
Sumber gambar, AFP
Ke Huy Quan merupakan orang asal Vietnam pertama yang menang Oscar.
- Penulis, Jonathan Head
- Peranan, BBC Koresponden Asia Tenggara
- Melaporkan dari Bangkok
Dalam pidatonya usai memenangkan Piala Oscar untuk kategori ‘Aktor Pendukung Pria Terbaik’, Ke Huy Quan menceritakan perjalanannya dari anak laki-laki yang mengungsi naik kapal dari Vietnam hingga sampai di kamp pengungsi Hong Kong kemudian menetap di California, Amerika Serikat.
“Saya menghabiskan satu tahun di kamp pengungsi, dan entah bagaimana saya berada di sini, di panggung terbesar Hollywood,” kata dia. “Mereka bilang cerita seperti ini hanya terjadi di film. Saya tidak percaya ini terjadi pada saya. Ini adalah impian Amerika.”
Ia menjadi orang pertama keturunan Vietnam yang memenangkan Piala Oscar dalam film Everything Everywhere All At Once. Bahkan, ia merupakan satu dari dua orang berdarah Vietnam yang mendapat nominasi pada ajang penghargaan tahun ini.
Selain Quan, ada pula Hong Chau yang berperan dalam film the Whale yang keluarganya juga mengungsi dari Vietnam menggunakan kapal.
Meski begitu, di Vietnam, reaksi publiknya terlihat kurang antusias. Laporan-laporan media, yang hampir semuanya di bawah kendali pemerintah, tidak banyak menulis mengenai Ke Huy Quan maupun latar belakangnya.
Beberapa media menyebut sang aktor sebagai etnis Tionghoa, bukan mengenai identitasnya sebagai orang Vietnam. Ke Huy Quan lahir di bagian selatan ibu kota Vietnam, yakni Saigon atau Kota Ho Chi Minh, pada 1971. Keluarganya merupakan bagian dari minoritas etnis Tionghoa yang sukses secara komersial.
Tak ada satu pun media Vietnam yang menyebut kepergian Quan dari Vietnam ataupun statusnya sebagai seorang pengungsi dalam eksodus massal akibat perang saudara antara Vietnam Selatan dan Vietnam Utara pada akhir 1970-an.
Bahkan, sebagian dari mereka sempat mengungsi ke Indonesia, tepatnya di Pulau Galang. Mereka kemudian dipindahkan ke negara ketiga seperti Amerika Serikat.
Namun, Quan tidak diakui sebagai warga Vietnam. Surat kabar Thanh Nien hanya menulis “ia lahir pada 1971 dalam keluarga Tionghoa di Kota Ho Chi Minh kemudian pindah ke AS pada akhir 1970-an.”
Media local Tuoi Tre menulis: “Quan Ke Huy lahir pada 1971 di Vietnam dalam keluarga Tionghoa, dengan ibu yang berasal dari Hong Kong dan ayahnya dari China.”
VN Express juga menulis bahwa sang aktor “memiliki orang tua Tionghoa di daerah Cho Lon”, distrik komersial di Saigon yang dari dulu dihuni oleh etnis Tionghoa.
Tidak ada pejabat pemerintah Vietnam yang mengatakan apa-apa, meskipun itu mungkin kurang mengejutkan sebab Partai Komunis Vietnam cenderung pendiam.
Lantas, mengapa Vietnam enggan merangkul aktor yang sukses dan sekarang diakui secara global, yang secara terbuka menyebut dirinya sebagai orang Vietnam?
‘Manusia perahu’ dari Vietnam pernah mengungsi di Indonesia
Sumber gambar, Getty Images
Para pengungsi dari Vietnam menetap di kamp pengungsi yang didirikan di Pulau Galang, Indonesia. Lokasi bekas kamp itu sempat disulap menjadi rumah sakit darurat Covid-19.
Eksodus massal para ‘manusia perahu’ pada era 1970-an sampai 1980-an merupakan salah satu periode tergelap dalam sejarah Vietnam.
Sebanyak 1,5 juta orang mengungsi, sebagian besar dari mereka merupakan warga etnis Tionghoa. Mereka menggunakan kapal rakitan untuk berlayar melintasi Laut China Selatan.
Sebagian besar pengungsi menetap sementara di negara-negara tetangga, seperti Filipina, Thailand, Malaysia, Hong Kong, dan Indonesia. Setelah beberapa tahun, mereka dipindahkan ke negara ketiga.
Di Indonesia, manusia perahu asal Vietnam ditempatkan di Pulau Galang.
Selama 17 tahun kamp itu berdiri, pada periode 1979-1996, setidaknya terdapat sekitar 250.000 pengungsi.
Sebelum pindah ke Pulau Galang, pengungsi asal Vietnam tiba dan tinggal beberapa waktu di daerah lain di Indonesia, seperti Pulau Anambas, kawasan Kepulauan Natuna, dan Pulau Bintan.
Pemerintah Indonesia bekerja sama dengan Komisi Tinggi Urusan Pengungsi PBB (UNHCR) dalam mendirikan sejumlah fasilitas di pulau tersebut.
Sarana yang dibangun, di antaranya barak pengungsian, tempat ibadah, rumah sakit, dan sekolah. Fasilitas tersebut digunakan oleh para pengungsi dari Vietnam.
Ada pula pemakaman yang didirikan di Pulau Galang yang bernama Ngha Trang Grave. Setidaknya, sekitar 503 pengungsi Vietnam dimakamkan di sana.
