[ad_1]
Presiden Joko Widodo menyatakan bahwa tes wawasan kebangsaan tidak dapat serta-merta dijadikan dasar untuk memberhentikan 75 pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Dalam pernyataannya melalui YouTube, Presiden Jokowi mengatakan pengalihan status pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara (ASN) harus menjadi bagian dari pemberantasan korupsi yang sistematis.
Oleh karena itu, lanjutnya, tes wawasan kebangsaan terhadap pegawai KPK menjadi masukan untuk perbaikan langkah-langkah KPK, baik terhadap individu-individu maupun institusi KPK.
“Dan tidak serta-merta dijadikan dasar untuk memberhentikan 75 pegawai KPK yang dinyatakan tidak lolos tes,” tegasnya, pada Senin (17/05).
Kalau ada kekurangan, lanjut Presiden Jokowi, masih ada peluang memperbaiki melalui pendidikan kedinasan tentang wawasan kebangsaan.
“Dan perlu segera dilakukan langkah-langkah perbaikan pada level individual maupun organisasi,” kata Presiden Jokowi.
Pernyataan Presiden Jokowi yang disampaikan melalui YouTube ini mengemuka beberapa hari setelah KPK membebastugaskan 75 pegawainya karena tidak lolos Tes Wawasan Kebangsaan (TWK).
Keputusan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang membebastugaskan 75 pegawainya karena tidak lolos Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) menimbulkan pro-kontra atau “perang narasi” di kalangan warganet.
Analisis dari Indonesia Indicator menunjukkan, kelompok pro keputusan KPK tersebut beralasan pada ‘isu rotasi jabatan adalah hal yang biasa’.
Sedangkan kelompok kontra menekankan pada adanya upaya pelemahan lembaga anti-rasuah itu di balik tidak lolosnya para pegawai tersebut dalam rangka pengalihan status menjadi aparatur sipil negara (ASN).
“Dalam hal ini, terbagi dalam tiga kelompok percakapan, pro-pemerintah, oposisi, dan akun netral (netizen organik/biasa),” kata Direktur Komunikasi Indonesia Indicator, Rustika Herlambang, Rabu (12/05).
Menambahkan itu, Direktur dari sistem analisis Drone Emprit, Ismail Fahmi, mengatakan, dalam dua hari terakhir, cuitan di lini masa media sosial, seperti Twitter, masih bersifat organik baik yang pro dan kontra karena belum ada operasi atau kampanye yang dilakukan.
“Polanya saat ini lebih banyak orang yang memberikan komentar. Seperti saat Febri Diansyah mantan jubir KPK me-twit selalu ada komentar yang mengkonter. Jadi ada semacam perang narasi di media sosial,” kata Ismail.
Puisi, ajakan boikot hingga Taliban
Di Twitter contohnya, terdapat dua trending topik yang bergema melalui tanda pagar #BeraniJujurPecat dengan lebih dari tiga ribu twit dan #KPKrasaCukung dengan hampir enam ribu twit, Rabu sore (12/05).
Tagar tersebut berisi penolakan atas keputusan KPK yang melepastugaskan pegawainya yang tidak lolos TWK.
Sementara itu, terdapat juga #KPKHarusBersih yang berisi dukungan kepada keputusan KPK itu.
Situs analisis media sosial Spredfast mencatat, pembicaraan seputar “KPK” melonjam mulai 4 Mei lalu, atau pada hari putusan gugatan uji materi UU KPK di Mahkamah Konstitusi (MK).
Sejak itu hingga Rabu sore (12/05) terdapat lebih dari 40 ribu twit yang mengandung kata kunci “KPK”.
Beberapa twit yang kontra dengan keputusan KPK berasal dari masyarakat hingga tokoh publik, seperti mantan Sekretaris Kementerian BUMN Said Didu yang mencuit,” Jika penguasa sdh berkolaborasi dg perampok atau sdh ikut merampok, maka pekerjaan pertama yg dilakukan adalah memberhentikan orang yg antiperampok #BeraniJujurPecat”.
Ekonom Senior Faisal Basri bahkan mengajak warganet, terkait isu ini, untuk memboikot dan menarik uang dari bank-bank BUMN maupun non-BUMN yang ia tuding membiayai perusahaan para oligarki – terutama perusahaan tambang batu bara yang tidak ramah lingkungan.
Tidak berhenti di situ, guru besar ekonomi dari Universitas Indonesia yang juga pernah mengisi beberapa kursi menteri, Emil Salim juga membuat puisi kekecewaan atas pembebastugasan 75 pegawai KPK tersebut.
Ketua PP Muhammadiyah yang juga mantan pimpinan KPK, Busyro Muqoddas membantah adanya isu radikalisme yang ada di tubuh KPK, seperti yang ditulis akun @muhammadiyah.
“Berhembusnya isu radikalisme dan Taliban di tubuh KPK merupakan narasi yang dibuat-buat buzzer. Tudingan tanpa bukti yang kuat tersebut selain bertujuan melemahkan fungsi KPK sebagai lembaga independen, juga merupakan tindakan radikalisme politik.”
