[ad_1]
Sumber gambar, Antara Foto
Pro-kontra UU Cipta Kerja kembali mencuat setelah DPR dan pemerintah menyetujui perubahan UU P3 yang membolehkan metode omnibus.
DPR mengesahkan revisi Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (RUU P3) menjadi undang-undang, yang dikritik sebagai siasat memperbaiki UU Cipta Kerja. UU yang dijuluki Omnibus Law itu dinyatakan cacat prosedur oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada November 2021 lalu.
Pengesahan ini berlangsung secara aklamasi dalam rapat paripurna DPR di Senayan pada Selasa (24/05).
“Kami tanyakan kepada seluruh anggota apakah RUU Perubahan kedua atas UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dapat disetujui untuk disahkan jadi UU?” tanya Ketua DPR Puan Maharani sebagai pemimpin rapat.
“Setuju,” seru para anggota Dewan dalam rapat yang dihadiri Menko Perekonomian Ad Interim Sri Mulyani sebagai perwakilan pemerintah, seperti yang dikutip Detik.com.
Pimpinan Badan Legislasi DPR, M Nurdin, mengungkapkan sebelumnya pembahasan tingkat satu atas RUU itu disetujui oleh delapan fraksi, yaitu PDIP, Golkar, Gerindra, NasDem, PKB, Demokrat, PAN, dan PPP. Sedangkan satu fraksi yang menolak adalah PKS.
Kesepakatan revisi UU P3 ini diputuskan dalam rapat pleno Baleg DPR pada 13 April lalu. Saat itu hadir Menteri Perekonomian Airlangga Hartarto dan Menko Polhukam Mahfud Md yang mewakili pemerintah dalam ketok palu tingkat satu tersebut.
RUU P3 yang disahkan ini disebut akan menjadi landasan hukum bagi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja). Revisi UU P3 itu dilakukan karena pada UU 12/2011, yang merupakan pedoman penyusunan peraturan perundang-undangan, masih belum mengatur mengenai metode omnibus law.
Mengapa aturan ini dikritik untuk menyiasati revisi UU Ciptaker?
Revisi Undang-Undang 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU P3) ini sebelumnya dikritik sebagai siasat memperbaiki UU Cipta Kerja yang dinyatakan cacat prosedur oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
DPR dan pemerintah, kata pakar hukum, semestinya membahas ulang UU Cipta Kerja dengan melibatkan masyarakat. Merevisi regulasi lain demi omnibus law diyakini justru akan memicu persoalan baru.
Sebelum disahkan di tingkat paripurna, pimpinan DPR sudah secara terbuka mengakui bahwa revisi UU P3 merupakan cara mereka menindaklanjuti putusan MK terhadap omnibus law.
Selama ini beleid tersebut merupakan patokan utama dalam pembuatan regulasi, dari undang-undang, peraturan menteri, hingga peraturan daerah.
Salah satu substansi baru dalam UU P3 adalah berlakunya metode omnibus sebagai opsi penyusunan regulasi. Artinya, sebuah undang-undang bisa mengatur lebih dari satu bidang persoalan.
UU P3 selama ini tidak memungkinkan DPR dan pemerintah membentuk regulasi dengan metode omnibus. Inilah yang dipersoalkan MK dan membuat UU Cipta Kerja belum bisa diterapkan walau sudah disahkan sejak awal November 2020.
Masuknya opsi omnibus melalui revisi UU P3, kata Fitri Arsil, pakar hukum tata negara dari Universitas Indonesia, merupakan jalan pintas DPR dan pemerintah untuk melegalkan UU Cipta Kerja.
“Kita bisa lihat bahwa dominasi pembahasan revisi ini bukan persoalan peraturan perundang-undangan yang sistemik, tapi bagaimana memberi legitimasi pada UU Cipta Kerja,” ujarnya via telepon.
Sumber gambar, Getty Images
Unjuk rasa di sejumlah daerah terjadi sebelum dan sesudah pengesahan UU Cipta Kerja pada November 2020.
Dugaan soal siasat itu, menurut Ledia Hanifa, legislator dari Fraksi PKS, juga terlihat karena pembahasan revisi UU P3 tidak menghasilkan solusi atas persoalan regulasi yang saling bertentangan dan tumpang tindih.
Masalah ini sudah mencuat selama beberapa tahun terakhir. Pemerintah pada 2018 lalu, misalnya, sempat berencana membentuk lembaga khusus untuk mengatasi persoalan tumpang tindih ini.
Ledia heran, berbagai solusi itu justru tidak muncul dalam revisi UU P3.
“Ada banyak peraturan, misalnya yang dibuat di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang bertentangan dengan peraturan di Kementerian Dalam Negeri. Harus ada solusi harmonisasi,” kata Ledia saat dihubungi.
“Persoalan semacam itu seharusnya menjadi bagian yang diperhatikan dalam revisi ini, tapi ternyata tidak terakomodasi,” ucapnya.