Menurut catatan UNHCR, sebanyak 200.000 hingga 400.000 pengungsi dari Vietnam meninggal di perairan. Sebagian dari mereka tewas akibat serangan bajak laut yang kejam.
Apa yang membuat warga etnis Tionghoa terpaksa mengungsi dari Vietnam?
Pada masa 1970-an, Vietnam merupakan negara komunis yang pada saat itu baru saja mengalahkan kekuatan militer Amerika Serikat.
Kini, ketika Vietnam menjadi negara dengan ekonomi yang cukup kuat, mereka lebih memilih untuk melupakan sejarah kelam itu.
Namun, kemenangan Ke Huy Quan di ajang penghargaan perfilman Oscar 2023 mengingatkan kembali Vietnam mengenai hal itu.
Eksodus massal para ‘manusia perahu’ merupakan dampak dari hubungan Vietnam dengan China yang cukup buruk. Kedua negara komunis itu awalnya memiliki persahabatan yang erat setelah Perang Dunia II.
China memberikan banyak bantuan kepada Vietnam Utara dalam melawan penjajah Prancis dan kemudian Amerika Serikat.
Namun, setelah Vietnam Utara berhasil mendapatkan kemenangan pada April 1975 dan menyatukan kembali Vietnam Utara dan Vietnam Selatan, hubungan dengan China menjadi semakin rapuh.
Sebab, pemerintah komunis Vietnam memihak pada Uni Soviet ketika hubungan China dan Soviet meregang.
Populasi etnis Tionghoa di Vietnam, yang sebagian besar tinggal di daerah Cho Lon, termasuk keluarga Ke Huy Quan, terdampak oleh konflik antara kedua negara itu. Mereka mendapat tekanan dari pemerintah komunis yang berkuasa karena dipandang sebagai bagian dari rezim yang kalah, yakni para kapitalis di Vietnam Selatan.
Ekonomi Vietnam berada dalam keadaan buruk selama beberapa tahun setelah perang, akibat isolasi internasional dan karena kebijakan sosialis yang kaku di bawah pemerintahan baru.
Karena warga etnis Tionghoa memiliki uang yang cukup untuk menyuap pihak aparat dan menyewa kapal, mereka mulai meninggalkan Vietnam dalam jumlah besar pada September 1978.
Eksodus itu mencapai puncaknya setelah serangan China terhadap Vietnam pada Februari 1979. Kejadian ini membuat sentimen anti-China semakin bertambah dan berlanjut selama lebih dari satu dekade.
Bagaimana sentimen orang Vietnam pada warga etnis Tionghoa di masa sekarang?
Sumber gambar, Getty Images
Ke Huy Quan dengan para pemeran dan kru film Everything Everywhere All at Once, yang memborong piala di ajang penghargaan Oscar tahun ini
Hubungan Vietnam yang bermasalah dengan China masih berlanjut sampai sekarang, namun diskriminasi itu tidak terlalu dirasakan oleh warga etnis Tionghoa yang tinggal di sana.
Bahkan orang Viet Kieu, sebutan bagi mereka yang mengungsi, dapat kembali ke Vietnam dan menjadi makmur.
Tetapi kebencian terhadap kebijakan agresif China atas pulau-pulau yang disengketakan di Laut China Selatan, dan pengaruh ekonominya yang berkembang, memicu sentimen anti-China yang kuat di masyarakat.
“Dia [Ke Huy Quan] bukan keturunan Vietnam, dia hanya Tionghoa-Vietnam dan lahir di Vietnam. Itu harus dibuat jelas,” tulis seseorang yang berkomentar di halaman Facebook BBC Vietnam.
“Mereka harus menulis dengan sangat jelas bahwa dia adalah orang Tionghoa-Amerika, bahwa dia dulu berkewarganegaraan Vietnam! Saya tidak bisa melihat [tulisan] “asal Vietnam” di sini?” tulis pengguna lain.
Tetapi warganet lain menulis bahwa “kita harus mengatakan dia orang Vietnam, karena dia lahir di Vietnam dan keturunan Tionghoa”.
Di Kota Ho Chi Minh, seorang penulis bernama Tran Tien Dung menyarankan di Facebook bahwa identitas Ke Huy Quan adalah sebagai orang “Saigon-Cho Lon”.
“Bagi saya, Quan Ke Huy mendapatkan energinya dari tempat kelahirannya di Saigon – Cho Lon, dan ketenaran dari dibesarkan di Amerika Serikat. Jadi saya ingin mengucapkan selamat kepadanya dan berbagi kegembiraan dengan publik di media sosial,” ungkapnya
“Saya pikir cara media pemerintah mengabaikan sejarah Ke Huy Quan sebagai manusia perahu sangat disesalkan,” kata Nguyen Van Tuan, seorang profesor kedokteran di Universitas New South Wales di Sydney, yang juga merupakan mantan manusia perahu.
“Kisah pengungsi ‘manusia perahu’ pada 1970-an dan 1980-an adalah babak tragis dalam sejarah bangsa. Sebagian besar pengungsi Vietnam yang tiba di AS saat itu, baik keturunan Tionghoa ataupun orang “murni Vietnam”, sangat miskin. Mereka tidak bisa berbahasa Inggris. Namun mereka mampu bertahan, dan berkembang.
“Generasi orang muda di Vietnam tidak dapat membayangkan kesulitan para pengungsi pada waktu itu, karena mereka tidak diajarkan mengenai tentang sejarah kita yang menyedihkan dan menyakitkan itu.”
Jonathan Head merupakan koresponden BBC Asia Tenggara dan Tran Vo adalah jurnalis BBC Vietnam yang berbasis di Bangkok