[ad_1]
- Penulis, Raja Eben Lumbanrau
- Peranan, BBC News Indonesia
Penyelundupan calon tenaga kerja Indonesia secara gelap ke Malaysia disebut telah menjadi “bisnis haram” miliaran rupiah yang berlangsung secara tersistematis, terstruktur, dan masif, mulai dari jalur ilegal hingga pintu resmi.
Semuanya terorganisir rapi di bawah kendali apa yang disebut ‘mafia perdagangan manusia yang bekerja sama dengan oknum-oknum petugas’, kata Chrisanctus Paschalis Saturnus dari Komisi Keadilan Perdamaian Pastoral Migran dan Perantau (KKPPMP).
Salah satu lubangnya adalah pintu resmi antarpelabuhan dari Batam dan Johor Bahru, berdasarkan penyelidikan independen yang dilakukan oleh tim Paschalis.
Menurut dia, calon tenaga kerja seolah-olah masuk Malaysia secara resmi sebagai turis, padahal, calon pekerja migran diselundupkan untuk kemudian bekerja secara ilegal.
“Setiap orang dikenakan biaya Rp10-20 juta,” kata Paschalis.
KKPPMP juga mengatakan menemukan adanya dugaan keterlibatan oknum petugas imigrasi dan polisi dan telah melaporkan temuan ini kepada Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham).
Dalam surat balasan Kemenkumham yang dilihat BBC News Indonesia, Kemenkumham menulis, laporan dari tim Paschalis ini akan ditindaklanjuti.
Namun ketika dihubungi oleh wartawan BBC News Indonesia Raja Eben Lumbanrau, otoritas-otoritas terkait – Inspektorat Jenderal Kemenkumham, Dirjen Imigrasi dan Kabag Humas Imigrasi – tak merespon permintaan wawancara kami.
Sementara, Kepolisian Riau mengatakan laporan seperti ini perlu diajukan ke Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) beserta bukti untuk ditindaklanjuti.
Awal Desember ini, Paschalis dan timnya melakukan penelusuran dengan cara mengikuti salah satu kapal penyeberangan dari Pelabuhan Batam Center, Indonesia, menuju Pelabuhan Tanjung Pengelih, Johor Bahru, Malaysia.
Mereka menemukan pola penyelundupan, mulai dari kode khusus di tiket kapal, ‘karpet merah’ di pintu imigrasi, pemaksaan dan situasi mencekam di dalam kapal feri, hingga penjemputan dengan bus dua tingkat di pelabuhan Malaysia.
Duta Besar Indonesia untuk Malaysia, Hermono, menyebut sekitar 70% tenaga kerja gelap dari Indonesia ke Malaysia masuk melalui pintu-pintu resmi.
Menurut aturan, warga negara Indonesia dapat masuk ke Malaysia dan negara-negara ASEAN lain tanpa visa sebagai pelancong dan dapat tinggal selama maksimal 30 hari.
Sementara sesuai Pasal 13 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia, setiap WNI yang bekerja di luar negeri harus dilengkapi dengan beragam dokumen, tidak hanya paspor.
Mereka harus memiliki visa kerja, perjanjian kerja, sertifikat kompetensi kerja hingga surat keterangan izin dari keluarga yang diketahui oleh kepala desa atau lurah, serta dokumen lainnya.
Nomor tiket, kode, dan dugaan keterlibatan oknum petugas
Di Batam, setidaknya ada dua pelabuhan resmi menuju Malaysia, yaitu Pelabuhan Batam Center dan Batam Harbour Bay.
Sementara di Malaysia, terdapat beberapa pelabuhan, di antaranya Pelabuhan Stulang Laut, Pasir Gudang dan Tanjung Pengelih.
Paschalis bercerita, pada pagi Selasa (06/12), dia bersama lima orang timnya menunju Pelabuhan Batam Center, terpadat di Provinsi Kepulauan Riau, untuk menuju ke Pelabuhan Tanjung Pengelih, Malaysia.
“Batam Center dipilih karena saya dapat laporan bahwa dalam satu bulan terakhir ini, banyak sekali terjadi pengiriman TKI nonprosedural dari sini ke Tanjung Pengelih. Sangat luar biasa mengerikan,” katanya.
