[ad_1]
- Penulis, Tri Wahyuni
- Peranan, Wartawan BBC News Indonesia
Tiga politisi berlatar Nahdlatul Ulama (NU) masuk dalam bursa bakal calon wakil presiden (bacawapres) untuk bakal calon presiden (capres) Ganjar Pranowo, Prabowo Subianto, dan Anies Baswedan. Pengamat politik mengatakan semua poros koalisi Pilpres 2024 “membutuhkan suara NU”, tapi seberapa besar peluang ketiganya menjadi bakal calon wakil presiden?
Pengamat politik mengatakan suara NU selalu menjadi “incaran” para kandidat capres dalam setiap ajang pemilihan umum (pemilu) karena memiliki jumlah pengikut “terbesar” yang tersebar di seluruh Indonesia.
Namun, pengamat politik menilai kehadiran tiga politisi NU dalam pemilihan presiden (pilpres) tahun ini, yaitu Khofifah Indar Parawansa, Yenny Wahid, dan Muhaimin Iskandar, dinilai “tidak terlalu kuat” untuk ketiga bakal capres yang sudah ada, yaitu Ganjar Pranowo, Anies Baswedan, dan Prabowo Subianto.
Penyataan Yenny Wahid, anak pertama Presiden Gus Dur, yang mengaku siap dicalonkan sebagai bakal calon presiden, membuka babak baru dalam bursa bakal cawapres 2024.
Anak pertama Presiden Gus Dur itu pun mengungkap kedekatannya dengan masing-masing kandidat bakal capres.
Sebelum Yenny menyatakan kesiapannya, Khofifah Indar Parawansa mengatakan sedang “menunggu lampu hijau” dari Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dan ulama-ulama” terkait keterlibatannya dalam kontestasi politik 2024.
Khofifah juga mengatakan beberapa partai politik sempat menghubunginya untuk membicarakan peluang itu.
Selain Yenny dan Khofifah, ada juga nama Muhaimin Iskandar, ketua umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Dia sudah bergabung dalam koalisi pengusung Prabowo Subianto dan diproyeksikan menjadi cawapres.
Dalam perkembangan terbaru, PBNU mengatakan tidak akan mengintervensi langkah politik yang diambil kadernya dan menyatakan PKB “tidak mewakili NU”.
Apakah suara Nahdliyin – warga NU – akan terpecah jika ketiga tokoh tersebut berhasil masuk bursa cawapres? Seperti apa peluang Khofifah, Yenny, dan Muhaimin atau yang akrab disapa Cak Imin?
Mengapa tokoh-tokoh NU menjadi rebutan?
Pada 1955, Nahdlatul Ulama (NU) merupakan salah satu partai politik terbesar di Indonesia. Pada saat itu, NU sudah memiliki kursi di parlemen.
Meski pada 1984 NU memutuskan keluar dari politik praktis dan berubah menjadi organisasi keagamaan, massa pendukung NU tidak pernah hilang.
Pengamat politik, Bawono Kumoro, mengatakan hingga saat ini NU masih menjadi organisasi masyarakat (ormas) dengan jumlah pengikut “terbesar” yang tersebar di seluruh Indonesia.
“Anggotanya pun lebih besar dari anggota partai politik manapun. Itu mengapa NU menjadi seksi di mata setiap kandidat dalam pemilu,” kata Bawono kepada BBC News Indonesia, Rabu (09/08).
Pengamat politik dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Adi Prayitno, mengatakan tokoh-tokoh NU diyakini mampu mengorganisasi atau mengakumulasi “kekuatan politik Nahdliyin”.
“Di antara 85% orang Indonesia yang mengaku Islam, 20 persennya adalah orang yang merasa atau dekat dan menjadi bagian dari Nahdlatul Ulama. Besar jumlahnya, makanya diincar,” kata Adi kepada BBC News Indonesia.
Secara khusus, NU juga dikatakan memiliki “kantong suara” di Jawa Timur, provinsi kedua dengan jumlah populasi terbanyak di Indonesia.
Itulah sebabnya, suara dari kalangan NU selalu dianggap penting oleh calon-calon presiden.
Suara yang besar dari Nahdliyin, lanjut Adi, dibutuhkan oleh Anies Baswedan yang lemah di Jawa Timur dan lemah di kalangan NU.
Hal yang sama juga dibutuhkan kubu Prabowo Subianto. Pada Pemilu 2014 dan 2019, Prabowo dikatakan kalah suara di Jawa Timur, salah satunya di kalangan NU.
