Jakarta (DMS) – Potensi gempa megathrust di Indonesia yang disebut berada di zona Selat Sunda dan Mentawai-Siberut memicu kekhawatiran masyarakat.
Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami BMKG, Daryono mengingatkan keberadaan zona megathrust Selat Sunda dan Mentawai-Siberut tersebut sebagai sebuah potensi yang diduga oleh para ahli sebagai zona kekosongan gempa besar (seismic gap) yang sudah berlangsung selama ratusan tahun.
Sebelumnya, Jepang mengeluarkan peringatan tentang potensi gempa megathrust lanjutan usai gempa M 7,1 terjadi di Nankai, Jepang Selatan, Kamis (8/8/2024).
Menanggapi hal itu, pakar gempa Institut Teknologi Bandung (ITB), Prof Dr Irwan Meilano, ST, MSc menerangkan potensi gempa dapat dipahami dari 3 bukti penelitian.
Pertama tentang histori kegempaan yang pernah terjadi di daerah tersebut. Kemudian data pengamatan pola kegempaan saat ini.
Menurut Irwan, pada dasarnya, wilayah yang punya potensi gempa besar tak sering mengalami aktivitas kegempaan.
Terakhir adalah akumulasi regangan yang bisa dilihat berdasarkan pengamatan deformasi. Hasil pengamatan bisa dilihat berdasarkan GPS yang dikelola oleh Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) atau Badan Informasi Geospasial (BIG).
Perbedaan Mentawai-Siberut dan Selat Sunda
Irwan menyebutkan 3 kondisi tersebut telah terpenuhi di Mentawai. Sementara untuk Selat Sunda, hanya kondisi kedua dan ketiga yang terpenuhi.
“Kondisi pertama untuk Selat Sunda tidak terpenuhi. Artinya, bukti riset di Selat Sunda tidak selengkap Mentawai,” ujar Irwan dikutip dari laman ITB, Kamis (22/8/2024).
Hal ini karena perbedaan geografis keduanya sehingga tidak mudah untuk melakukan riset di Selat Sunda daripada Mentawai. Namun, hal ini tidak mengurangi potensi terjadinya gempa di megathrust Selat Sunda.
“Kalau kita bicara tentang potensi gempa di kedua lokasi tersebut, sama-sama besar,” ujar Irwan.
Analogi Gempa Megathrust Bak ‘Menabung’
Zona megathrust memang jarang dilanda gempa meskipun ada, goncangannya kecil. Akan tetapi, Irwan menegaskan bahwa hal tersebut seperti tabungan terjadinya gempa yang besar kelak.
“Terdapat potensi yang besar untuk terjadi gempa di masa depan. Berdasarkan riset modern, kita memang belum dapat menentukan waktu yang pasti tersebut,” katanya.
Menurutnya, akumulasi energi yang ditabung ini sesuai dengan hukum alam. Meski banyak ahli menganggap demikian, tetapi menurutnya tidak ada yang bisa memastikan kapan terjadi gempa megathrust.
Ia menegaskan bahwa gempa bukan suatu bencana, melainkan proses alami yang sesuai dengan hukum alam. Bencana yang sesungguhnya adalah kerusakan infrastruktur misalnya bangunan roboh.
Irwan menyarankan masyarakat untuk meningkatkan literasi soal kebencanaan. Begitu juga pemerintah yang menurutnya harus bisa menyampaikan informasi bencana lewat kurikulum pendidikan hingga dialog publik.
“Jadikan potensi bencana sebagai kesempatan kita untuk meningkatkan pengetahuan,” tuturnya.
Meski peringatan gempa ini banyak dikabarkan di mana-mana, BMKG menegaskan informasi yang ada merupakan peringatan dini. BMKG menegaskan bahwa kabar tersebut diharapkan bisa menjadi langkah mitigasi bencana.
“Potensi itu memang ada, namun yang perlu kita perhatikan adalah langkah mitigasi apa yang bisa kita upayakan,” tulis postingan Instagram BMKG.DMS/DC