[ad_1]
President Ukraina Volodymyr Zelensky mengatakan Rusia memusatkan puluhan ribu tentara untuk serangan lebih lanjut ke Ukraina timur.
Zelensky mengatakan hal itu di depan anggota parlemen Korea Selatan pada Senin (11/04) dan menekankan “kami perlu bantuan lebih lanjut untuk bisa bertahan dari perang ini”.
Dalam perkembangan lain, Presiden Zelensky mengatakan puluhan ribu orang tewas di kota Mariupol, di Ukraina selatan sejak Rusia menyerbu.
Dalam pertemuan melalui saluran video, Zelensky mengatakan, “Mariupol hancur, ada puluhan ribu oran g meninggal namun demikian Rusia tidak berhenti menyerang.”
BBC tidak dapat memverifikasi klaim Zelensky namun yang kami ketahui sejauh ini warga yang mengungsi dari kota itu menggambarkan kondisi di sana sangat mengkhawatirkan dengan mayat-mayat dimakam di kuburan yang digali seadanya, terjadinya penjarahan petempur Chechnya dan warga yang kelaparan dibunuh saat keluar dari tempat perlindungan untuk mencari minum.
Sementara itu seputar ibu kota Kyiv, jaksa penuntut Ukraina mengatakan jenazah lebih dari 1.200 orang ditemukan.
Gempuran di Ukraina timur
Jumat (08/04) lalu, Rusia mengakui mengalami kehilangan “tentara yang cukup signifikan” di tengah invasi yang memasuki hari ke-44 dengan gempuran berlanjut di Ukraina timur.
Juru bicara presiden Dmitry Peskov mengatakan kepada saluran TV Inggris, Sky News, jumlah korban itu “merupakan tragedi besar bagi kami”.
Ia mengatakan Moskow akan mencapai tujuan perang “dalam beberapa hari mendatang”.
Di kota Kramatorsk di Ukraina timur, pemerintah Ukraina mengatakan lebih dari 50 orang meninggal puluhan luka-luka setelah roket menghantam stasiun kereta Jumat (08/04).
Ribuan orang berada di stasiun ketika gempuran terjadi dan mencoba menyelamatkan diri, menurut gubernur Donetsk.
Rusia menyanggah terlibat dengan mengatakan tidak memiliki rencana operasi militer di sana.
Rusia diyakini mempergencar serangan di kawasan Donbas setelah penarikan dari Ukraina timur.
Sejumlah kota di seputar ibu kota Kyiv telah diambil alih kembali oleh Ukraina. Presiden Volodymyr Zelensky mengatakan kerusakan yang ditemukan di salah satu kota yang dikuasai kembali, Borodyanka lebih parah dari yang terjadi di Bucha.
Komentar juru bicara presiden Rusia, Dmitry Peskov tengah jumlah tentara yang tewas itu muncul setelah Rusia diusir dari keanggotaan Dewan Hak Asasi Manusia PBB pada Rabu (06/04).
Sebanyak 93 dari 193 anggota Majelis Umum PBB memutuskan langkah itu, menyusul tuduhan pelanggaran massal hak asasi manusia oleh pasukan Rusia di kota yang sempat diduduki Bucha di Ukraina utara. Reaksi Moskow adalah mengumumkan pengunduran diri dari dewan itu.
Dewan HAM PBB menyatakan “keprihatinan mendalam atas krisis kemanusiaan dan HAM”.
Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky menuduh Rusia melakukan kekejaman di Borodyanka, kota kecil dekat ibu kota Kyiv.
Peskov menyanggah tuduhan bahwa pasukan Rusia bertanggung jawab atas eksekusi di Bucha dan mengatakan kepada Sky News bahwa “kita tinggal di era berita palsu dan kebohongan.” Tanpa alasan yang jelas ia mengklaim bahwa foto-foto warga sipil yang tewas itu dibuat oleh Ukraina.
Namun, pengakuannya bahwa Rusia mengalami korban yang signifikan sangat mengejutkan. Pada 25 Maret, Kementerian Pertahanan Rusia mengatakan 1.351 tentara tewas dalam perang. Ukraina menyebut jumlah tentara Rusia yang meninggal hampir 19.000.
Perkiraan Rusia dan Ukraina itu tidak dapat diverifikasi secara independen. Analis memperingatkan Rusia bisa saja menyebut jumlah korban kecil sementara Ukraina menyebut angka besar untuk mendorong semangat mereka. Para pemimpin Barat meyakini antara 7.000-15.000 tentara Rusia tewas.
Rusia telah menarik pasukan dari Kyiv dan memusatkan perang di Ukraina timur – namun belum ada tanda-tanda perang akan berakhir.
Wakil perdana menteri Ukraina mendesak warga yang tinggal di timur untuk melarikan diri karena intensitas pengeboman menghambat evakuasi.
Ratapan warga
Dua pekan setelah Rusia menyerbu Ukraina pada 24 Februari, pemakaman tentara yang meninggal mulai dilakukan.
Di Gereja Alexandra dan Antonina, sebuah peti mati diletakkan. Peti itu diselimuti kain bendera tiga warna Rusia. Di atasnya, terpasang topi seragam tentara dan sebuah foto.
Mikhail Orchikov adalah wakil komandan brigade senapan mesin. Dia tewas di medan perang di Ukraina. Sejumlah tentara Rusia dengan persenjataan lengkap hadir dalam prosesi pemakaman itu, menjadi garda kehormatan.
Seorang pendeta Ortodoks berjalan mengelilingi peti sambil merapal doa-doa. Tangannya mengayunkan bejana logam berlapis ornamen, dan asap dupa mengepul dari dalamnya.