Sesampai di Batam Center, Paschalis bercerita, mereka berpencar menjadi beberapa kelompok.
Setelah melewati proses imigrasi, masing-masing kelompok menaiki kapal feri yang dijadwalkan berangkat pukul 10:30 WIB.
Paschalis menyebut, berdasarkan manifest penumpang, total ada 168 orang di kapal tersebut, seluruhnya Warga Negara Indonesia.
Yang menarik dalam daftar penumpang itu, kata Paschalis, terdapat kode khusus di belakang setiap nomor tiket.
Kode OD (061222OD) berjumlah 50 orang, kode BCK (061222BCKA) 68 orang, Kode SY (061222SY) 12 orang, dan kode RS (061222RS) sebanyak 10 orang.
“Kode OD, BCK, SY, dan RS merupakan kode para sindikat pengiriman PMI ke Malaysia,” kata Paschalis yang meraih penghargaan Hassan Wirajuda Pelindungan WNI Award (HWPA) tahun 2021.
Kode itu, sebut dia, yang membedakan antara calon pekerja migran nonprosedural dengan penumpang umum.
Bagi turis umum, kodenya adalah 061222 yang berjumlah 17 orang, dan ‘comp’ sebanyak 11 orang.
Kode tersebut, ujar Paschalis, untuk menunjukkan seberapa banyak orang yang telah diselundupkan. Dia menuduh data itu lalu digunakan oleh oknum petugas imigrasi dan oknum polisi untuk mendapatkan ceruk “jatah keamanan” dari para mafia perdagangan manusia.
“Kode-kode itu untuk memudahkan oknum aparat mengetahui berapa yang dikirim oleh pemain ini setiap harinya. Jadi berdasarkan daftar manifest penumpang di konter tiket di situ mereka hitung-hitungan per kepala berapa, siapa pemainnya nanti yang bisa diminta uang,” katanya.
“Per kepala akan dikenai jatah Rp300-500.000 sebagai jatah dari para mafia atas bantuan kerja sama dan dekingan… tidak hanya kepada para pekerja migran yang berangkat ke Tanjung Pengelih tetapi juga ke Pelabuhan Pasir Gudang dan Situlang Laut,” kata Paschalis.
Dari lingkaran bisnis haram tersebut, Paschalis mengatakan, “setiap satu orang pekerja migran yang berangkat dikenakan biaya Rp10-20 juta, entah dengan sistem bayar langsung maupun dengan cara berhutang kepada para mafia.”
Paschalis menduga, bisnis penyelundupan ini bisa meraup keuntungan ratusan juta bahkan miliaran rupiah setiap harinya.
“Hal yang sangat biadab dan sangat memprihatinkan dari yang seharusnya sebagai pelindung, pengayom, dan membantu pemerintah mencegah terjadinya praktik pengiriman PMI secara nonprosedural dan bahaya perdagangan orang.”
Berdasarkan catatan KJRI Johor, setidaknya terdapat sekitar 500 WNI yang masuk menggunakan kapal resmi ke Malaysia dari setiap pelabuhan, seperti Stulang Laut, Pasir Gudang, Putih Harbour, dalam satu hari.
Ruang VIP: ‘Bayar 12 juta untuk lepas daftar hitam paspor’
Kapal tersebut memiliki tiga kelas, yaitu ruang satu (di bawah bagian depan), ruang dua (bawah bagian belakang), dan VIP (di atas).
Paschalis menyebut, ruang satu dan dua mayoritas ditempati oleh calon TKI nonprosedural, sementara di ruang VIP sebagian besar adalah turis, walau ada juga calon pekerja di sana.
Paschalis yang dalam penyelidikannya berada di ruang VIP duduk berdampingan dengan Bunga – bukan nama sebenarnya – seorang pekerja migran Indonesia nonprosedural.
Bunga bercerita kepada Paschalis telah beberapa kali ke Malaysia dan paspornya masuk daftar hitam (blacklist) sehingga tidak dapat lagi masuk ke negara itu.