Sumber gambar, Antara Foto
Sejumlah anggota DPR berswafoto usai rapat paripurna DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (14/04).
Apa kata DPR?
Wakil Ketua Baleg (Badan Legislatif), Achmad Baidowi, menyebut putusan MK terhadap UU Cipta Kerja memang turut mendorong revisi UU P3.
“Baleg menyetujui revisi ini untuk dibawa ke Rapat Paripurna dalam konteks merespon putusan MK, salah satunya tentang pengaturan metode omnibus,” ujarnya.
Meski begitu, Baidowi berkata bahwa revisi ini juga mencakup persoalan lain, misalnya efisiensi proses penomoran dan pengundangan yang diserahkan kepada Sekretariat Negara.
Menteri Koordinator Perekonomian, Airlangga Hartarto, yang juga hadir dalam rapat pleno 13 April itu, menyebut revisi ini juga memungkinkan penyusunan regulasi secara elektronik.
“Pembentukan peraturan akan lebih efektif dan efisien tanpa mengurangi asas keterbukaan,” ujarnya.
Sumber gambar, Antara Foto
Omnimbus Law digambarkan dalam aksi unjuk rasa dapat bikin sakit kepala.
Dampak revisi UU P3 pada masa depan?
Selama ini pro-kontra muncul tentang upaya DPR dan pemerintah untuk membuat UU Cipta Kerja memiliki basis hukum yang sah.
Bagaimanapun, menurut Feri Amsari, pakar hukum konstitusi dari Universitas Andalas, revisi UU P3 tidak relevan dengan putusan MK soal UU Cipta Kerja.
Konsekuensinya, kata dia, semestinya revisi itu tidak bisa memberi landasan hukum untuk pelaksanaan UU Cipta Kerja.
“Dalam sembilan amar putusan MK tidak ada perintah untuk merevisi UU P3. Semua soal perbaikan UU Cipta Kerja,” kata Feri.
“DPR dan pemerintah tidak mau perbaiki UU Cipta Kerja dari awal jadi mereka coba merekayasa dengan cara merevisi UU P3 sehingga seolah-olah apa yang diterapkan pada UU Cipta Kerja itu dapat sah,” ucapnya.
Lebih dari itu, memasukkan metode omnibus dalam UU P3 disebut Feri bakal semakin menyulitkan publik memahami peraturan.
Menurut Feri, orang awam selama ini sudah kelimpungan membaca sebuah regulasi yang membahas satu isu secara khusus. Memahami satu aturan yang menampung beragam isu berbeda, kata dia, memiliki kerumitan yang lebih besar.
Hal serupa dikatakan Fitra Arsil. Merujuk praktik di beberapa negara, dia menyebut metode omnibus kerap dihindari, terutama untuk persoalan yang penting dan rumit.
“Ada adagium yang menyatakan tidak ada orang yang tidak mengetahui hukum. Jadi tidak ada yang bisa bilang ‘saya tidak tahu aturannya’,” kata Fitra.
“Jadi yang paling penting adalah memudahkan masyarakat memahami peraturan. Masyarakat tidak perlu pengacara untuk paham undang-undang,” ujarnya.
Sumber gambar, Antara Foto
Sejumlah buruh membawa spanduk saat berunjuk rasa di depan kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (23/03). Mereka menuntut pencabutan Undang-undang Cipta Kerja.
Apa solusi untuk para penolak revisi UU P3?
Pimpinan Baleg awalnya berharap revisi ini dapat disahkan pada rapat paripurna, Kamis (14/04). Namun pengesahan urung dilakukan sehingga baru dapat dilakukan setelah masa reses berakhir pertengahan Mei.
Bila belum disahkan, Ledia Hanifa menyebut hasil revisi UU P3 belum dapat digugat ke MK.
Pengesahan beleid ini disebutnya juga bisa batal jika suara mayoritas di DPR menghendaki peninjauan ulang terhadap proses revisi. Namun Ledia menyebut DPR hampir tidak pernah membatalkan hasil kerja mereka sendiri.
Apa makna omnibus?
Sejak masih dalam bentuk wacana, dibahas, hingga disahkan, UU Cipta Kerja yang berbentuk omnibus selalu memicu pro-kontra.
Meski didukung antara lain oleh kalangan pengusaha, UU ini ditentang dan memicu demonstrasi besar dari sejumlah kalangan.
UU Cipta Kerja disusun dengan metode omnibus. Istilah ini berarti ‘sapu jagat’ alias menyatukan banyak sektor dalam satu regulasi.
Beleid yang sempat diwarnai isu pergantian pasal setelah proses persetujuan DPR dan pemerintah ini mengatur urusan agraria, ketenagakerjaan, hingga investasi.
Pada 25 November 2021, MK menyatakan UU Cipta Kerja harus diperbaiki dalam dua tahun karena proses pembuatannya tidak sesuai UU P3.
Namun MK tidak mempersoalkan substansi yang diatur dalam regulasi tersebut.
[ad_2]
Source link