[ad_1]
Empat puluh tahun sejak peluncuran ‘Banned Books Week’, kampanye yang mempromosikan kebebasan membaca, penyensoran terhadap buku kembali meningkat. Dalam seri terbaru BBC Culture, John Self menulis tentang sejarah pelarangan buku yang panjang dan tercela di dunia.
Legenda Kitab-kitab Sibilin mengisahkan kepada kita bahwa di sebuah kota kuno, seorang perempuan menawarkan kepada penduduk setempat untuk menjual 12 buku berisi semua pengetahuan dan kebijaksanaan di jagat raya, dengan harga selangit.
Mereka menolak, dan menganggap penawaran itu konyol. Perempuan itu lalu membakar setengah dari kitab-kitab saat itu juga, dan kemudian menawarkan untuk menjual enam sisanya dengan harga dua kali lipat.
Warga menertawakannya, kali ini mulai sedikit gelisah.
Perempuan itu kemudian membakar tiga kitab lagi, menawarkan sisanya, tetapi menggandakan harganya lagi. Dengan agak enggan – situasi saat itu sulit, persoalan mereka tampak berlimpat ganda – mereka menolaknya sekali lagi.
Akhirnya, ketika hanya ada satu buku tersisa, warga membayar harga yang luar biasa yang diminta oleh perempuan itu, dan dia meninggalkan mereka, untuk mengelola sebaik mungkin dengan seperdua belas dari semua pengetahuan dan kebijaksanaan di dunia.
Buku-buku membawa ilmu. Buku memupuk pikiran kita, menyebarkan ide-ide yang terus berlipat menembus ruang dan waktu.
Kita lupa betapa ajaibnya tanda pada halaman buku atau layar buku digital memungkinkan komunikasi dari satu pikiran ke pikiran lain di belahan dunia yang jauh, atau di ujung abad yang lain.
Buku adalah, seperti yang dikatakan Stephen King, “sihir portabel nan unik” – dan sifat portabelnya sama pentingnya dengan keajaiban yang ditimbulkannya.
Sebuah buku dapat diambil, disembunyikan, juga menjadi tempat Anda menyimpan pengetahuan pribadi Anda sendiri. (Buku harian pribadi anak saya memiliki gembok yang tidak berguna, meski tetap penting secara simbolis.)
Kekuatan kata-kata di dalam buku begitu hebat sehingga sejak lama ada kebiasaan untuk menghapus beberapa kata: seperti kata-kata umpatan, seperti siapa pun yang menemukan “d” — “d” dalam novel abad ke-19 akan memahaminya; atau kata-kata yang amat berbahaya untuk ditulis, seperti nama Tuhan dalam beberapa kitab agama.
Buku membawa pengetahuan, dan pengetahuan adalah kekuatan yang membuat buku menjadi ancaman bagi pihak berwenang – pemerintah dan pemimpin otoriter – yang ingin memonopoli pengetahuan dan mengendalikan apa yang dipikirkan warganya.
Dan cara paling efisien yang bisa mereka lakukan adalah dengan melarang buku-buku itu.
Pelarangan buku memiliki sejarah yang panjang dan penuh cela, tetapi belum juga mati: praktik ini masih terus berkembang.
Pekan ini adalah peringatan 40 tahun Banned Books Week atau Pekan Buku Terlarang, sebuah acara tahunan yang “merayakan kebebasan membaca.”
‘Pekan Buku Terlarang’ diluncurkan pada 1982 sebagai tanggapan atas meningkatnya penentangan terhadap buku-buku di sekolah, perpustakaan, hingga di toko.
Dalam beberapa hal, kita patut salut atas energi dan kewaspadaan mereka yang ingin melarang dan membatasi buku pada saat ini, yang dulu jauh lebih mudah dilakukan dibanding sekarang.
Berabad-abad silam, ketika sebagian besar orang tidak dapat membaca dan buku tidak tersedia, pengetahuan mereka dapat dibatasi pada sumbernya.
Seolah-olah ini untuk mencegah orang awam dari salah menafsirkan firman Tuhan, tetapi juga untuk memastikan mereka tidak dapat menantang otoritas para pemimpin gereja.