Sementara di sisi lain, warganet yang pro keputusan KPK, seperti akun @RafikaBayu menuliskan,”Luar biasa … ternyata cara efektif membersihkan KPK dr genk taliban adl tes TWK … Dinon aktifkan pimpinan KPK, Novel Baswedan dkk melawan.Satu kata utk mereka … GAK TAU MALU!”
Isu adanya dugaan kelompok Taliban di tubuh KPK juga pernah diungkapkan oleh pegiat media sosial Denny Siregar.
Hal senada juga diungkapkan @QaisRafif dan @yunita_bayu yang mendukung keputusan KPK.
Sementara itu menurut analisis Drone Emprit, kelompok masyarakat yang kontra keputusan KPK lebih besar dibandingkan yang mendukung.
“Narasi yang muncul saat itu ada pro dan kontra terhadap penonaktifan ini, namun yang paling banyak adalah narasi yang mendukung 75 pegawai KPK,” kata Ismail Fahmi.
‘Menghambat’ penanganan kasus besar
Indonesia Corruption Watch (ICW) mencurigai, langkah KPK yang disebut menonaktifkan pegawai tersebut bertujuan untuk menghambat penanganan perkara korupsi skala besar yang tengah diusut, mulai dari dugaan korupsi bansos, suap benih lobster, KTP elektronik, dan lainnya.
Namun, KPK membantah tudingan telah menonaktifkan pegawainya yang tidak lolos TWK.
Pelaksana Tugas Juru Bicara KPK Ali Fikri menjelaskan, pegawai tersebut diperintahkan untuk menyerahkan tugas dan tanggung jawab kepada atasannya langsung sambil menunggu keputusan lebih lanjut.
“Saat ini pegawai tersebut bukan nonaktif karena semua hak dan tanggung jawab kepegawaiaannya masih berlaku … Penyerahan tugas ini dilakukan semata-mata untuk memastikan efektivitas pelaksanaan tugas di KPK agar tidak terkendala dan menghindari adanya permasalahan hukum berkenaan dengan penanganan kasus yang tengah berjalan,” kata Ali dalam keterangan tertulis kepada sejumlah media.
Respon DPR yang melegalkan alih status pegawai KPK
Alih status pegawai KPK menjadi ASN merupakan amanah yang tercantum dalam revisi UU KPK yang disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Saat itu, Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah yang memimpin sidang paripurna Selasa (17/09/2019) bertanya, “apakah pembicaraan tingkat dua, pengambilan keputusan RUU tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dapat disetujui untuk disahkan menjadi UU?”
Anggota DPR menjawab dengan serempak “setuju” dengan sejumlah catatan dari Fraksi Partai Gerindra, PKS dan Demokrat.
Namun di saat aturan itu dilaksanakan yang kemudian menimbulkan ‘perang’ narasi di masyarakat dan warganet, DPR menunjukan sikap yang berbeda.
Wakil Ketua Komisi III DPR dari fraksi Partai Amanat Nasional Pangeran Khairul Saleh meminta KPK tidak memberhentikan 75 pegawai tersebut, dan menyarankan agar mereka diangkat menjadi pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PNS Kontrak).
Anggota DPR dari fraksi Partai Keadilan Sejahtera Mardani Ali Sera meminta KPK untuk mempertahankan pegawainya yang tidak lolos tes.
“Pegawai-pegawai ini mestinya bisa dipertahankan. Jika ybs tidak lolos tes tsb, perlu diiringi dengan memberikan kesempatan untuk memperkuat wawasan kebangsaan. Ada Lemhannas yang bisa membantu melakukan pembinaan. Kecuali mereka memutuskan sendiri untuk mundur,” kata Mardani dalam akun Twitternya.
Kemudian, anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Demokrat Santoso dalam keterangannya ke media mengatakan, tidak lolosnya 75 pegawai itu memunculkan kesan mereka mau disingkirkan dan juga menunjukan indikasi revisi UU KPK untuk melemahkan lembaga anti-rasuah itu.
Hingga berita ini dibuat, beberapa anggota fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) DPR dari Komisi III yang menjadi partai pendukung pemerintah belum merespon saat dihubungi BBC News Indonesia.
Pengalihan status pegawai KPK menjadi ASN tercantum dalam Pasal 1 ayat 6 UU Nomor 19 tahun 2019 tentang KPK yang berbunyi “Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi adalah aparatur sipil negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan aparatur sipil negara.”
Merespon itu, pada 24 Juli lalu, Presiden Joko Widodo menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 41 Tahun 2020 tentang Pengalihan Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi Pegawai Aparatur Sipil Negara (ASN).
Alih status itu kemudian diperkuat oleh Peraturan Komisi (Perkom) Nomor 1 Tahun 2021 tentang tata cara pengalihan status pegawai menjadi ASN.
[ad_2]
Source link