[ad_1]
Sumber gambar, Getty Images
Para ilmuwan semakin dekat untuk menemukan cara menghidupkan kembali spesies yang sudah punah, misalnya, mammoth.
Jutaan tahun yang lalu, thylacines, atau dikenal sebagai harimau Tasmania, menyebar luas di seluruh Australia.
Seukuran anjing hutan Amerika, makhluk mirip anjing dengan badan bergaris-garis ini lalu menghilang dari daratan Australia sekitar 2.000 tahun yang lalu.
Mereka tetap hidup di Tasmania sampai tahun 1920-an, ketika akhirnya punah dibantai penjajah Eropa yang menganggap mereka sebagai ancaman terhadap ternak.
“Ini adalah kepunahan yang didorong oleh manusia. Pemukim Eropa datang ke Australia dan secara brutal memusnahkan hewan ini,” kata Andrew Pask, ahli genetika di University of Melbourne.
Pask memimpin tim ilmuwan yang, bersama dengan perusahaan “anti-punah” Colossal Biosciences, bertujuan menciptakan kembali makhluk mirip serigala ini dan menghidupkannya lagi.
Berkat kemajuan genetika baru-baru ini, yaitu munculnya teknologi pengeditan gen Crispr-Cas9, harimau Tasmania bukan satu-satunya spesies punah yang dapat segera kita lihat lagi.
Bagaimana cara kerja ilmu pembalikan kepunahan ini, dan bagaimana jawaban atas pertanyaan etis yang muncul?
Dalam kasus harimau Tasmania, langkah pertama adalah mengurutkan cetak biru genetik yang terkandung dalam setiap sel tubuh, alias DNA hewan yang telah punah ini. Pask melakukan ini pada tahun 2017.
“Hal yang luar biasa tentang harimau Tasmania adalah, karena merupakan marsupial yang sangat penting, setiap museum besar menginginkannya dalam koleksi.
Ada ratusan sampel di seluruh dunia, dan beberapa di antaranya sangat terawetkan,” kata Pask.
Sumber gambar, Getty Images
Spesimen harimau tasmania yang terawetkan dengan baik memungkinkan pengurutan DNA hewan tersebut
“Sampel kami adalah bayi yang diambil dari kantong induknya. Induknya ditembak dan bayinya segera dimasukkan ke dalam alkohol, yang mengawetkan DNA. Itu adalah spesimen ajaib dan sangat penting bagi kami untuk dapat benar-benar membangun genom itu.”
Meski dalam kondisi cukup baik, DNA-nya belum sepenuhnya utuh.
Seiring waktu, paparan sinar UV dan bakteri memecah DNA menjadi fragmen pendek.
Semakin tua sampelnya, semakin kecil fragmen yang tertinggal, sampai akhirnya tidak cukup. Karena alasan ini pula, tidak ada peluang untuk menghidupkan kembali dinosaurus.
Hal ini membuat para ilmuwan punya tugas yang tampaknya mustahil untuk mengetahui bagaimana berbagai potongan DNA bisa dicocokkan satu sama lain.
Tugas yang sebanding dengan menyelesaikan puzzle, tanpa gambar panduan di bagian depan kotak.
Untungnya, seekor marsupial seukuran tikus kecil yang disebut dunnart bisa memberikan cetak biru.
“Kami menemukan kerabat hidup terdekat harimau Tasmania, yaitu dunnart,” kata Pask.
Dunnart dan harimau Tasmania berbagi 95% DNA, yang dianggap sangat terlestarikan. Artinya, tidak banyak berubah dari waktu ke waktu.
“Kami mengurutkan genom dunnart dan membandingkan kode genetik itu dengan spesies yang punah, dan menemukan perbedaannya,” kata Pask.
Namun, mengetahui DNA hewan saja tidak cukup untuk mengembalikan binatang ini. Tahap selanjutnya dari teka-teki ini melibatkan penyesuaian gen dunnart sehingga cocok dengan gen harimau Tasmania.
Ini dapat dilakukan dengan Crispr-Cas9, metode pengeditan genom yang memenangkan Hadiah Nobel.
“Kami mulai dengan sel-sel hidup dari dunnart dan mulai mengedit semua perubahan itu. Pada dasarnya kami merekayasa atau mengubah sel dunnart menjadi sel harimau Tasmania yang hidup, dengan kromosom harimau Tasmania di dalamnya,” kata Pask.
Sebelumnya, pengeditan gen tidak cukup canggih untuk dapat mengubah semua urutan yang berbeda menjadi DNA harimau Tasmania sekaligus.
Dengan jutaan pengeditan yang diperlukan, diasumsikan bahwa para peneliti perlu memprioritaskan sekuens DNA yang paling penting, menghasilkan genom hewan yang tidak persis sama dengan genom yang telah punah.
Pask percaya ini tidak lagi diperlukan.
“Semua teknologinya sudah ada, tapi belum ada yang melakukannya dalam skala ini karena teknologi pengeditan DNA tidak cukup baik, dan tidak cukup cepat.
