Ambon (DMS) – Badan Saniri Negeri Hative Besar menanggapi aksi demonstrasi sekelompok warga yang mengatasnamakan masyarakat Negeri Hative Besar pada Kamis, 13 Juni 2025.
Aksi tersebut berlangsung di depan Kantor Negeri Hative Besar dan berkaitan dengan tuntutan agar marga de Fretes diakui sebagai bagian dari mata rumah parentah di negeri adat tersebut.
Ketua Saniri Negeri Hative Besar menyatakan, aksi tersebut dipicu oleh tidak ditanggapinya surat dari Demmyand P. de Fretes alias Dedy, yang sebelumnya dikirimkan ke Camat Teluk Ambon Baguala pada 10 Februari 2025 dan hanya diteruskan tembusannya ke Pemerintah Negeri Hative Besar.
“Permintaan agar marga de Fretes dimasukkan sebagai mata rumah parentah tidak dapat kami akomodasi karena tidak sesuai dengan sistem pranata adat di Negeri Hative Besar,” ujar Ketua Saniri dalam siaran pers resmi.
Pemerintah Negeri Hative Besar menyebut beberapa alasan penolakan terhadap tuntutan tersebut, antara lain:
Surat dari Demmyand ditujukan kepada Camat, bukan langsung ke Pemerintah Negeri, sehingga tindak lanjut menjadi wewenang camat.
Demmyand dinilai bukan bagian dari struktur adat Negeri Hative Besar, melainkan berasal dari Negeri Kilang sebagai bagian dari Soa Reamoa.
Marga de Fretes disebut sebagai nama pemberian Portugis yang pernah digunakan di Hative Besar pada abad ke-16, namun tidak memiliki keterkaitan dengan klaim Demmyand yang berasal dari Negeri Kilang.
Penetapan mata rumah parentah dilakukan terbuka, melalui seminar dan musyawarah yang melibatkan seluruh unsur masyarakat. Semua pihak menandatangani surat kesepakatan dan diberi ruang melakukan gugatan hukum jika keberatan.
Seluruh proses mengikuti Perda Kota Ambon Nomor 8, 9, dan 10 Tahun 2017 serta dilakukan sesuai wewenang Saniri Negeri.
Selain itu, pihak Saniri menilai demonstrasi yang berlangsung telah menyimpang dari substansi awal dan berubah menjadi aksi yang disertai fitnah, cacian, dan provokasi. Para pendemo juga menuntut transparansi pengelolaan Penghasilan Asli Desa (PAD), terutama dari sektor galian C dan perikanan jaring bobo.
Menanggapi isu tersebut, Saniri menegaskan bahwa, pengelolaan PAD dilakukan secara terbuka dan transparan melalui musyawarah bersama masyarakat.
Badan Saniri hanya menjalankan fungsi pengawasan, tidak terlibat dalam pengelolaan langsung.
Informasi bahwa PAD dari galian C sebesar Rp400 juta per tahun disebut sebagai pemberitaan yang tidak akurat.
Rata-rata setoran tahunan dari galian C sejak 2021 hingga 2024 tercatat bervariasi, antara Rp330 juta hingga Rp463 juta.
Terkait pinjaman dana Rp100 juta dari pengelola galian C oleh Pemerintah Negeri, Saniri menyatakan bahwa langkah itu dilakukan demi membayar insentif perangkat negeri menjelang akhir tahun, karena keterlambatan pencairan Dana Desa tahap ketiga tahun 2024.
Saniri juga menuding bahwa beberapa tokoh dalam aksi demo memiliki motif pribadi, antara lain sakit hati karena tidak diakui sebagai ahli waris atau tidak diangkat sebagai perangkat negeri.
“Kami menduga demonstrasi ini sarat kepentingan pribadi. Bahkan sebagian peserta aksi diduga berada dalam pengaruh minuman keras saat melakukan unjuk rasa,” tegas Ketua Saniri.
Untuk menjawab tuduhan penyelewengan, Saniri berkomitmen meminta Inspektorat melakukan audit menyeluruh terhadap keuangan negeri. Hasil audit nantinya akan diumumkan kepada masyarakat sebagai bentuk pertanggungjawaban.
“Kami tidak takut terhadap tuduhan. Jika ada pelanggaran, kami sendiri yang akan menindak,” tegas Ketua Saniri Negeri Hative Besar.
Saniri menutup pernyataan dengan meminta media massa untuk bersikap profesional dan menjaga independensi dalam pemberitaan agar tidak menimbulkan keresahan di masyarakat.DMS