[ad_1]
Warga Negara Bagian California tersentak oleh tiga penembakan massal pekan ini. Pada Senin (23/01), seorang pria bersenjata menembaki dua tempat pembibitan tanaman di Half Moon Bay, menewaskan tujuh orang dan melukai satu orang.
Beberapa jam kemudian, 65 km dari tempat tersebut, penembak lainnya beraksi di sebuah SPBU di Oakland, melukai tujuh orang dan menewaskan satu orang.
Lalu pada Sabtu lalu (21/01), 11 orang di sebuah studio dansa tewas pada malam Tahun Baru Imlek di Monterey Park, dekat Los Angeles.
Insiden-insiden ini terasa semakin sering di AS, karena memang begitu adanya.
Ada berbagai definisi penembakan massal, namun organisasi nirlaba Gun Violence Archive – yang menghitung penembakan dengan korban tewas atau terluka sebanyak empat orang atau lebih – telah memantau 40 insiden seperti itu di AS sejak awal tahun.
Ini adalah jumlah terbesar penembakan massal dalam catatan untuk bulan Januari, menurut organisasi yang secara publik memantau kematian dan luka akibat senjata api di AS itu.
Rekor sebelumnya adalah 34 insiden pada tahun lalu. Antara 2014 dan 2022, terjadi rata-rata 25 penembakan massal yang tercatat pada bulan Januari.
Lonjakan kekerasan ini telah menyalakan kembali perdebatan yang tidak habis-habis dan sangat politis di AS mengenai hak-hak serta legislasi kepemilikan senjata api.
Ini juga membuat beberapa orang bertanya? Apa yang mendorong kenaikan ini?
Semua jenis kekerasan senjata api meningkat
Data menunjukkan bahwa semua jenis kekerasan senjata api – dari pembunuhan, bunuh diri, hingga penembakan massal – sebagian besar trennya naik di AS.
Meskipun penembakan massal lebih sering mendapatkan perhatian, insiden-insiden itu mencakup sebagian kecil saja dari kematian terkait senjata api. Pada 2020, korban penembakan massal hanya menyumbang 1,1% dari jumlah keseluruhan.
Tapi tetap saja, insiden penembakan aktif melonjak tajam dalam beberapa tahun terakhir – sembilan dari 10 penembakan massal paling mematikan di AS terjadi setelah tahun 2007.
Para pakar berkata sulit untuk menentukan secara pasti akar penyebab lonjakan ini karena penembakan massal seringkali bersifat tidak bisa diprediksi. Namun ada sejumlah faktor yang dapat berkontribusi pada frekuensi yang semakin sering.
Kepemilikan senjata api meningkat
Satu penjelasan ialah warga Amerika memiliki lebih banyak senjata api daripada sebelumnya. Penjualan senjata di AS mencapai rekor 23 juta pada 2020 – meningkat 65% dari 2019 – dan angkanya tetap tinggi pada 2021.
FBI melakukan lebih banyak pengecekan latar belakang – diwajibkan oleh hukum ketika seseorang membeli senjata – dalam masa-masa penuh ketidakpastian, seperti ketika lockdown pertama pada Maret 2020, huru-hara menyusul pembunuhan George Floyd oleh polisi, dan kerusuhan di Gedung Kapitol AS pada Januari 2021.
Josh Horwitz, ko-direktur John Hopkins Center for Gun Violence Solutions, mengatakan meningkatnya penjualan senjata ada hubungannya dengan “anggapan bahwa senjata membuat kita aman, khususnya di masa-masa ketidakpastian”.
Horwitz menambahkan bahwa meningkatnya kekerasan, terutama di tempat-tempat publik seperti SPBU, studio dansa, dan kelab malam, memperparah siklus ketakutan yang mendorong beberapa orang untuk membeli senjata api.
“Orang-orang ketakutan, dan mereka ingin meredam rasa takut itu dengan membeli senjata,” ujarnya.
Kesulitan hidup, hukum, dan tren sosial juga bisa menjadi faktor
Beberapa pakar juga menerangkan ada peningkatan hal-hal yang membuat stres di kehidupan sehari-hari, baik secara umum dan akibat pandemi, terutama kesulitan terkait keuangan, pekerjaan, atau keluarga dan hubungan.
Persoalan-persoalan ini dapat mengakibatkan beberapa orang “bertindak atau merespons dengan kekerasan,” kata Jaclyn Schildkraut, direktur eksekutif interim di Regional Gun Violence Research Consortium di Rockefeller Institute of Government yang non-partisan.
Ini tercermin dalam analisis 173 serangan massal mematikan oleh Dinas Rahasia AS – sekitar tiga-perempatnya dilakukan dengan senjata api.
Laporan tersebut, diterbitkan pada hari Kamis (26/01), menemukan bahwa hampir 93% pelaku serangan pernah memiliki masalah pribadi sebelum serangan, entah itu perceraian, masalah kesehatan, atau masalah di sekolah atau tempat kerja, dan bahwa 10% pelaku di balik kejadian antara 2016 dan 2020 tewas karena bunuh diri.
Schildkraut juga berkata “maskulinitas toksik” dapat menjadi faktor: hampir semua penembak massal (sekitar 98%) adalah laki-laki.
“Kalau kita berusaha untuk memahami akar penyebab kekerasan senjata api, kita perlu mulai dengan memahami mengapa orang-orang sejak awal bisa mengangkat senjata untuk melukai orang lain, terlepas dari sasaran tindakan tersebut,” kata Schildkraut.
Undang-undang yang mengatur siapa yang bisa membeli senjata di AS juga dapat berperan, menurut beberapa pakar – meski perlu dicamkan bahwa California memiliki salah satu peraturan senjata yang paling ketat di Amerika.
Namun, Horwitz berkata hukum federal saat ini tidak mewajibkan cek latar belakang pada penjualan senjata api secara pribadi, termasuk pada pameran senjata atau online.
Aturan penyimpanan senjata yang aman juga lemah di beberapa negara bagian, ujarnya, meskipun bukti ilmiah dari penelitian menunjukkan bahwa menyimpan senjata dengan aman mengurangi angka keseluruhan kematian akibat senjata.
“Ketika Anda membandingkan apa yang terjadi di AS dengan negara-negara lain, satu hal yang biasanya kami punya dan mereka tidak ialah akses yang begitu mudah pada senjata api,” kata Horwitz.
[ad_2]
Source link