Jakarta – Mantan SPG chicken nugget Irawati Puteri tahun lalu viral usai diterima di Stanford Graduate School of Education dan Stanford Law School sekaligus. Pada 16 Juni 2024, Ira yang menambatkan pilihan studi di Stanford Law School dinyatakan lulus S2 dengan penghargaan Highest Pro Bono Distinction Award 300+ hours.
Highest Pro Bono Distinction Award 300+ hours diperuntukkan bagi seorang lulusan Stanford yang berhasil mendedikasikan 300 jam untuk layanan hukum gratis bagi warga marjinal. Ia menjadi satu-satunya lulusan dari Indonesia yang mendapatkan penghargaan ini.
Layanan Hukum Gratis
Ira menuturkan, ia dapat melakukan pelayanan hukum pro bono setelah menjadi Reproductive Justice Pro Bono Fellow di National Association of Criminal Defense Lawyers (NACDL) AS. Untuk dapat bekerja sama dengan NACDL, ia menjalani proses seleksi termasuk aplikasi tertulis, penilaian terhadap pengalaman, serta dedikasi dalam bidang hukum pro bono dan kepentingan publik.
Ira sendiri memilih berfokus menghimpun kasus kriminalisasi aborsi dari berbagai negara bagian Amerika Serikat. Dalam 300+ jam pengabdian sebagai Reproductive Justice Pro Bono Fellow di sana, ia menghadapi berbagai masalah hukum mulai dari riset preseden kasus, pendampingan di pengadilan, penyiapan dokumen hukum, hingga konsultasi hukum.
Ia menjelaskan, sub-sub kasus dari kriminalisasi aborsi mencakup pelanggaran hak reproduksi, penahanan yang tidak sah, reviktimisasi, hingga penanganan kasus di pengadilan yang sering kali butuh pembelaan kuat terhadap tuduhan pidana yang tidak adil.
“Sebagian besar kasus yang saya tangani adalah kasus kriminalisasi aborsi dari berbagai negara bagian AS. Saya memilih fokus pada isu ini karena saya percaya pada hak-hak reproduktif dan pentingnya keadilan bagi perempuan yang menghadapi tantangan hukum terkait aborsi,” tuturnya.
Bagi Ira, penghargaan Highest Pro Bono Distinction menjadi refleksi atas komitmen dan dedikasinya dalam memberikan pelayanan hukum kepada orang membutuhkan. Khususnya dalam isu-isu yang ia yakini penting, yaitu kesehatan reproduksi dan pendidikan.
“Preferensi saya adalah membantu mereka yang kurang terwakili dan rentan, serta memperjuangkan hak-hak dasar mereka,” ucap Ira.
“Penghargaan ini tidak hanya mengakui usaha saya secara pribadi, tetapi juga memberikan dampak positif bagi komunitas yang saya layani.”
Berdasarkan pengalamannya, Ira berpendapat akses terhadap layanan hukum pro bono di wilayah ia berkontribusi mungkin lebih terstruktur dibandingkan dengan di Tanah Air.
“Di sini, terdapat banyak organisasi dan asosiasi yang secara aktif menyediakan layanan hukum gratis bagi yang membutuhkan. Namun, di Indonesia, akses layanan pro bono masih terbatas dan sering kali bergantung pada inisiatif individu atau organisasi tertentu,” tuturnya.
Dalam jangka panjang, Ira berencana menjadi bidang feminis legal yang memperjuangkan, mengadvokasi, dan memajukan hak-hak perempuan. Untuk mencapai tujuan ini, ia berharap bisa segera menempuh pendidikan doktoral di Amerika Serikat, seperti di University of California (UC) Berkeley dan Stanford University.
“Reputasinya unggul dalam bidang hukum, sociology, dan gender studies. Selain itu, adanya mentor dan dukungan penelitian yang kuat menjadi faktor utama dalam pilihan saya,” terang Ira.
PhD Minor Feminist and Gender Studies
Ira sendiri telah mendapatkan PhD Minor untuk program Feminist and Gender Studies dari departemen Stanford Humanities and Sciences. Capaian ini memungkinkannya mendapat konversi SKS saat S3, peluang jalur khusus masuk S3, dan bimbingan intensif serta tips aplikasi S3.
PhD minor di Feminist and Gender Studies bagi Ira memberikan pemahaman mendalam tentang isu-isu gender dan feminisme. Ia sendiri mulai tertarik dengan bidang tersebut sejak kuliah S1 Ilmu Hukum di Universitas Indonesia.
Saat itu, skripsinya mengkritisi UU Kesehatan di Indonesia yang aturan mengenai aborsi tidak berpihak pada korban. Ini juga yang membuatnya memutuskan untuk meneruskan studi lebih lanjut.