Namun, paspornya bisa ‘diputihkan’ setelah dia membayar Rp12 juta melalui jasa seorang calo yang dipanggil “Kapten”.
Bunga menunjukkan bukti percakapan WhatsApp-nya kepada Paschalis, yang kemudian dibagikan kepada BBC Indonesia.
Menurut Bunga, setelah membayar, paspornya kembali aktif dan Bunga dapat melewati imigrasi di Indonesia untuk menggunakan kapal ke Pelabuhan Tanjung Pengelih.
“Keluar dari sini [Pelabuhan Pengelih]. Orang-orang di sana sudah tahu, dipanggilnya kita, dan ada bus [punya agen], lalu diantar ke KL,” ujarnya.
Mendekati berlabuh, kru kapal berbaju putih memanggil dan mencatat nama-nama penumpang lalu meminta paspor mereka.
Ruang dua: Semua tiket diurus oleh tekong
Anggota tim Paschal, Indah (untuk alasan keamanan, kami tidak menggunakan nama sebenarnya) diarahkan oleh petugas kapal untuk masuk ke ruang dua di bagian belakang.
Ruangan itu, kata Indah, memiliki delapan baris kursi dan mayoritas diduduki perempuan.
Kemudian, Indah mendengar seorang petugas datang dan berkata, “Siapa di sini yang tiket urus sendiri?”
Indah yang mengurus tiketnya sendiri terdiam karena, ketika dia melihat sekeliling, “tidak ada satu pun yang angkat tangan”.
Lalu, kata Indah, petugas itu melanjutkan perkataannya, “’Jadi, semua diurus sama tekong ya, sama pengurus.’ Lalu penumpang semuanya, saya lihat mengangguk-angguk, iya.”
Selanjutnya, masih cerita Indah, para kru kapal berkeliling. Mereka memaksa para penumpang untuk membeli kartu SIM Malaysia dan meminta paspor para penumpang untuk didata melalui telepon mereka.
“Mereka mendata satu-satu, tujuan ke mana. Pas saya ditanya, saya diam saja,” ujarnya.
Mereka juga menawarkan penukaran uang sebesar 10 ringit.
Indah menirukan perkataan petugas itu, “Ayo tukar uang karena harus ada uang tunjuk, minimal 10 ringgit. Tekong bantu 500 ringgit, ibu-ibu yang punya uang rupiah silakan ditukar”.
Indah menambahkan, mayoritas penumpang adalah warga Indonesia yang secara penampilan seperti para pekerja, bukan turis.
Seperti seorang ibu yang duduk di sebelahnya. Perempuan itu bercerita kepada Indah bahwa dia pernah kerja delapan tahun jadi tukang sapu-sapu di Malaysia.
“Mereka menggunakan logat Jawa. Di sebelah saya ada delapan orang rombongan dari Jember. Di belakang saya, bapak-bapak yang dideportasi dan di-blacklist. Saya yakin semua itu calon pekerja, hanya saya saja yang penumpang umum di ruang itu,” ujarnya.
Setelah melewati perjalanan yang memakan waktu sekitar 40 menit, Indah kemudian menyelinap ketika para petugas sibuk berbincang untuk kemudian turun dari kapal yang bersandar.
“Lalu di depan imigrasi Pelabuhan Tanjung Pengelih saat saya menunggu tim lain, seorang bertopi merah tanya, ‘Kakak sudah ceklist?’ Saya bilang buat apa, katanya buat dicek saya,” kata Indah.
Ruang satu: ‘Jangan keluar dari kapal’ dan dapat tiket hantu
Anggota tim Paschalis yang lain, Budi (juga bukan nama sebenarnya) berada di ruang satu. Di dalam ruang itu, Budi mengatakan situasinya mencekam.
Budi bercerita, kru kapal mendata masing-masing penumpang, dan mengambil lalu mengembalikan paspor mereka.
Seorang petugas kapal, ujarnya, kemudian berteriak, memerintahkan para penumpang untuk tidak beranjak dari kursinya ketika kapal telah bersandar di Malaysia, sampai ada aba-aba dari mereka.
Budi merekam video petugas itu, yang kemudian ditunjukkan kepada BBC Indonesia.