Tapi sekarang kita sudah lama memiliki teknologi itu, dan kita punya investasi yang signifikan untuk mencobanya agar berhasil.”
Begitu para peneliti memiliki sel harimau Tasmania, mereka masih perlu mengubahnya menjadi embrio yang sedang berkembang, dan kemudian menanamkannya ke dalam rahim binatang berkerabat dekat yang masih hidup.
Terdengar mudah? Tidak juga.
“Ada banyak pekerjaan yang harus dilakukan,” kata Pask.
“Kami membuat sel punca marsupial yang membutuhkan waktu sekitar lima tahun. Kami sekarang memasukkan sel punca tersebut ke dalam embrio untuk melihat apakah kami dapat mengembangkannya menjadi hewan hidup.”
Sumber gambar, Getty Images
Dunnart kecil telah mampu membantu para ilmuwan mengisi kekosongan DNA harimau Tasmania yang telah punah.
Harimau Tasmania bukan satu-satunya yang bisa dihidupkan kembali dengan cara ini.
Potongan-potongan DNA woolly mammoth yang diawetkan yang ditemukan membeku di tundra Arktik menunjukkan bahwa mamalia besar ini bisa dikembalikan.
Sebagian besar mammoth berbulu mati kira-kira 10.000 tahun yang lalu.
Para ilmuwan di Laboratorium Kolosal dan Biosains – yang didirikan bersama oleh para peneliti dari Universitas Harvard – menggunakan Crispr untuk menyambung potongan-potongan DNA mammoth ke dalam genom gajah Asia, kerabat terdekat mammoth yang masih hidup.
Hibrida yang dihasilkan, yang dikenal sebagai “mammophant”, akan disesuaikan dengan tundra Siberia yang dingin, dan dapat membantu mengisi kekosongan ekologis yang ditinggalkan oleh mammoth ketika mereka punah.
Namun, ada keterbatasan teknologi, dan kendala yang masih perlu diatasi.
“Hewan hidup membutuhkan beberapa salinan gen yang berbeda, tetapi tidak mudah mengetahui dari genom yang direkonstruksi, berapa banyak yang dibutuhkan,” kata Michael Archer, ahli paleontologi di University of New South Wales di Sydney. Australia.
“Peneliti hanya bisa berharap bahwa satu salinan akan cukup untuk mengaktifkan fitur yang dicari, tetapi ada komponen ‘coba dulu dan lihat hasilnya’ yang besar untuk proyek-proyek ini.”
Namun, rekonstruksi genom bukanlah satu-satunya metode yang dapat digunakan para ilmuwan untuk menghidupkan kembali hewan yang telah punah.
Aurochs, sejenis sapi prasejarah, adalah subjek lukisan gua kuno di seluruh dunia. Ia pernah menjelajahi dataran Eropa dan berdiri setinggi gajah. Mereka punah di tahun 1600-an.
Meski sudah lama hilang, gen auroch masih bisa ditemukan di berbagai ras sapi di seluruh benua, dengan keturunan di Spanyol, Portugal, Italia, dan Balkan.
Ahli genetika sekarang sedang “membiakkan kembali” spesies ini bersama-sama untuk menghasilkan keturunan yang mendekati kualitas auroch.
Ide lainnya adalah mengkloning hewan yang mati dengan mengambil nukleus dari sel utuh, dan kemudian mentransfernya ke telur kerabat dekat yang masih hidup dengan harapan akan terbentuk embrio.
Kesulitannya adalah, perlu sel lengkap untuk melakukan ini, dan sel cepat rusak setelah mati.
Hewan seperti harimau Tasmania yang mati hampir seratus tahun yang lalu tidak dapat dikembalikan dengan cara ini.
Tapi itu bisa menjadi pilihan bagi spesies yang baru saja punah.
Pada tahun 2003, para peneliti berhasil mengkloning ibex Pyrenean, sejenis kambing yang punah ketika individu terakhir yang masih hidup terbunuh oleh pohon tumbang.
Sedihnya, bayi yang baru lahir meninggal karena cacat paru-paru tak lama setelah lahir.
Archer saat ini menggunakan variasi teknologi kloning untuk menghidupkan kembali katak perut selatan, spesies asli Queensland, yang punah pada tahun 1983.
Makhluk itu memiliki metode reproduksi yang aneh, yaitu menelan telurnya yang telah dibuahi dan menggunakan perutnya sebagai semacam Rahim.
Pada tahun 2013, Archer menyelesaikan langkah pertama: mentransfer nukleus dari sel katak beku ke dalam telur kosong dari amfibi yang berkerabat dekat.
Hebatnya sel mulai membelah, dan embrio terbentuk.
“Kami melakukannya ratusan kali dan tidak berhasil, lalu tiba-tiba salah satunya berhasil dan kami melihat embrio hibrida ini mulai membelah di bawah mikroskop. Sangat menarik,” kata Archer.