Bahkan ketika tingkat melek huruf meningkat, seperti ketika Inggris memperkenalkan undang-undang pendidikan pada akhir abad ke-19, buku tetap mahal, terutama karya sastra kelas atas yang kata-kata dan gagasannya paling langgeng (dan berpotensi paling berbahaya).
Hanya pada 1930-an, melalui penerbit Albatross Books dan Penguin Books, kebutuhan pembaca yang lebih luas untuk buku-buku berkualitas dengan harga terjangkau akhirnya terpuaskan.
Secara bersamaan, pelarangan buku pun memasuki fase baru, karena penyensor berusaha mati-matian mengikuti pesatnya kemunculan judul-judul buku baru, memberi pembaca gagasan baru yang mengganggu.
Namun yang mengejutkan dari maraknya pelarangan buku di abad ke-20 adalah betapa meluasnya nafsu terhadap raket “perlindungan” ini.
Saat ini, pemerintah China, misalnya, terus mengeluarkan dekrit terhadap buku-buku di sekolah yang dianggap “tidak sejalan dengan nilai-nilai inti sosialis [negara]; yang memiliki pandangan dunia, pandangan hidup, dan nilai-nilai yang menyimpang” – kata-kata fleksibel klasik yang bisa berlaku bagi buku apa pun yang tidak disetujui oleh pemerintah atas alasan apa pun.
(Walaupun “para siswa tidak benar-benar membacanya,” kata seorang guru pada 2020, sambil membersihkan rak perpustakaan sekolah dari buku Animal Farms and Nineteen Eighty Fours, sebuah dongeng politik yang berdasar pada revolusi Rusia dan pengkhianatan terhadap Joseph Stalin.)
Di Rusia, pendekatan pelarangan buku telah memicu kehebohan publik, mengingat negara itu memiliki banyak penulis hebat yang tersohor sampai ke berbagai negara di dunia.
Selama era Soviet, pemerintah mencoba mengontrol sebisa mungkin kebiasaan membaca warganya seperti yang dilakukan selama sisa hidup mereka.
Pada 1958, penyair Rusia, Boris Pasternak dianugerahi Hadiah Nobel Sastra untuk novelnya Doctor Zhivago, yang diterbitkan di Italia pada tahun sebelumnya, tetapi tidak diterbitkan di tanah airnya sendiri.
Penghargaan itu membuat pemerintah Soviet sangat murka (media yang dikontrol oleh pemerintah menyebut karya sebagai “karya yang kotor dan jahat dengan polesan artistik”) sehingga dPasternak terpaksa menolak penghargaan tersebut.
Pemerintah sangat membenci buku itu karena apa yang tidak terkandung di dalamnya – buku itu gagal merayakan revolusi Rusia -, buku itu mengandung nuansa keagamaan dan merayakan nilai-nilai individual. (CIA, begitu melihat “nilai propaganda besar” dari Dokter Zhivago, mengaturnya untuk dicetak di Rusia.)
Pelarangan buku-buku di Uni Soviet memicu berkembangnya tulisan samizdat -yang diterbitkan secara mandiri -, yang akhirnya berjasa bagi eksistensi sejumlah karya, misalnya, puisi Osip Mandelstam.
Penulis pembangkang Vladimir Bukovsky menggambarkansamizdat: “Saya menulisnya sendiri, mengeditnya sendiri, menyensornya sendiri, menerbitkannya sendiri, mendistribusikannya sendiri, dan juga menghabiskan waktu di penjara sendiri karena ini.”
Tetapi banyak orang-orang di Barat mengira situasi serupa tidak terjadi di tempat mereka.
Ketika buku-buku dilarang, atau diupayakan untuk dilarang, alasannya sama saja seperti di tempat-tempat lain: bahwa pelarangan itu bertujuan melindungi orang-orang biasa, yang seolah terlalu bodoh untuk menilainya sendiri atas paparan ide-ide yang merusak.
Di Inggris, pelarangan buku sering menjadi alat melawan apa yang dianggap sebagai tindakan cabul.
Pelarangan buku biasanya menjadi cara untuk menahan perubahan sosial di tengah hukum yang tumpul: sebuah taktik yang selalu gagal, tetapi tetap dilakukan oleh otoritas.
Banyak penulis yang reputasinya dipoles menggunakan undang-undang kecabulan Inggris.