Petugas itu berkata, ”Jangan keluar dari kapal. Pokoknya kalau ada yang keluar biarin saja… sampai kami bilang keluar yang A, yang B baru keluar.”
Semua penumpang di dalam ruangan tersebut, ujar Budi, patuh dengan perintah petugas itu.
Masih di dalam kapal, Budi mengatakan, seluruh penumpang lalu dibagikan tiket kapal pulang, termasuk dirinya.
“Saya dibagikan tiket pulang. Jadi tiket itu seperti tiket hantu supaya dikira turis yang akan langsung pulang,” katanya.
Di ruangannya, kata Budi, mayoritas adalah warga Indonesia. Budi menyimpulkan itu karena kebanyakan bercerita menggunakan bahasa Indonesia, beberapa memakai bahasa daerah.
Lalu, kata Budi, mayoritas dari mereka membawa tas besar dan ransel layaknya orang pindah dan bekerja di Malaysia.
Di samping Budi, terdapat dua orang dari Jawa Timur. Mereka bercerita bahwa tujuan ke Malaysia adalah untuk bekerja. Budi menirukan perbincangan mereka saat itu.
“Nanti kerja apa di Malaysia? Kurang tahu juga. Sampai di sana sudah ada yang jemput? Kami diatur di sana. Ada biaya dikeluarkan? Tidak ada, semua ditanggung sama tekong.”
Sesaat setelah kapal bersandar di Pelabuhan Tanjung Pengelih, Budi memutuskan untuk keluar dari kapal.
Setelah turun dari kapal, Paschalis dan tim berkumpul di Pelabuhan Pengelih.
Situasi di pelabuhan, kata Paschalis, tidak ada kehidupan atau keluarga yang menjemput.
“Hanya ada pemain saja, agensi-agensi yang menjemput mereka. Jadi ketika kami sampai di sana kami lihat ada beberapa orang yang memegang manifest daftar penumpang,” ujarnya.
Sekitar satu jam menunggu, kata Paschalis, akhirnya para penumpang keluar satu per satu.
Seorang bertopi merah dan rekannya mendata para penumpang itu lalu mengarahkan ke kendaraan yang telah menunggu, yaitu sebuah bus tingkat dua, bus tingkat satu, dan satu minibus.
Paschalis mendatangi bus tersebut dan bertanya ke salah satu supir.
Supir itu, kata Paschalis, bercerita bahwa para penumpang yang diangkut merupakan calon pekerja yang akan dibawa ke Kuala Lumpur.
Dugaan peran oknum imigrasi dan polisi, ‘negara tidak pernah serius’
Paschalis yang meraih penghargaan sebagai pegiat antiperdagangan orang oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) itu mengatakan, praktik penyelundupan PMI nonprosedural tidak lepas dari dugaan keterlibatan oknum polisi, imigrasi, hingga manajemen dan petugas kapal.
“Setiap hari ada dua kapal ke Tanjung Pengelih, ada ratusan orang calon TKI. Ini baru satu pelabuhan, belum lagi pintu-pintu lain. Bayangkan berapa orang yang masuk ilegal ke Malaysia,” kata Paschalis.
Dia pun telah mengirimkan “surat keprihatinan” kepada Kementerian Hukum dan HAM dan Kapolri atas dugaan keterlibatan oknum imigrasi dan polisi dalam dugaan bisnis haram pengiriman PMI secara nonprosedural di Pelabuhan Batam Center.
Dalam surat tersebut Paschalis menulis secara rinci nama-nama oknum polisi yang terlibat, kapal feri yang digunakan, modus penyelundupan, hingga foto-foto di dalam kapal.
“Semua penumpang ke Tanjung Pengelih tidak pernah ditanya oleh oknum imigrasi, mereka meloloskan begitu saja. Padahal dilihat secara penampilan seharusnya dapat diketahui. Para pekerja migran itu hanya memiliki paspor pelancong, bukan untuk bekerja,” ujarnya.
Paschalis menyebut, negara tidak pernah serius memberikan perlindungan dan pencegahan kepada WNI yang hendak menjadi pekerja migran.
