[ad_1]
Kasus dugaan korupsi pengadaan barang di Badan SAR Nasional yang menyeret prajurit aktif TNI Marsdya Henri Alfiandi sebaiknya diadili di peradilan koneksitas, kata Pakar hukum tata negara dari Universitas Andalas, Feri Amasari.
Ini karena perkara yang dikenakan padanya termasuk tindak pidana khusus yakni korupsi. Selain itu jabatan serta lembaga yang diemban oleh tersangka saat tertangkap tangan merupakan ranah sipil, bukan militer.
Akan tetapi Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen TNI), Laksamana Muda Julius Widjojono keberatan dengan ide itu, sebab klaimnya peradilan militer bisa berlaku adil dalam mengadili prajuritnya yang melanggar.
Hanya saja sikap keras TNI tersebut menurut koalisi masyarakat sipil akan menghidupkan anggapan bahwa “status anggota TNI sebagai warga negara kelas satu”.
Pakar hukum tata negara, Feri Amsari, menilai ada kesalahpahaman di antara pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Tentara Nasional Indonesia (TNI) soal ketentuan penanganan tindak pidana korupsi yang diatur dalam UU KPK –sehingga menimbulkan kegaduhan di muka publik.
Dia menjelaskan pasal 42 UU KPK menyatakan KPK berwenang mengkoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada peradilan militer dan peradilan umum.
Kalau mengacu pada pasal tersebut, kata Feri, maka seharusnya KPK yang mengendalikan proses hukum kasus dugaan korupsi yang menyeret prajurit aktif TNI Marsdya Henri Alfiandi.
“Jadi aneh kalau ada pimpinan KPK tidak paham, seolah-olah tidak baca pasal 42 itu,” ucap Feri kepada BBC News Indonesia, Minggu (30/07).
“Dan TNI harus pahami ketentuan khusus ini. Undang-Undang KPK diatur dan dibentuk untuk menangani perkara khusus di segala ini termasuk lini yang menyangkut tentara.”
Namun demikian, sambungnya, karena kasus dugaan korupsi di Basarnas ini menjerat prajurit aktif TNI yang sedang mengemban tugas di lembaga sipil, maka mustahil untuk diseret ke pengadilan umum mengingat TNI berpegang keras pada UU Peradilan Militer.
Untuk itulah dia mendorong agar perkara ini diadili di pengadilan koneksitas –yang diatur dalam KUHAP.
Pasal 89 KUHAP menyebutkan peradilan koneksitas untuk mengadili tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh pelaku yang termasuk lingkungan peradilan umum dan lingkungan peradilan militer.
Penyidik dalam peradilan koneksitas dilakukan oleh tim yang terdiri dari polisi militer. Begitu pula jaksa penuntutnya merupakan oditur militer.
Akan tetapi Feri menegaskan bahwa proses penyidikan hingga penuntutannya tetap berada di bawah koordinasi dan kendali KPK.
“Proses peradilan militernya juga harus dibuka untuk umum,” tegasnya.
“Pengadilan koneksitas ini titik temu antara ruang sipil dan ruang militer. Karena yang diambil oleh pelaku kan uang dari APBN, jadi bukan hanya kejahatan militer.”
TNI klaim peradilan militer bisa adil
Hanya saja, Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen TNI), Laksamana Muda Julius Widjojono mengatakan pihaknya keberatan dengan ide itu.
Dia berkata, “Panglima TNI sangat jelas memerintahkan soal penegakan hukum terhadap prajurit yang melanggar. Termasuk berkomitmen dalam memberantas korupsi”.
Untuk itu, katanya kepada BBC News Indonesia, “peradilan militer bisa berlaku adil dalam mengadili prajuritnya yang melanggar”.
Ia mencontohkan kasus korupsi pengadaan alat utama sistem persenjataan (alutsista) di Kementerian Pertahanan sebesar Rp162,5 miliar yang menyeret Brigadir Jenderal TNI Teddy Hernayadi pada 2016 silam.
Kasus tersebut ditangani di peradilan militer dan majelis hakim Pengadilan MIliter Tingkat II Jakarta menjatuhkan vonis penjara seumur hidup kepada terdakwa Brigjen Teddy.
Menurut Julius, peristiwa hukum itu menunjukkan peradilan militer bebas dari intervensi pimpinan TNI dan bukti TNI tidak menolerir pelanggaran yang dilakukan prajuritnya.