Sementara bagi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), kehadiran NU menjadi penting karena partai berlambang banteng itu memiliki “hubungan historis” dengan para ulama NU, bahkan sejak Orde Lama.
NU juga dianggap melengkapi irisan Islam dalam PDIP sebagai partai nasionalis.
Tidak hanya dari kuantitasnya, secara kualitas NU juga diyakini “tidak pernah kehabisan kader yang unggul” dan bisa “dipromosikan” di level kepemimpinan nasional.
Sejak pemilihan presiden digelar untuk pertama kalinya pada 2004 hingga sekarang, Bawono mengatakan selalu ada tokoh berlatar belakang NU yang menjadi kontestan di ajang pilpres.
Dalam Pemilu 2004 saja misalnya, ada tiga kader NU yang berpartisipasi, mereka adalah Kyai Haji Salahuddin Wahid yang berpasangan dengan Wiranto, Kyai Haji Hasyim Muzadi yang berpasangan dengan Megawati Soekarnoputri, dan Hamzah Haz yang berpasangan dengan Agum Gumelar.
Pada Pemilu 2019, ada Kyai Haji Ma’ruf Amin yang menjadi calon wakil Presiden Joko Widodo dan akhirnya memenangkan kontestasi politik itu.
Siapa yang paling kuat?
Meski suara semua poros koalisi Pilpres 2024 “membutuhkan suara NU”, menurut survei pada Juni lalu yang digelar oleh Parameter Politik— lembaga riset politik yang dipimpin Adi Prayitno— tidak ada nama yang kuat dari segi elektabilitas secara personal.
Dari tiga nama yang memiliki latar belakang NU, yaitu Muhaimin Iskandar, Khofifah Indar Parawansa, dan Yenny Wahid, Adi menyebut elektabilitas mereka “rendah”.
Ketika ditanya prediksi tentang siapa politisi NU yang berhasil menjadi bakal cawapres, Adi mengatakan “agak gelap gulita”.
“Yang muncul di survei sebagai cawapres itu hanya Khofifah, tapi Khofifah kan kecil suaranya, masih di bawah nama-nama besar [bakal] cawapres lain, masih di bawah Ridwan Kamil, Sandiaga Uno, Erick Thohir, AHY [Agus Harimurti Yudhoyono]. Khofifah itu cuma masuk lima besar capres, tapi selisih dengan nama-nama cawapres lain, yang tadi saya sebutkan itu jauh,” ujar Adi menjelaskan.
Hasil survei itu juga sama dengan yang dilakukan oleh Indikator Politik.
Muhaimin Iskandar atau yang akrab disapa Cak Imin, juga dikatakan memiliki elektabilitas yang rendah, “masih di kisaran angka satu ataupun dua persen”.
“Yenny, sebaliknya popularitasnya juga tidak muncul di survei. Tidak ada yang tahu Yenny itu siapa. Apalagi terkonfirmasi dengan elektabilitasnya, enggak ada,” tambah Adi.
Menurut Bawono, Yenny Wahid tidak pernah muncul dalam survei karena nama anak presiden RI ke-4 itu “baru diletupkan oleh beberapa pihak” belum lama ini.
Hasil riset selama satu setengah tahun yang dilakukan Indikator Politik menunjukkan elektabilitas di antara ketiganya pun tidak jauh berbeda, dengan Khofifah muncul sebagai kader NU yang memiliki elektabilitas tertinggi.
Adi dan Bawono bahkan menyebutkan di luar ketiga nama itu, nama Mahfud MD justru menunjukkan elektabilitas yang lebih baik. Namun, Adi mengatakan, “tidak ada partai yang tertarik mengusung” Mahfud MD.
Bagaimana peluang masing-masing?
Masing-masing nama memiliki kelebihan dan kekurangan tersendiri sebagai cawapres.
Bawono mengatakan meski kini Khofifah tidak bergabung dengan partai mana pun, dia memiliki pengalaman panjang di birokrasi pemerintahan sebagai menteri dan gubernur provinsi “kandang NU”.
Sementara itu, Cak Imin, yang elektabilitasnya di bawah Khofifah, memiliki kelebihan sebagai ketua umum PKB, salah satu partai yang masuk ke daftar lima besar dalam dua pemilu terakhir.
PKB juga diidentikkan sebagai “partai resmi NU”, meski beberapa hari lalu Ketua Umum PBNU Yahya Cholil Staquf mengatakan PKB “bukan representasi NU”.
Saat ini PKB berada dalam koalisi partai pendukung Prabowo bersama dengan Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) dan Partai Bulan Bintang (PBB).
