Jakarta (DMS) – Awal tahun 2025 diwarnai dengan pengungkapan sejumlah kasus korupsi berskala besar oleh aparat penegak hukum. Dari kasus dugaan korupsi di PT Timah dengan nilai kerugian negara sekitar Rp300 triliun, kasus tata kelola minyak mentah Pertamina senilai Rp193 triliun, hingga kasus PT Duta Palma Group sebesar Rp104 triliun.
Fenomena ini memunculkan istilah “Liga Korupsi Indonesia” yang menggambarkan betapa masif dan sistemiknya praktik korupsi di berbagai sektor strategis. Namun, rentetan pengungkapan ini juga mencerminkan meningkatnya komitmen aparat penegak hukum seperti Polri, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan Kejaksaan dalam memberantas korupsi.
Presiden Prabowo Subianto dalam berbagai pidato kenegaraan menegaskan perang terhadap korupsi sebagai prioritas nasional. Komitmen tersebut tertuang dalam poin ketujuh Asta Cita, arah kebijakan pemerintahan menuju Indonesia Maju.
Dekan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Parulian Aritonang, menilai pengungkapan kasus-kasus korupsi triliunan rupiah bukan semata ajang glorifikasi, melainkan menjadi simbol kebangkitan optimisme publik terhadap penegakan hukum di Indonesia.
“Kondisi saat ini membawa angin segar. Ini potensi awal yang baik, menandakan adanya kemauan besar untuk menindak pidana korupsi,” kata Parulian di Jakarta, Jumat (14/6).
Fokus pada Pemulihan Kerugian Negara
Seiring meningkatnya upaya penindakan, pemulihan kerugian negara juga menjadi perhatian utama. Praktik korupsi tidak hanya merusak tatanan hukum, tetapi juga menyebabkan kerugian besar terhadap keuangan negara yang harus segera dipulihkan demi kepentingan publik.
Pemerintah telah memiliki dasar hukum dalam memulihkan kerugian negara akibat tindak pidana korupsi, salah satunya melalui Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Regulasi ini mengatur pembayaran uang pengganti serta mekanisme lelang harta benda hasil korupsi.
Upaya ini menegaskan perubahan paradigma pemberantasan korupsi: tidak hanya menghukum pelaku, tetapi juga memastikan pengembalian kerugian negara secara maksimal.DMS/AC