Novelis James Joyce mengatakan bahwa, saat menulis Ulysses, “meskipun polisi melarangnya, saya ingin memasukkan semuanya ke dalam novel saya”. Novel itu dilarang di Inggris dari tahun 1922 hingga 1936, meskipun aparat hukum yang bertanggung jawab atas pelarangan itu hanya membaca 42 halaman dari 732 halaman novel tersebut.
“Semua” yang dimaksud Joyce itu termasuk kata-kata seperti masturbasi, sumpah serapah, seks dan pergi ke toilet.
Penulis DH Lawrence menghadapi situasi yang lebih khusus: karyanya, yang kerap mengandung tindakan seksual yang oleh Lawrance dianggap sebagai penghormatan spiritual, telah menjadi subyek kampanye Direktur Penuntutan Umum Inggris selama bertahun-tahun dengan membakar buku karyanya, The Rainbow, menggeser jabatannya, memberangus puisi-puisi Pansies, dan menggagalkan pameran seninya.
Upaya itu berlanjut bahkan setelah DH Lawrance meninggal, ketika Penguin menerbitkan Lady Chatterley’s Lover pada 1960 yang berujung penuntutan.
Persidangannya menjadi sorotan: pihak penerbit merekrut lusinan penulis dan akademisi guna membuktikan kualitas dari novel itu (meskipun penulis buku anak-anak Enid Blyton menolaknya), dan hakim mencontohkan ketidakpercayaan negara terhadap pembaca ketika dia memperingatkan juri agar tidak mengacu pada para ahli sastra: “Seperti itu kah gadis-gadis yang bekerja di pabrik akan memahami novel ini?”
(Akhir dari kasus ini, di mana juri memutuskan dengan suara bulat mendukung Penguin, adalah sebuah ironi yang menyenangkan. Tiga tahun silam, dan enam dekade setelah mencoba melarang novel itu, pemerintah Inggris mencegah salinan Lady Chatterley’s Lover dijual di luar negeri, sehingga “pembeli dapat menyimpannya sebagai bagian penting dari sejarah bangsa Inggris”.)
Menjaga gagasan agar tetap hidup
Sementara itu, di AS, ini semacam atribut bagi kekuatan abadi buku-buku, sehingga praktik pelarangan buku tetap marak di tengah gelombang teknologi informasi baru dari televisi hingga media sosial, yang juga memicu kekhawatiran atas konten-konten yang “tidak pantas”.
Sekolah menjadi sarana percobaan untuk penyensoran, salah satunya karena mengarahkan pemikiran anak-anak yang masih labil tampaknya efisien untuk menjauhkan mereka dari apa yang dianggap berbahaya. Selain itu, tidak seperti toko buku, dewan sekolah bisa menerima masukan dari masyarakat.
Pada 1982, tahun diluncurkannya ‘Pekan Buku Terlarang’, kasus percobaan penyensoran sekolah (Distrik Island Trees School) telah mencapai Mahkamah Agung AS.
Di sini, dewan sekolah berargumen bahwa “adalah kewajiban moral kita untuk melindungi anak-anak di sekolah kita dari bahaya moral ini sama seperti dari bahaya fisik dan medis.”
Bahaya yang mereka maksudkan adalah buku-buku yang “anti-Amerika, anti-Kristen, anti-Semit, dan sangat kotor.” (Tuduhan antisemitisme diajukan terhadap novel karya novelis Yahudi Bernard Malamud, The Fixer.).
Namun, pengadilan menyimpulkan, sejalan dengan Amandemen Pertama, bahwa “dewan sekolah setempat tidak boleh menghapus buku dari perpustakaan sekolah hanya karena mereka tidak menyukai gagasan yang terkandung di dalam buku-buku itu.”
Tetapi itu tidak menghentikan upaya mereka untuk melarang buku-buku. Salah satu topik yang kerap dipertentangkan terhadap buku-buku di sekolah dan perpustakaan di AS adalah tentang seks.
“Amerika tampaknya sangat terlatih tentang seks,” seperti yang dikatakan James LaRue, pimpinan American Libraries Association’s Office for Intellectual Freedom, pada 2017.
