Jakarta – Menteri Komunikasi dan Informatika, Budi Arie Setiadi, telah merespons permintaan beberapa pihak untuk menutup platform TikTok Shop dengan tindakan yang bijak. Menurutnya, saat ini langkah yang diambil adalah melakukan penelitian mendalam guna menjawab pertanyaan apakah TikTok Shop benar-benar menerapkan praktik predatory pricing.
Dalam wawancara di Jakarta pada hari Kamis, Budi menyatakan bahwa penutupan suatu platform digital tidak bisa dilakukan secara sembrono, terutama jika platform tersebut sudah memenuhi semua persyaratan dan memiliki izin beroperasi sesuai ketentuan yang berlaku di Indonesia.
Oleh karena itu, langkah pertama yang diambil adalah melakukan penelitian dan evaluasi yang komprehensif untuk memastikan bahwa keputusan yang diambil dalam menanggapi tren social commerce, khususnya TikTok Shop, adalah tepat.
Budi menjelaskan bahwa TikTok Shop telah memenuhi persyaratan izin yang diperlukan untuk menjalankan operasinya di Indonesia. “Mereka (TikTok) telah mendapatkan izin e-commerce sejak Juli, jadi pada dasarnya mereka tidak melanggar hukum yang berlaku,” ucap Budi.
Meskipun begitu, Budi berkomitmen untuk melakukan penelitian lebih lanjut, terutama terkait isu predatory pricing. Keputusan selanjutnya akan diambil setelah berkoordinasi dengan berbagai kementerian dan lembaga terkait, termasuk Kementerian Perdagangan dan Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM).
Sebelumnya, pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) yang masih menjalankan bisnis penjualan langsung di toko-toko tradisional, seperti pedagang di Pasar Tanah Abang, mengungkapkan keprihatinan mereka terhadap penurunan penjualan akibat adanya tren social commerce seperti TikTok Shop. Harga produk yang ditawarkan melalui platform-platform digital dinilai terlalu rendah dan telah menciptakan kondisi predatory pricing, yang mengancam kelangsungan harga pasar.
Menteri Koperasi dan UKM, Teten Masduki, yang melakukan inspeksi mendadak di Pasar Tanah Abang pada Selasa (19/9), juga menyatakan bahwa para pedagang di pasar terbesar di Asia Tenggara tersebut mengalami penurunan omset karena kesulitan bersaing dengan produk asing yang dijual dengan harga murah melalui platform online.
Teten mengungkapkan, “Kami diskusikan apakah mereka sudah beralih dari penjualan fisik ke online. Ternyata mereka sudah melakukannya, tetapi mereka masih kesulitan bersaing. DMS