Jakarta (DMS) – Pelaksanaan Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB) tahun ajaran 2025/2026 mulai berlangsung pekan ini. Namun, sejumlah pihak menilai sistem seleksi baru ini belum siap secara teknis dan berpotensi mengulang berbagai persoalan dalam dunia pendidikan.
SPMB diperkenalkan pemerintah sebagai pengganti sistem Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB), melalui Peraturan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Nomor 3 Tahun 2025. Sistem ini disebut-sebut lebih adil karena mengatur ulang kuota dan jalur penerimaan dengan melibatkan pemerintah daerah dalam menentukan wilayah zonasi dan daya tampung sekolah.
Meski demikian, pelaksanaan SPMB mendapat kritik dari berbagai lembaga, termasuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Ombudsman RI. KPK menemukan sejumlah celah dalam mekanisme seleksi, seperti kurangnya transparansi penetapan kuota dan syarat administrasi, yang dinilai membuka ruang praktik penyuapan, pemalsuan dokumen, serta gratifikasi.
Sementara itu, Ombudsman RI mencatat banyak aduan dari masyarakat, mulai dari minimnya sosialisasi sistem baru, kendala teknis dalam layanan informasi daring, hingga munculnya praktik percaloan dan pungutan liar di sejumlah daerah.
Pakar pendidikan menilai, salah satu akar persoalan terletak pada minimnya waktu persiapan sejak regulasi diterbitkan. Pemerintah hanya memiliki waktu sekitar tiga bulan untuk menyusun pedoman teknis serta mensosialisasikan sistem kepada seluruh pihak terkait di tingkat daerah.
“Dengan waktu yang sangat singkat, proses sosialisasi dan pelatihan teknis tidak maksimal. Akibatnya, pelaksanaan di lapangan menjadi tidak seragam,” kata salah satu pengamat pendidikan.
Selain itu, SPMB dinilai belum menyentuh akar permasalahan utama dalam pendidikan, yaitu keterbatasan daya tampung sekolah negeri dan ketimpangan kualitas antarsekolah. Kondisi ini membuat seleksi masuk sekolah menjadi sangat kompetitif, hingga memunculkan ‘pasar gelap’ dalam proses penerimaan.
Pemerhati pendidikan mendesak pemerintah untuk mengevaluasi kembali implementasi SPMB, termasuk perbaikan sistem informasi, penguatan pengawasan, dan pemerataan kualitas sekolah.
“Selama kursi di sekolah negeri terbatas dan kualitas pendidikan tidak merata, sistem seleksi apa pun akan sulit berjalan tanpa masalah,” ujarnya.
Dengan berbagai catatan tersebut, sektor pendidikan kembali diuji untuk membuktikan bahwa reformasi sistem penerimaan siswa bukan sekadar perubahan teknis, melainkan bagian dari perbaikan menyeluruh terhadap tata kelola pendidikan nasional.DMS/TC