Pendidikan PhD minor tersebut menurutnya memperkaya pemahaman tentang isu-isu gender yang relevan dengan bidang hukum. Untuk kariernya, pendididikan tersebut juga memberi keunggulan kompetitif dan membuka peluang dalam berkontribusi lebih luas mengenai isu-isu keadilan gender.
“Perkuliahannya melibatkan banyak diskusi kritis, penelitian, dan analisis teori-teori feminis. Saya meminta izin dan menunjukkan kualifikasi serta writing sample saya di bidang ini agar dapat diizinkan menempuh spesialisasi tersebut meskipun saya adalah satu-satunya mahasiswa Master’s di antara kandidat PhD pada minor tersebut,” ucapnya.
“Keunggulan PhD minor ini termasuk kemungkinan konversi SKS dan jalur khusus saat melanjutkan ke jenjang S3 dengan sudah terlebih dahulu tap in kepada team pengajar. Saya juga mendapatkan bimbingan intensif dan tips untuk aplikasi PhD saya,” tuturnya.
Kembali ke Indonesia & Beri Beasiswa
Sebelum lulus dari Stanford Law School, Ira sendiri berhasil mendapuk tawaran menjadi partner dari firma hukum Rahayu and Partners. Ia juga tengah meniti karier dan menjajaki kolaborasi mengajar sebagai dosen di sejumlah universitas.
Ira bercerita, mata kuliah yang sedianya akan ia ajarkan antara lain Hukum dan Teknologi, Net Neutrality, dan Introduction to American Law. Harapannya, ia dapat memperkenalkan materi dan kurikulum kelas dunia yang ia terima dari para profesor di Stanford Law School.
Usai lulus, ia berencana kembali membuka Beasiswa Irawati Puteri dalam waktu dekat. Sebelumnya, beasiswa kolaborasi Ira dengan platform Sejuta Cita ini memberikan bimbingan akademik dan membiayai 5 orang anak serta ibu rumah tangga Indonesia sebagai rasa syukurnya diterima di Stanford University.
“Kami fokus pada pemberdayaan penerima beasiswa melalui berbagai program pengembangan diri dan pendidikan. Kami memberikan bantuan dana yang kebanyakan dipakai oleh para penerima beasiswa untuk membeli laptop. Salah satu awardee kami berhasil memberanikan diri untuk mendaftar S2, meskipun background-nya adalah seorang ibu rumah tangga,” tuturnya.
Ira bercerita, ia juga tengah mengeksplorasi potensi mendirikan perusahaan bidang teknologi dan kecerdasan buatan (AI). Melalui platform daring dan AI, ia berharap bisa meningkatkan akses pendidikan dengan pembelajaran terpersonalisasi serta bantu meningkatkan kualitas hidup masyarakat.
Graduation Marshal
Pada wisudanya, Ira juga ditunjuk sebagai Class Marshal, mahasiswa berprestasi yang mewakili Stanford Law School dalam prosesi wisuda tingkat universitas di Stanford University.
“Menjadi satu-satunya Class Marshal pertama dari Indonesia, berlatar belakang mahasiswa dan bergender perempuan sangat bermakna bagi saya. Hal ini menunjukkan bahwa kerja keras dan dedikasi saya diakui tidak hanya oleh rekan-rekan mahasiswa tetapi juga oleh fakultas. Ini adalah penghargaan yang memperkuat semangat saya untuk terus berkontribusi dalam bidang hukum dan keadilan,” ucapnya.
“Saya ingin menunjukkan bahwa mahasiswa Indonesia, yang notabene adalah minoritas di sini–saya satu-satunya mahasiswa Indonesia di seluruh Stanford Law School dan satu-satunya awardee LPDP di Stanford tahun ini–bisa mengukir prestasi yang berarti. Meraih Class Marshal sebagai seorang lulusan dari Indonesia, perempuan, dan first generation keturunan pertama yang berhasil mencapai bangku perguruan tinggi adalah pencapaian yang sangat berarti bagi saya,” ungkap Ira.
Baginya, capaian tersebut juga makin berharga karena diraihnya sebagai seorang international student dengan gagap budaya yang cukup sulit dinavigasi di awal perkuliahan. Terlebih, ia juga harus pandai mengelola kesibukan kuliah, mencari kesempatan magang untuk pengalaman kerja di AS, berkoneksi dengan baik dengan para profesor, dan menulis buku puisi ketiganya, The Chronicle of Hopes.
“Pendidikan jenjang Master’s terasa sangat singkat dan memang sangat singkat, oleh karena itu, selalu maksimalkan waktu sebaik-baiknya dan fokuskan energi pada tujuan-tujuan yang ingin dicapai. Sebab semua hal bisa dicoba, namun kita tidak bisa mencoba semua hal. Kembali fokus lagi pada tujuan awal mengapa ingin melanjutkan studi dan apa target yang ingin dicapai,” pesannya.DMS/AC