Kulon Progo – Aura keragaman beragama dan kesatuan kemanusiaan bersinar terang ketika Shinta Nuriyah, istri dari Almarhum Presiden Republik Indonesia keempat, KH Abdurrahman Wahid, atau yang akrab disapa Gus Dur, menyambut berbuka puasa bersama umat lintas agama, difabel, dan kaum marjinal di Kompleks Gereja Santa Maria Bunda Penasihat Baik Wates, Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Dalam suasana yang penuh kehangatan, Shinta Nuriyah mengajukan pertanyaan mendalam mengenai makna sejati dari ibadah puasa.
“Puasa, apakah hanya sekadar menjalankan kewajiban tahunan atau merupakan sebuah perjalanan spiritual yang dipandu oleh Allah SWT? Apakah puasa Ramadhan hanya tentang menahan rasa haus dan lapar dari fajar hingga senja?” ujarnya dalam acara bertajuk “Buka Puasa Bersama Shinta Nuriyah Abdurahman Wahid”, di Kompleks Gereja Santa Maria Bunda Penasihat Baik Wates, Kamis (21/3) petang, yang berlangsung dari pukul 15.30 hingga 19.00 WIB.
Menurutnya, puasa yang sekadar melaksanakan kewajiban tanpa mendalaminya dengan makna spiritual dapat membawa pada perilaku keserakahan dan ketidakadilan.
“Kita tidak hanya diingatkan untuk menjalankan puasa secara mekanis, tetapi juga untuk menjalankan puasa dengan penuh revolusi, yang mampu mengubah karakter kita menjadi lebih baik,” paparnya dengan lugas.
Lebih lanjut, Shinta Nuriyah menyatakan kebahagiaannya dapat berbuka puasa di Gereja Santa Maria Bunda Penasihat Baik Wates. Baginya, acara ini menjadi gambaran nyata dari keberagaman dan keharmonisan Indonesia.
“Saya sungguh merasa teramat bahagia, karena di sini saya melihat keindahan miniatur Indonesia yang mempesona. Bersatu di tempat ini bukan hanya berbagai suku dan agama, tetapi juga semangat persatuan yang mengalir begitu kuat. Inilah cerminan sejati dari keberagaman masyarakat Indonesia, dan itu membuat saya sungguh gembira berada di sini,” ungkapnya penuh semangat.
Shinta juga menyerukan pentingnya menjaga perdamaian dan toleransi antar umat beragama bagi seluruh masyarakat Indonesia.
“Kita hidup dalam masyarakat yang beragam, dengan latar belakang suku dan kepercayaan yang berbeda-beda. Oleh karena itu, kita harus mampu hidup berdampingan dengan damai, saling menghormati, menghargai, dan menyayangi satu sama lain. Itulah pesan yang hendak saya sampaikan,” tandasnya dengan tegas.
Sementara itu, Pastor Gereja Paroki Santa Maria Bunda Penasihat Baik Wates, Romo Aloysius Budi Purnomo, menjelaskan bahwa acara ini merupakan hasil kolaborasi antara gereja dan program Safari Ramadan yang digagas oleh istri Almarhum Gus Dur.
“Meskipun awalnya bernama ‘Sahur Keliling’, namun karena pelaksanaannya di gereja, kami mengubah jadwalnya menjadi sore hari hingga saat berbuka puasa. Acara ini merupakan wujud dari upaya Ibu Shinta dalam membangun kerjasama lintas agama tanpa terkecuali, yang telah menjadi agenda tahunan dalam bulan Ramadan. Oleh karena itu, berbuka puasa bersama ini bukan hanya sekadar ritual, tetapi juga simbol dari semangat kerukunan, persaudaraan, dan kebangsaan yang universal,” paparnya dengan penuh semangat. DMS/AC