Di sisi lain, Yenny Wahid punya kelebihan yang tidak dimiliki oleh kedua kader lainnya, yaitu memiliki “darah biru” NU karena merupakan cicit dari pendiri organisasi tersebut.
Namun, sama dengan Khofifah, dia tidak memiliki partai. Bahkan, Bawono mengatakan Yenny Wahid dianggap sebagai “loser” di PKB karena dia kalah dari Cak Imin dalam pemilihan ketua umum PKB beberapa waktu lalu.
Apapun kelebihan dan kekurangan masing-masing kader NU, Bawono menjelaskan, tantangan yang sesungguhnya harus dihadapi ketiganya adalah penerimaan di tingkat elit di masing-masing koalisi.
“Kalau Pak Prabowo mau menggandeng Ibu Khofifah, PKB bisa menerima? Apakah kalau Anies Baswedan ingin menggandeng Ibu Khofifah atau Mbak Yenny Wahid, Nasdem [Nasional Demokrat], Demokrat, PKS [Partai Keadilan Sejahtera], bersepakat?”
“Apakah kalau Pak Prabowo menggandeng Cak Imin sebagai cawapres itu akan membuat rasa percaya diri Pak Prabowo untuk menang itu lebih tinggi, mengingat Cak Imin tidak cukup kompetitif di antara nama-nama lain?” kata Bawono.
Posisi Ganjar mungkin tidak serumit dua bakal capres lainnya karena secara politik PDIP, yang mengusung Ganjar, bisa maju sendiri tanpa berkoalisi dengan partai yang lain dan kehilangan dukungan seperti Anies atau Prabowo.
Khofifah ‘sulit diterima’
Jika para bakal cawapres punya kelebihan dan kelemahan, masing-masing capres pun punya kepentingan sendiri untuk memilih cawapres yang bisa mendongkrak suara mereka.
Bawono dan Adi sama-sama mengatakan pencalonan Khofifah untuk Prabowo dinilai akan “sulit diterima di tingkat elite partai koalisi”.
Sebab, PKB sudah terlebih dahulu berada di koalisi dan mengusung Cak Imin sebagai wakil Prabowo.
“Kalau Prabowo ambil Khofifah misalnya, bukan tidak mungkin PKB ini angkat kaki, yang itu artinya akan membuat Prabowo Subianto akan kesulitan untuk menggenapi ambang batas presidential threshold 20%,” kata Adi Prayitno.
Sementara untuk koalisi Anies, yang dikatakan sangat membutuhkan suara NU, Khofifah dinilai tidak memberikan nilai tambah apapun secara signifikan. Bahkan, keberadaan Khofifah bisa membuat partai pendukung di poros Anies hengkang.
“Kalau Anies dengan Khofifah bisa dipastikan, misalnya, Demokrat akan angkat kaki,” tambah Adi.
Cak Imin kurang diminati
Walaupun saat ini Cak Imin memegang kunci sebagai bakal cawapres Prabowo, Adi menilai ada kesan Prabowo tidak benar-benar “minat” dengan Muhaimin.
Prabowo dikatakan hanya menginginkan suara PKB sebagai partai karena elektabilitas Cak Imin tidak signifikan.
“Cuma kan problemnya kalau bukan Cak Imin yang dipilih maka sangat mungkin PKB akan hengkang kan sudah sering kita dengar kalau kalau Gerindra. Dan Prabowo misalnya tidak jelas sikapnya terhadap Cak Imin sebagai cawapres, maka sangat mungkin mereka akan hengkang,” kata Adi.
Muhaimin Iskandar mengatakan membuka peluang bergabung ke koalisi PDIP jika Gerindra tidak kunjung memberikannya kepastian.
Yenny ‘tidak punya bekal’
Awalnya Yenny Wahid digadang-gadang dengan Ganjar Pranowo, tapi sekarang Yenny didekatkan dengan atau mendekat ke Anies Baswedan.
Jika Anies Baswedan memilih Yenny Wahid sebagai pendampingnya, Adi mengatakan itu membuat koalisi Anies akan kehilangan Demokrat karena bagi AHY menjadi cawapres Anies itu “harga mati”.
Tanpa Demokrat, Anies sulit menggenapi ambang batas presidential threshold 20%.
Yenny juga dinilai tidak memiliki bekal popularitas dan elektabilitas.
“Secara tidak langsung Yenny sudah show off kepada publik tertarik untuk bisa berdampingan dengan Anies? Cuma kan problemnya itu tadi. Apakah Yenny adalah jawaban dari dari kelemahan elektabilitas Anies terutama di Jatim [Jawa Timur] dan NU?” ujar Adi.
[ad_2]
Source link