Aroma dupa memenuhi seisi gereja, bercampur dengan alunan irama manis dari paduan suara gereja. Janda serdadu yang tewas itu, wajahnya tertutup selendang hitam, dikelilingi keluarga yang membisikkan kata-kata penghiburan.
Berapa banyak tentara Rusia yang tewas terbunuh di Ukraina? Melaporkan angka berbeda dengan jumlah yang secara resmi dikeluarkan pemerintah adalah tindak kriminal di Rusia.
Menurut informasi yang dikeluarkan oleh Kementerian Pertahanan Rusia, sebanyak 498 tentara kehilangan nyawa dalam apa yang disebut Kremlin sebagai “operasi militer khusus”. Itu adalah data terakhir, pada 2 Maret. Belum ada pembaruan data lagi selama dua pekan.
“Situasi di negara kita tidak sederhana,” ucap pendeta kepada kongregasi yang hadir. “Semua orang mengerti itu.”
Kremlin ingin publik meyakini bahwa para tentara Rusia yang diberangkatkan ke Ukraina adalah pahlawan, dan serangan Rusia di sana adalah bentuk pertahanan diri.
Dalam acara bincang-bincang mingguan populer di televisi baru-baru ini, penyiarnya mengatakan bahwa jika Rusia “tidak campur tangan sekarang, dalam tiga tahun Ukraina akan bergabung dengan NATO… dengan bom nuklir. [Ukraina] akan mengambil kembali Krimea, lalu mengincar wilayah selatan Rusia.” Sebuah realitas alternatif, di mana Ukraina adalah penyerangnya.
Di jalan-jalan Kota Kostroma, banyak yang tampaknya mempercayai pernyataan resmi dari Kremlin itu.
Sebagiannya adalah karena kekuatan televisi dalam membentuk opini publik. Juga, di masa krisis, banyak warga Rusia secara insting mengikuti apa kata pemimpinnya – seakan-akan mereka tidak mau percaya bahwa presiden mereka mungkin telah mengambil keputusan yang salah.
“NATO ingin membuat pangkalan di sebelah kita [di Ukraina] dan mereka punya senjata nuklir,” kata Nikolai kepada saya. “Bagus, Putin. Dia tidak membiarkan mereka melakukan itu.”
“Rusia harus melawan hingga akhir,” ujar Nina Ivanovna, seorang pensiunan.
“Seberapa banyak informasi dari TV Rusia tentang perang yang Anda percaya?” Saya bertanya padanya. “Saya sangat percaya. Mengapa saya harus tidak percaya? Justru saya tidak percaya pada internet.”
“Mengapa tidak?” saya bertanya lagi.
“Saya tidak tahu,” jawabnya.
Tidak semua orang mendukung serangan Rusia di Ukraina. Di sebuah desa yang bernama Nikolskoye, saya mengunjungi rumah seorang pendeta Ortodoks, Bapa Ioann Burdin. Baru-baru ini, dia berkhotbah dengan muatan anti-perang dan menyuarakan kritiknya melalui situs gereja.
Setelah melakukan itu, dia ditahan dan didenda, menurut aturan baru tentang mendiskreditkan Pasukan Bersenjata Rusia.
“Saya meyakini bahwa pembunuhan, apapun penyebabnya dan bagaimanapun Anda berusaha memberikan pembenaran, adalah dosa,” dia berkata kepada saya. “Darah ada di tangan orang yang membunuhnya. Jika sebuah perintah diberikan, maka darah ada di tangan siapa pun yang memberikan perintah itu, siapa pun yang mendukungnya, atau diam saja saat itu terjadi.”
“Hal terburuk dari semua ini adalah, kebencian telah muncul. Kebencian akan semakin dalam dan semakin dalam, karena kita bisa melihat situasi [dengan Ukraina] tidak akan berakhir. Tidak ada politik yang bisa menghentikan ini. Kebencian dari kedua pihak akan semakin kuat dan menjadi dinding di antara masyarakat Rusia dan Ukraina hingga berabad-abad mendatang.”
Di sebuah pemakaman di Kostroma, delapan tentara memanggul peti Mikhail ke makamnya. Band militer mengiringi dengan musik syahdu. Kemudian terdengar tembakan penghormatan sebelum Lagu Nasional Rusia dimainkan, dan peti diturunkan ke liang lahat.
Seseorang memberikan pidato singkat: “Kehilangan seorang anak laki-laki, saudara laki-laki, dan ayah adalah sebuah tragedi, namun kami bangga dia meninggal dunia membela masyarakat kita, anak-anak kita, negara kita.”
Di Kostroma, mereka menyebut Mikhail sebagai “pejuang Tanah Air.”
Namun, tentara Rusia lah yang melewati perbatasan dan masuk ke negara yang berdaulat, kemudian menyerang Ukraina di bawah perintah Presiden Putin.
Para pemimpin Kremlin mengatakan tujuan dari “operasi militer khusus” Putin ini adalah untuk melakukan “demiliterisasi dan denazifikasi” Ukraina, seakan-akan pemerintah Ukraina seluruhnya dijalankan oleh fasisme – sesuatu yang tidak benar.
Di hari-hari belakangan ini, para pejabat Rusia bahkan tidak lagi berusaha menutup-nutupi agenda mereka yang sesungguhnya. Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov mengatakan, apa yang terjadi di Ukraina “…adalah pertempuran hidup dan mati untuk hak Rusia masuk dalam peta politik dunia dengan penghormatan penuh kepada kepentingan-kepentingan sah mereka.”
Dengan kata lain, ini tentang geopolitik, dan tekad Moskow untuk memaksa Ukraina kembali tunduk pada pengaruh Rusia.
Ini adalah sesuatu yang akan dicegah mati-matian oleh pemerintahan di Ukraina.
[ad_2]
Source link