Seks secara tradisional berarti ketidaksenonohan atau cabul, yang menyebabkan seorang hakim di AS, Potter Stewart, berusaha menjelaskan definisi “pornografi” dalam sebuah kasus di peradilan pada 1964: “Saya tahu ketika saya melihatnya.”
Namun “seks” yang dimaksud dalam pelarangan buku-buku itu lebih cenderung mengarah pada seksualitas dan identitas gender: tiga buku paling dipertentangkan pada 2021 di AS ditolak karena konten LGBTQI+.
Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang gagasan bahwa pelarangan buku dilakukan demi melindungi kaum muda ketimbang sebagai upaya pembersihan ideologis, dan menunjukkan kurangnya daya imajinasi dalam upaya penyensoran, yang berpendapat bahwa penggambarannya (misalnya, orang-orang transgender) bakal menggejala ketimbang sebaliknya.
Ini terkait dengan keyakinan bahwa kita dapat mengabaikan hal-hal yang tidak kita sukai selama kita tidak melihat isi bukunya: Sebuah daftar 10 daftar teratas ‘Buku-Buku Terlarang’ adalah novel klasik modern The Bluest Eye karya Toni Morrison, karena penggambarannya tentang pelecehan seksual terhadap anak.
Penyensoran buku di AS juga memiliki sejarah panjang.
Korban awalnya yang paling terkenal adalah novel anti-perbudakan karya Harriet Beecher Stowe pada 1852, berjudul Uncle Tom’s Cabin.
Pada 1857, seorang pria kulit hitam dari Ohio, Sam Green, “diadili, dihukum dan dijatuhi hukuman 10 tahun penjara di penjara” karena “memiliki buku Uncle Tom’s Cabin.”
Ini adalah sebuah putaran sejarah bahwa buku ini saat ini lebih sering dikritik oleh pandangan progresif dari spektrum politik, karena penggambaran stereotip tentang karakter-karakter orang kulit hitam.
Semakin menonjol sebuah buku, semakin besar kemungkinannya untuk menarik perhatian upaya sensor.
Novel The Catcher in the Rye karya JD Salinger telah menghadapi badai tantangan berulang kali – seorang guru dipecat karena membahas novel itu pada 1960, dan buku itu dihapus dari sekolah-sekolah di Wyoming, North Dakota dan California pada 1980-an.
Argumen pelarangan novel Salinger biasanya dikaitkan dengan kata-kata tidak senonoh dan bahasa vulgar, meskipun kalimat pembukaannya saat ini – dengan “semua omong kosong David Copperfield” – tampak ganjil.
Pelarangan buku adalah topik yang luas, menyatukan buku-buku yang biasanya bukan untuk sekedar pengantar tidur.
Itu mencakup segala tema, mulai fiksi populer (Peter Benchley, Sidney Sheldon, Jodi Picoult) hingga klasik mapan (Kurt Vonnegut, Harper Lee, Kate Chopin).
Praktik ini memiliki lebih banyak target ketimbang perlombaan memanah, dari pemujaan gaib (seri Harry Potter) hingga ateisme (The Curious Incident of the Dog in the Night-Time).
Ada harapan, tentu saja. Publisitas dari ‘Banned Books Week’ membuat buku-buku ini dan isu penyensoran tetap disadari publik.
Dan ada ‘Efek Streisand’ – mencoba melarang buku membuat orang lebih penasaran akan hal itu.
Di AS, beberapa toko buku Barnes and Noble memiliki sesi buku terlarang, dan situs webnya memiliki kategori terpisah untuk buku-buku tersebut.
Di Inggris, pameran buku langka di Galeri Saatchi bulan ini menampilkan dan menjual edisi langka buku terlarang, mulai dari ‘Catcher in the Rye’ bertanda tangan ultra-langka hingga ‘On the Revolution of the Heavenly Spheres’ karya Copernicus, yang membuat marah umat gereja pada 1543 dengan menyatakan bahwa Bumi tidak berada di pusat tata surya.
Tapi kewaspadaan abadi, tidak hanya oleh American Libraries Association tetapi oleh semua pembaca di mana saja, adalah harga untuk menjaga ide-ide kita tetap hidup.
Seperti yang diceritakan oleh kisah Kitab Sibylline, buku bisa terbakar, pengetahuannya bisa hilang, dan tidak ada yang abadi.
[ad_2]
Source link