“Negara justru menjadi pelaku yang memeras uang rakyat dan keringan darah mereka untuk kepentingan mereka. Mengapa saya katakan negara? Karena di situ ada aparat-aparat, wakil negara. Aparat yang seharusnya berdiri paling depan untuk mencegah, tapi mereka yang justru menjadi pelaku,” kata Paschalis.
KKPPMP, organisasi Paschalis, tidak memiliki kontak mereka yang berangkat tanggal 6 Desember lalu dan tidak ada informasi mereka akan bekerja di mana.
KBRI Malaysia: 70% masuk dari jalur resmi
Duta Besar Republik Indonesia untuk Malaysia, Hermono, mengatakan terdapat dua tipologi pengiriman pekerja migran nonprosedural, yaitu melalui tempat pemeriksaan imigrasi (TPI) secara resmi, yaitu bandara dan pelabuhan. Kedua adalah melalui jalur ilegal dengan kapal-kapal kecil.
“Dugaan saya, dari hasil wawancara dan data yang dimiliki, 70% para pekerja migran unprosedural melalui jalur TPI. Mereka dibuatkan paspor, dan melewati jalur resmi. Yang 30% sisanya melalui kapal kecil [jalur ilegal],” kata Hermono kepada BBC News Indonesia.
Besarnya jumlah pengiriman nonprosedural melalui jalur resmi, kata Hermono, tidak lepas dari kerja sama antara mafia dan oknum-oknum aparat.
“Jadi sebetulnya, kalau kita bisa menyelesaikan yang 70% ini, artinya 70% TKI unprosedural yang trafficking dapat diselesaikan. Sisanya tinggal 30% dengan cara penguatan pengawasan perbatasan,” ujarnya.
“Dan ini sangat mudah, very easy menyelesaikan 70% kasus melalui jalur resmi. Masalahnya bukan bisa atau tidak bisa. Tapi apakah mau atau tidak mau,” ujarnya.
Apa kata polisi dan imigrasi?
Surat yang dikirimkan KKPPMP ke Kemenkumham disebut telah dijawab pada 12 Desember 2022.
Dalam surat resmi berkop kementerian yang telah dilihat oleh BBC Indonesia itu, laporan Paschalis dilanjutkan ke Inspektorat Jenderal Kemenkumham untuk dilakukan penelusuran.
BBC News Indonesia telah menghubungi Plt. Direktur Jenderal Imigrasi Kemenkumham Widodo Ekatjahjana dan Kabag Humas Ditjen Imigrasi Arya Pradhana Anggakara terkait dugaan keterlibatan oknum imigrasi tersebut, namun hingga berita ini diturunkan belum ada tanggapan dari mereka.
Lalu, terkait surat KKPPMP yang ditujukkan ke Kapolri atas dugaan keterlibatan oknum polisi, Kadiv Humas Polri Irjen Pol Dedi Prasetyo mengatakan akan menanyakan laporan tersebut ke Bareskrim.
BBC News Indonesia juga meminta tanggapan Polda Kepulauan Riau atas dugaan keterlibatan oknum polisi dalam pengiriman TKI nonprosedural.
Kabid Humas Polda Kepri Kombes Pol Harry Goldenhardt mengatakan, “Kalau memang ada dugaan seperti itu silakan dilaporkan ke Propam, nanti akan ditindaklanjuti oleh unsur pengawasan.”
“Tentunya laporan dengan membawa bukti-bukti yang akurat dan valid sehingga itu tidak merupakan sebuah dugaan yang mengarah kepada fitnah,” ujarnya.
Harry menegaskan, Polda Kepri menjadikan kejahatan pengiriman PMI nonprosedural sebagai salah satu prioritas utama.
“Dalam satu tahun terakhir ini, Polda Kepri sudah banyak sekali mengungkap kejahatan PMI ilegal. Bahkan di awal tahun, saya sempat menjemput beberapa jenazah PMI ilegal yang diberangkat secara unprosedural ke wilayah Johor.”
“Itu merupakan sebuah kasus atensi baik dari Polri maupun khususnya di wilayah Polda Kepri,” kata Harry.
[ad_2]
Source link