Jakarta – Menteri Dalam Negeri, Muhammad Tito Karnavian, mengemukakan kritiknya terhadap penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang cenderung lebih banyak digunakan untuk belanja pegawai dari pada untuk kepentingan rakyat.
Dalam Seminar Internasional Desentralisasi Fiskal yang diadakan di Kementerian Keuangan, Jakarta Pusat, pada Selasa (3/10), Tito mengungkapkan keprihatinannya terhadap belanja pemerintah di daerah, terutama di daerah yang memiliki Pendapatan Asli Daerah (PAD) rendah dan telah mengalami pemekaran wilayah. Ia berpendapat bahwa belanja daerah di daerah-daerah seperti ini sangat didominasi oleh anggaran yang diperuntukkan bagi pegawai, serta belanja barang dan jasa yang juga berkaitan dengan pegawai. Tito menanyakan, “Apa yang tersisa untuk rakyat?”
Tito juga memberikan apresiasi terhadap kebijakan Kementerian Keuangan yang mencoba mengalokasikan dana negara untuk pos-pos tertentu, suatu praktik yang dikenal sebagai “earmarking.” Dengan melakukan hal ini, APBD dapat lebih terkontrol dan lebih fokus pada pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat, seperti pendidikan dan kesehatan.
Ia menegaskan pentingnya agar pemda tidak mengabaikan aspek-aspek mendasar ini hanya demi memenuhi kebutuhan belanja pegawai mereka sendiri.
Selain itu, Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan, Luky Alfirman, juga menyoroti penurunan alokasi belanja untuk pegawai dalam APBD yang telah diatur dalam UU Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD). Menurutnya, dalam 5 tahun mendatang, alokasi anggaran untuk upah pegawai harus diturunkan maksimal hingga 30 persen dari total APBD, mengingat upah dan gaji pegawai saat ini hampir mencapai 50 persen dari dana yang tersedia. Masa transisi 5 tahun diberikan sebagai upaya untuk memberikan kesempatan kepada pemda untuk melakukan penyesuaian.
Luky juga berharap bahwa pemda akan mengalokasikan setidaknya 40 persen dari APBD untuk belanja infrastruktur selama 5 tahun ke depan, sehingga mendorong pemda untuk melakukan belanja yang lebih efektif. Tujuannya adalah memberikan insentif kepada pemda untuk meningkatkan kinerjanya, dengan harapan bahwa semakin baik kinerjanya, semakin banyak dana yang akan mereka terima.
Luky juga mengakui bahwa operasi tangkap tangan (OTT) dalam kasus korupsi pejabat daerah semakin sering dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Oleh karena itu, UU HKPD hadir untuk membantu mencegah tindakan korupsi dengan memperbaiki tata kelola keuangan di tingkat daerah. Ia juga mengungkapkan rencana untuk menyelenggarakan sertifikasi di tingkat daerah agar pegawai dan pejabat daerah memiliki kompetensi yang memadai dalam mengelola anggaran. DMS