Namlea, Pulau Buru (DMS) – Gunung Botak, salah satu kawasan yang dahulu dikenal sebagai daerah konservasi alam di Pulau Buru, kini berubah menjadi ladang kematian bagi lingkungan hidup dan ancaman nyata bagi kesehatan warga sekitar.
Aktivitas penambangan emas ilegal yang berlangsung selama bertahun-tahun di kawasan ini kini terus marak, dan ironisnya, seperti dibiarkan begitu saja oleh aparat keamanan dan pemerintah daerah.
Sejak awal 2024, aktivitas penambangan emas di Gunung Botak menunjukkan peningkatan signifikan. Ratusan penambang liar, yang diduga berasal dari berbagai wilayah di Indonesia, memadati lokasi tambang yang kini terlihat seperti gurun buatan manusia dipenuhi lubang-lubang besar, tumpukan tanah, dan genangan air keruh beracun.
Meski sebelumnya sudah beberapa kali ditutup oleh pemerintah, termasuk operasi besar-besaran pada tahun 2019, fakta di lapangan menunjukkan bahwa larangan tersebut tidak pernah benar-benar efektif. Kegiatan tambang ini terus berjalan, bahkan dengan sistem yang semakin terorganisir.
Salah satu hal paling mengkhawatirkan dari penambangan ilegal ini adalah penggunaan bahan kimia berbahaya seperti merkuri dan sianida. Dua bahan ini digunakan untuk memisahkan emas dari batuan mineral, proses yang cepat tetapi sangat merusak lingkungan.
Dari hasil investigasi lapangan yang dilakukan, ditemukan bahwa air limbah dari pengolahan emas dialirkan langsung ke sungai-sungai tanpa pengolahan. Sungai Anahoni dan Sungai Waiapo, dua sumber air utama masyarakat, telah tercemar berat.
Akibatnya, warga yang menggantungkan hidup dari sungai terpaksa mengambil air dari sumber yang lebih jauh atau membeli air bersih dengan harga mahal. Beberapa kasus keracunan, penyakit kulit, dan gangguan pernapasan bermunculan di sekitar desa-desa yang terdampak.
Yang menjadi sorotan utama adalah kesan pembiaran dari pihak berwenang. Meskipun aktivitas tambang ini berlangsung secara terbuka dan diketahui publik, penegakan hukum terlihat sangat lemah. Beberapa sumber bahkan menyebut adanya dugaan keterlibatan oknum aparat keamanan yang “membekingi” kegiatan tersebut.
Pemerintah daerah pun dinilai tidak serius. Hingga berita ini diturunkan, tidak ada pernyataan resmi dari Bupati Buru maupun dari dinas lingkungan hidup terkait langkah konkret penghentian tambang ilegal ini.
Selain merusak lingkungan, kegiatan ini juga memicu konflik sosial antar kelompok penambang, serta antara penambang dan warga lokal. Persaingan antar kelompok penambang kerap berujung bentrokan, bahkan sempat menimbulkan korban jiwa. Di sisi lain, masyarakat adat yang selama ini menjaga kawasan Gunung Botak merasa hak tanah ulayat mereka dilanggar secara sepihak.
Berbagai elemen masyarakat sipil, termasuk mahasiswa, LSM, dan tokoh agama, mendesak pemerintah pusat turun tangan. Mereka menuntut evaluasi terhadap aparat keamanan di wilayah tersebut serta membentuk satuan tugas khusus yang independen untuk menghentikan praktik tambang ilegal di Gunung Botak.
Gunung Botak kini menjadi simbol kegagalan pengelolaan sumber daya alam dan lemahnya supremasi hukum di daerah. Di tengah kerusakan lingkungan yang semakin parah dan krisis kepercayaan publik terhadap pemerintah, masyarakat Pulau Buru menanti tindakan nyata.
Penutupan total tambang ilegal, pemulihan lingkungan, penegakan hukum yang tegas, serta keterlibatan masyarakat adat dan lokal dalam pengelolaan sumber daya merupakan langkah mendesak. Tanpa itu, Gunung Botak hanya akan menjadi kenangan pahit dari tanah emas yang berubah menjadi neraka ekologis.DMS