Ambon,Maluku (DMS) – Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 135/PUU-XXII/2024 tentang skema pemilu serentak nasional dan daerah bukan hanya memicu perdebatan hukum, tetapi juga menimbulkan guncangan serius terhadap tatanan konstitusi kita.
Dengan menetapkan pemungutan suara DPR, DPD, dan presiden-wakil presiden dilaksanakan terlebih dahulu, lalu disusul pemilihan DPRD dan kepala daerah dalam jangka 2 hingga 2,5 tahun kemudian, MK justru menyeret bangsa ini ke dalam turbulensi konstitusional yang berbahaya.
Putusan ini, jika dicermati secara kritis, berpotensi menabrak norma Pasal 22E UUD 1945 yang secara eksplisit menyatakan bahwa pemilu dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali. Hal ini berlaku untuk seluruh tingkatan, mulai dari DPR, DPD, DPRD, hingga pemilihan presiden dan wakil presiden.
Konsekuensinya, pengunduran jadwal pemilu daerah melebihi lima tahun bukan hanya melanggar asas periodisasi, melainkan juga mendelegitimasi lembaga-lembaga hasil pemilu, terutama DPRD.
Lebih jauh, penggabungan pilkada dengan pemilihan DPRD dalam satu paket juga berimplikasi pada tafsir sempit terhadap Pasal 18 ayat (4) UUD 1945. Padahal, konstitusi hanya menyebut bahwa kepala daerah dipilih secara demokratis yang tidak identik dengan pemilihan langsung.
MK justru menarik kesimpulan tunggal bahwa makna “demokratis” berarti harus selalu langsung oleh rakyat, padahal dalam praktik ketatanegaraan Indonesia, ada ruang untuk kekhususan seperti di Yogyakarta yang menetapkan kepala daerah berdasarkan kekhasan budaya dan hukum.
Jika skema ini diterapkan, dan pemilihan DPRD diundur hingga dua tahun lebih, maka akan muncul pertanyaan besar: siapa yang akan mengisi kekosongan jabatan legislatif daerah selama masa transisi?
Wacana tentang perpanjangan masa jabatan DPRD tanpa pemilu atau pengangkatan penjabat DPRD jelas melanggar prinsip kedaulatan rakyat.
DPRD bukanlah jabatan administratif yang dapat diisi oleh ASN atau ditunjuk pemerintah. Mereka adalah representasi politik rakyat yang hanya bisa sah melalui pemilu.
Aspek teknis ini, jika dibiarkan, bukan hanya menimbulkan ketidakpastian hukum, tetapi juga membuka ruang bagi krisis legitimasi politik dan pemerintahan. Pemerintahan daerah akan timpang, tanpa fungsi legislatif yang sah, padahal Pasal 18 ayat (3) UUD 1945 menyatakan dengan tegas bahwa pemerintah daerah terdiri dari kepala daerah dan DPRD.
Putusan MK ini juga menunjukkan inkonsistensi arah hukum. Dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia, kita sudah cukup banyak belajar dari praktik pemilu yang tidak taat asas, seperti jeda waktu antara Pemilu 1971 dan 1977, serta kondisi menjelang reformasi.
Seharusnya, reformasi telah membawa kita pada satu prinsip: pemilu harus periodik, dapat diprediksi, dan tidak boleh bersifat politis situasional.
Celakanya, dengan memasukkan detail jadwal pemilu ke dalam amar putusan, MK seperti melangkah keluar dari fungsinya sebagai negative legislator dan beralih menjadi positive legislator, yang justru menulis ulang hukum dalam aspek teknis yang seharusnya menjadi domain pembuat undang-undang, yakni DPR dan Presiden.
Ini menggerus posisi DPR dan Presiden sebagai perumus utama kebijakan pemilu, yang kini seolah hanya menjadi “lembaga stempel” keputusan MK.
Dalam konteks ini, MK tampak melewati batas. Tafsir konstitusi, apalagi melalui putusan pengujian undang-undang, seharusnya tidak mengubah struktur dan desain pemilu secara fundamental. Perubahan semacam itu hanya patut dilakukan lewat amendemen resmi, bukan melalui putusan pengadilan.
Konstitusi tidak dibuat untuk mengatur hal-hal teknis, tetapi menjamin hal-hal fundamental seperti perlindungan hak pilih rakyat, keadilan pemilu, dan kesinambungan demokrasi. Ketika MK mulai menjangkau wilayah-wilayah teknis dan memaksakan tafsir yang tidak dibenarkan secara filosofis maupun yuridis, maka kita tengah menghadapi risiko pembajakan konstitusi dalam balutan legalitas.
Oleh karena itu, perlu ada evaluasi menyeluruh terhadap Putusan MK 135/PUU-XXII/2024. Legislator, akademisi, dan masyarakat sipil harus bersuara. Konstitusi adalah kesepakatan dasar bangsa, bukan kertas kerja tafsir tunggal lembaga manapun.
Jika arah pemilu kita digeser lewat jalur yudisial tanpa partisipasi publik dan tanpa landasan norma yang kokoh, maka bukan hanya demokrasi yang terancam, tetapi juga keutuhan konstitusional negara.DMS