Namun, setelah kegembiraan awal ini, proyek tersebut terhenti ketika tidak ada embrio yang berkembang menjadi kecebong atau katak.
“Embrio katak berkembang menjadi bola sel, yang merupakan perkembangan embrio normal, tapi kemudian berhenti,” kata Archer.
“Biasanya lapisan luar sel terlipat dan akan ada struktur dua lapis yang mengarah ke kecebong, tapi kami tidak melakukan itu.”
Hal yang sama terjadi ketika tim mencoba membuat embrio dengan dua spesies katak hidup, menunjukkan bahwa ada aspek dari pekerjaan eksperimental mereka yang mengganggu perkembangan embrio.
Masalahnya bukan soal DNA katak yang punah.
“Kami sedang bekerja untuk mencari tahu apa hambatan pada katak hidup ini sebelum kami dapat kembali ke DNA hewan yang telah punah,” kata Archer.
Apakah kita pura-pura menjadi Tuhan?
Sumber gambar, Getty Images
Auroch adalah sejenis sapi prasejarah yang berkeliaran di dataran Eropa sebelum menghilang pada tahun 1600-an
Bahkan jika kita dapat menghidupkan kembali hewan yang telah punah, ada pertimbangan etis.
Mengembalikan mammoth dan harimau Tasmania dapat mengganggu ekosistem yang ada.
Sejak hewan-hewan ini punah, yang lain akan berevolusi dan beradaptasi untuk mengisi tempatnya. Akankah organisme ini menderita sebagai akibatnya?
Berkat perubahan iklim, lingkungan yang pernah ditinggali makhluk ini mungkin telah berubah secara drastis. Beberapa tanaman kesukaan mammoth berbulu juga sudah punah.
Akankah mammoth masih bisa bertahan hidup dan mandiri di alam liar? Jika tidak, siapa yang akan merawatnya? Apakah mereka hanya akan menjadi tontonan di kebun binatang?
“Saya tidak berpikir kita harus menghidupkan kembali semua hewan. Menurut saya, ada kriteria tertentu yang harus dipenuhi,” kata Pask.
“Untuk kasus harimau Tasmania, kepunahannya baru terjadi, jadi habitatnya di Tasmania masih ada, semua makanan yang biasa dimakannya masih ada. Ada tempat bagi mereka untuk pergi dan mereka bisa berkembang lagi di lingkungan itu.”
“Hewan ini juga memainkan peran penting dalam ekosistem. Mereka adalah predator puncak, posisinya tepat di puncak rantai makanan. Tidak ada predator puncak marsupial lainnya sehingga ketika punah, ada celah yang sangat besar.”
Beberapa peneliti berpendapat bahwa upaya untuk mengembalikan spesies yang telah lama hilang dapat mengurangi upaya konservasi untuk menyelamatkan hewan yang ada.
Ada risiko hilangnya keanekaragaman hayati, dan orang mungkin kurang terdorong untuk berhenti makan daging dan merusak habitat.
Namun teknologi de-extinction dapat digunakan untuk menyelamatkan spesies hidup yang berada di ambang kepunahan, terutama yang memiliki kumpulan gen yang sangat kecil, seperti badak putih.
Musang berkepala hitam adalah salah satu hewan paling terancam punah di Amerika Utara. Setiap musang yang hidup hari ini dapat ditelusuri nenek moyangnya yang hanya berasal dari tujuh individu.
Namun para peneliti di Kebun Binatang Santiago di Chili baru-baru ini mengambil sel beku dari musang berkaki hitam yang mati 30 tahun lalu, dan menggunakannya untuk membuat klon bernama Elizabeth Ann.
DNA Elizabeth sama sekali berbeda, sehingga bisa mendorong keragaman genetik yang berdampak baik ke dalam populasi.
“Teknologi anti-kepunahan bukan hanya soal menghidupkan kembali harimau Tasmania, tapi juga mencegah hewan lain agar tidak punah,” kata Pask.
“Kita mengalami begitu banyak kebakaran hutan di Australia, dan dengan meningkatnya suhu global, kita akan melihat lebih banyak lagi cuaca buruk dalam beberapa dekade mendatang.”
“Apa yang telah dilakukan Australia adalah mengumpulkan jaringan dari marsupial di daerah yang paling berisiko dan membekukannya. Ini berarti bahwa jika terjadi kebakaran semak, setelah vegetasi tumbuh kembali, populasi area itu bisa dikembalikan.”
Archer setuju bahwa hak moral lebih penting daripada kesalahan apa pun.
“Saya pikir justru tidak etis untuk tidak melakukannya. Saya pikir masalah etika di sini adalah betapa tak pantasnya manusia membuat hewan-hewan ini punah. Kita tidak sedang berpura-pura jadi Tuhan, tapi kita sedang menjadi manusia pintar yang memperbaiki apa yang sudah kita rusak.”
[ad_2]
Source link