Dukungan agar membawa kasus dugaan korupsi Kepala Basarnas ini ke peradilan militer juga diungkapkan Menkopolukam Mahfud MD.
“KPK sudah mengaku khilaf secara prosedural, sedangkan di lain pihak TNI juga sudah menerima substansi masalahnya yakni sangkaan korupsi untuk ditindaklanjuti bedasar kompetensi peradilan militer,” ujar Mahfud MD dalam unggahan di akun Instagram resminya.
Dia juga menambahkan, substansi masalah dugaan korupsi ini telah disampaikan dan dikoordinasikan sebelumnya kepada TNI. Karenanya Mahfud meminta agar kehebohan soal prosedur penangkapan Kepala Basarnas Marsdya Henri Alfiandi tidak terdistraksi.
“Perdebatan tentang ini di ruang publik jangan sampai menyebabkan subsransi perkaranya kabur sehingga tak berujung ke pengadilan militer.”
“Meskipun terkadang ada kritik bahwa sulit membawa oknum militer ke pengadilan, tetapi biasanya jika suatu kasus sudah bisa masuk ke pengadilan militer, sanksinya sangat tegas dengan konstruksi hukum yang jelas,” beber Mahfud.
Terpisah, anggota Komisi I DPR, TB Hasanuddin menjelaskan anggota TNI yang melakukan tindak pidana umum tidak bisa diadili melalui peradilan sipil karena belum adanya perubahan atas Undang-Undang nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer.
Lalu, sambungnya, pasca diberlakukannya UU TNI tahun 2004, peradilan militer masih berwenang mengadili anggota TNI yang melakukan tindak pidana umum.
“Kondisi ini dikuatkan oleh pasal 74 UU TNI yaitu selama UU Peradilan Militer yang baru belum dibentuk, maka tetap tunduk pada UU nomor 31 tahun 1997,” ucap TB Hasanuddin kepada BBC News Indonesia.
Kendati demikian ia menegaskan proses hukum yang melibatkan anggota TNI aktif harus dilakukan secara transparan dan terbuka untuk publik.
Pengadilan militer sarang impunitas
Koalisi masyarakat sipil untuk reformasi sektor keamanan terang-terangan menolak jika peradilan militer mengadili tindak pidana korupsi di Basarnas.
Pasalnya kata perwakilan koalisi, Al Araf, UU Peradilan Militer sedari awal didesain untuk “menjadi sarang impunitas bagi prajurit TNI”.
Ia mengatakan, ketika UU itu dibentuk pada tahun 1997 –mantan presiden Soeharto melihat banyaknya jenderal di Myanmar berjatuhan dan diadili di peradilan umum.
Situasi itu, menurut Al Araf, dianggap Soeharto dan kroninya membahayakan sehingga dibentuklah UU Peradilan Militer demi melindungi para pejabat TNI.
“Makanya tidak heran kalau kasus-kasus pelanggaran HAM masuk ke peradilan militer jatuhnya dihentikan atau pelakunya bebas.”
“Tidak ada keadilan di situ, karena politik hukumnya begitu,” imbuh Al Araf dalam konferensi pers di Jakarta, Minggu (30/07).
Al Araf menilai KPK tidak melanggar peraturan apapun kalau mengadili kasus dugaan korupsi Basarnas ini ke Pengadilan Tipikor karena berpegang pada UU KPK.
Lagipula, sambungnya, ada asas hukum lex posterior derogat legi priori yang menyebutkan peraturan yang baru dapat mengesampingkan atau meniadakan peraturan yang lama.
“Jadi dasarnya kuat, pasal 42 UU KPK menyatakan KPK mengendalikan penyelidikan, penyidihan dan penuntutan.”
“KPK jangan ragu atau takut memproses kasus ini. Tidak ada yang salah. Jadi tidak perlu minta maaf, justru kasus-kasus di peradilan militer penuh dengan impunitas.”
Mencoreng kepercayaan publik pada TNI
Direktur Eksekutif Lingkar Madani Indonesia (Lima) Ray Rangkuti juga sependapat.
Dia malah menyebut kalau kasus dugaan korupsi yang membelit dua tentara aktif TNI tidak diadili di pengadilan tipikor bakal mencoreng tingkat kepercayaan publik terhadap TNI — yang saat ini berada di tiga besar menurut Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada Februari 2023.
