Jakarta (DMS) – Fenomena baru bernama “Man Mums” tengah menjadi perbincangan hangat di China. Para pria bertubuh atletis yang dikenal sebagai Man Mums ini menawarkan layanan pelukan singkat berbayar kepada mereka yang merasa kesepian, stres, atau sekadar membutuhkan kenyamanan emosional.
Dengan tarif mulai dari 20 hingga 50 yuan (sekitar Rp45.000–Rp113.000), para Man Mums memberikan pelukan hangat berdurasi 3 hingga 5 menit. Layanan ini umumnya dilakukan di tempat-tempat umum seperti stasiun, taman kota, atau pusat perbelanjaan—tentu setelah adanya kesepakatan jadwal melalui platform digital.
Tren ini mendapat sambutan besar, terutama di kalangan wanita muda di kota-kota besar. Banyak yang menganggap layanan tersebut sebagai cara instan untuk meredakan tekanan psikologis dalam kehidupan urban yang padat dan individualistis.
Salah satu cerita viral datang dari seorang wanita yang membagikan pengalamannya di media sosial. Ia mengaku terakhir kali merasakan pelukan saat masih duduk di bangku SMP.
“Waktu itu guru perempuan saya memeluk saya, dan itu membuat saya merasa sangat aman. Kini, saya ingin merasakan itu lagi, meski hanya untuk lima menit,” tulisnya. Unggahannya itu menuai lebih dari 100.000 komentar, menunjukkan betapa fenomena ini menyentuh banyak hati.
Salah satu Man Mums bernama Zhou mengungkapkan bahwa sejak April, ia telah memberikan lebih dari 30 pelukan kepada para kliennya. Dari layanan tersebut, Zhou memperoleh penghasilan sekitar 1.758 yuan atau hampir Rp4 juta. Namun, ia menegaskan bahwa motivasinya bukan semata-mata uang.
“Saya hanya ingin membantu orang-orang merasa lebih baik di tengah tekanan hidup yang mereka hadapi,” ujarnya.
Sebelum pertemuan, klien dan penyedia jasa biasanya berdiskusi terlebih dahulu terkait waktu, lokasi, dan durasi pelukan. Para Man Mums bahkan menyiapkan diri sebaik mungkin—mulai dari mandi, memakai parfum, hingga merapikan penampilan—agar penerima pelukan merasa nyaman.
Namun, tren ini juga memicu kontroversi. Sebagian masyarakat mempertanyakan etika di balik komersialisasi pelukan yang dinilai sebagai bentuk afeksi pribadi. Sejumlah ahli hukum di China bahkan mewanti-wanti potensi penyalahgunaan layanan jika tidak diatur secara ketat oleh regulasi.
“Kalau seseorang butuh kedekatan emosional, lebih baik ikut komunitas sosial atau kegiatan relawan. Mengandalkan kontak fisik berbayar bisa jadi bumerang,” tulis salah satu warganet.
Fenomena “pelukan berbayar” ini mencerminkan kesepian mendalam yang melanda generasi muda di kota-kota besar. Di tengah hiruk pikuk modernitas, pelukan—yang dulunya simbol kasih sayang—kini menjadi layanan yang bisa dipesan dan dibayar. Sebuah ironi yang mengundang renungan. DMS/OC











