barat, Karawang dan Jakarta Selatan.
Per 4 Agustus 2021, total angka kematian akibat COVID-19 tembus 100.636 kasus, setelah bertambah 1.747 kasus. Jateng menjadi provinsi yang mendominasi tambahan kasus dalam beberapa hari sebelumnya.
Data Kematian Tak Sinkron
Koordinator Tim Lapor Data Lapor COVID-19, Said Fariz Hibban menyatakan jumlah kasus kematian akibat COVID-19 di Indonesia diperkirakan lebih tinggi dibandingkan yang dicatat oleh Satgas Penanganan COVID-19.
Menurutnya, hal itu terjadi karena banyak permasalahan di lapangan, seperti keterlambatan pengiriman data dari daerah ke pusat, yang kemudian membuat data tidak sinkron.
“Yang namanya data banyak masalah di lapangan, entah real time atau tidak atau delay data sangat mungkin. Semoga perbedaan itu karena delay data karena ada kendala teknis walau tidak bisa kita maklumi terus menerus,” kata Hibban, Kamis (5/8).
Ia menengarai perbedaan angka kematian yang terjadi cukup signifikan. Menurutnya, hal tersebut bisa dilihat dari ketidaksinkronan antara data yang dipublikasi secara nasional, level provinsi, hingga level kabupaten atau kota.
“Perbedaannya sebenarnya tidak melulu perbedaan minus, ada yang positif dalam artian kelebihan, mungkin Kemenkes dapat yang lebih update. Tapi ada yang perbedaannya terlalu jauh 10.000-8.000 [kasus], itu yang jadi pertanyaan,” katanya. DMS