Pasalnya publik bakal menaruh curiga kepada TNI mengapa berkeras mengadili anggotanya ke pengadilan militer.
“Kalau korupsi kenapa enggak sama perlakuannya? Tidak di pengadilan umum?”
Direktur Eksekutif Amnesty Internasional, Usman Hamid, juga berpandangan sikap TNI ini akan menghidupkan anggapan bahwa “status anggota TNI sebagai warga negara kelas satu”.
“Dan ini juga merupakan wujud inkonsistensi kebijakan. TNI aktif boleh duduk di jabatan sipil, tapi ketika korupsi tidak mau tunduk pada hukum sipil.”
Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM (PGHI), Julius Ibrani, bahkan mengatakan kalau TNI tetap memaksa agar mengadili Kepala Basarnas Marsdya Henri Alfiandi di pengadilan militer, maka presiden harus menarik semua pejabat militer yang duduk di lembaga sipil.
Sebab, prinsip negara hukum adalah semua warga negara diperlakukan sama di depan hukum alias tidak bole ada yang diistimewakan apalagi status sosialnya.
“Batalkan 31 MoU yang mendasari peran militer di ranah sipil kalau tidak bisa menjamin peradilan umum terhadap prajurit yang melakukan tindak kejahatan di luar perang,” ungkap Julius.
Apa tanggapan KPK?
Ketua KPK Firli Bahuri menegaskan penetapan Kepala Basarnas Marsdya Henri Alfiandi sebagai tersangka suap sudah sesuai prosedur.
Dia kemudian menjelaskan kronologi awalnya bermula ketika pihak KPK melakukan operasi tangkap tangan terkait tindak pidana korupsi di Basarnas pada Selasa, 25 Juli 2023.
“KPK mengamankan 11 orang beserta barang bukti transaksi dugaan suap berupa uang tunai sejumlah Rp999,7 juta,” kata Firli dalam keterangan persnya.
Setelah dilakukan operasi tangkap tangan, sambungnya, KPK langsung melakukan penyelidikan untuk menemukan peristiwa pidananya dan ditemukan alat bukti permulaan yang cukup.
Setelahnya KPK menaikkan status perkara ini ke tahap penyidikan dan menetapkan para pihak atas perbuatannya sebagai terasngka.
Firli berkata, karena mengetahui ada oknum TNI dalam operasi tangkap tangan itu KPK segera berkoordinasi dengan POM TNI untuk gelar perkara.
“KPK telah melibatkan POM TNI sejak awal, untuk mengikuti gelar perkara sampai dengan penetapan status perkara dan status hukum para pihak terkait.”
Sebagai pucuk pimpinan, ia pun siap bertanggung jawab dengan pernyataannya tersebut.
“Seluruh proses penyelidikan, penyidikan, penuntutan perkara dugaan tindak pidana korupsi yang telah dilakukan oleh segenap insan KPK, serta berbagai upaya pencegahan dan pendidikan antikorupsi, adalah tanggung jawab penuh Pimpinan KPK.”
Sebelumnya Wakil Ketua KPK Johanis Tanak meminta maaf kepada TNI karena anak buahnya disebut khilaf dalam penetapan Kepala Basarnas Marsdya Henri Alfiandi sebagai tersangka suap.
Ucapan itu disampaikan usai rombongan TNI yang dipimpin Komandan Pusat Polisi Militer TNI Marsekal Muda Agung Handoko mendatangi KPK pada Jumat (28/07) untuk mengklarifikasi soal ditetapkannya tersangka terhadap Marsda Henri Alfiandi dan Letkol Arif Budi Cahyanto yang dianggap melebihi kewenangannya dalam menjalankan tugas karena tidak berkoordinasi dengan TNI.
Agung mengatakan, baik Henri maupun Arif saat menjalankan tugasnya sebagai anggota Basarnas masih berstatus TNI aktif, sehingga penetapan tersangka bagi anggota TNI aktif tidak bisa sembarangan dilakukan selain oleh Pupom TNI.
“Menurut kami apa yang dilakukan oleh KPK untuk menahan personel militer menyalahi aturan,” kata Agung dalam konferensi pers di Mabes TNI, Cilangkap.
[ad_2]
Source link