[ad_1]
Sumber gambar, Catherine Falls Commercial/Getty Images
Maskapai penerbangan kini sibuk memikirkan kembali perjalanan jarak jauh seiring kembalinya minat terbang pascapandemi. Apa saja yang kemungkinan akan berubah?
Maskapai penerbangan Australia, Qantas, baru-baru ini mencatat sejarah dengan mengangkut penumpang nonstop dari Amerika Selatan menuju Australia.
Pesawat Boeing 787 Dreamliner berangkat dari Buenos Aires, Argentina pada siang hari dan menempuh 14.973 km. Lebih dari 17 jam kemudian, penerbangan bernomor QF 14 itu mendarat di Darwin, Australia.
Penerbangan itu mencatat dua rekor internal: jarak terjauh yang ditempuh dan penerbangan komersial dengan waktu terlama di udara.
Kapten Alex Passerini, yang memimpin penerbangan QF 14, mengatakan: “Qantas selalu siap menghadapi tantangan, terutama dalam hal perjalanan jarak jauh, dan penerbangan ini adalah contoh luar biasa dari kemampuan dan perhatian atas setiap detil oleh tim perencanaan penerbangan kami.”
Penerbangan jarak jauh seperti bukanlah hal baru. Pada 1930-an, pesawat maskapai Pan Am sering melintasi Samudra Pasifik.
Penerbangan dengan pesawat Honolulu Clipper biasa memakan waktu hingga 20 jam ketika bolak-balik antara pulau Hawaii dan daratan Amerika Serikat.
Qantas mengikut langkah itu satu dekade kemudian. Pada tahun 1943, maskapai tersebut meluncurkan layanan antara Ceylon (kini Sri Lanka) dan Australia, perjalanan yang memakan waktu hingga 33 jam.
Tren yang terus berlanjut
Di abad ke-21, tren perjalanan jarak jauh terus berlanjut.
Pada tahun 2004, Singapore Airlines menarik perhatian publik ketika meluncurkan layanan antara New York dan Singapura, dengan jarak tempuh 15.289 km yang dapat – tergantung pada angin – memakan waktu hingga 19 jam.
Sementara, perjalanan Qatar Airways dari Doha ke Auckland, Selandia Baru menempuh 14.484 km.
Penumpang pesawat Boeing 777 ini melintasi 10 zona waktu dan hampir sepanjang Samudra Hindia, benua Australia, hingga Laut Tasman sebelum tiba di kota tujuan. Waktu perjalanan yang ditempuh? 18 jam.
Prestasi penerbangan serupa diharapkan tercapai akhir tahun ini oleh United dan American Airlines ketika meluncurkan layanan antara Amerika Serikat dan India.
Pengalaman terbang jarak jauh memang merupakan pengalaman yang menyenangkan, meski tidak semua aspek perjalanan udara demikian.
Di satu sisi, tidak ada yang menarik dari pengalaman terkurung di dalam satu tempat untuk jangka waktu yang berkepanjangan. Melakukan hal itu untuk mungkin akan membuat Anda menjadi mudah kesal.
Saat penumpang kesal, pengalaman terbang menjadi kurang menyenangkan; dan jika ada sesuatu yang tidak menyenangkan, mengapa melakukannya?
Para pelancong awal mungkin lebih beruntung. Tarif tinggi membatasi siapa yang bisa terbang, sehingga akibatnya hanya beberapa orang saja bisa menikmati layanan mewah itu selama berjam-jam.
Sumber gambar, Chalabala/Getty Images
Maskapai penerbangan berebut untuk menarik penumpang kembali melakukan perjalanan udara setelah pandemi Covid.
Kini, para pelancong ingin terbang lebih jauh, lebih cepat, dan lebih mewah, namun membayar lebih sedikit.
Memenuhi tuntutan ini membutuhkan pemikiran inovatif dan maskapai penerbangan semakin berinvestasi untuk mengembangkan pengalaman yang akan membuat penumpang jarak jauh senang. Berikut adalah tiga di antaranya.
Teknologi mesin
Pesawat tentu membutuhkan bahan bakar – dan dalam jumlah yang banyak.
Pesawat Boeing 747 – ikon perjalanan jarak jauh – menghabiskan bahan bakar jet dengan kecepatan yang mencengangkan, yaitu satu galon per detik, atau setara 4,54 liter per detik.
Akibatnya, untuk menerbangkan jet seperti ini selama berjam-jam, dibutuhkan tangki bensin yang besar.
Pesawat seperti Boeing 747 mengangkut lebih dari 57.000 galon (259.127 liter) bahan bakar (pemegang rekor adalah pesawat Antonov An-225 yang dapat membawa hampir 100.000 galon, atau 454.000 liter).
Sebagai perbandingan, mobil sedan empat pintu rata-rata menampung lebih dari 15 galon (62,2 liter).
Tangki yang lebih besar dapat membantu melangkah lebih jauh tetapi tentu tagihan biaya bensin akan lebih besar.
Pada harga bensin saat ini, mobil sedan rata-rata akan memakan biaya US$50 (sekitar Rp736.000); sementara pesawat Boeing 747, lebih dari $140.000 (sekitar Rp2 miliar).
Pengeluaran besar seperti itu menjadi pertanda buruk bagi penumpang, dengan sebagian besar tarif digunakan untuk membayar biaya bahan bakar maskapai.
Yang memperburuk keadaan adalah volatilitas di pasar energi yang dapat menyebabkan perubahan besar-besaran dalam harga bahan bakar.
Misalnya, satu sen perubahan harga bahan bakar dapat menghasilkan $40m (sekitar Rp589 miliar) dalam keuntungan (atau kerugian) untuk maskapai.
Tapi bantuan mulai datang dalam hal ini. Pabrikan mesin sedang mempelajari – dan tampak berhasil – dalam membuat produk mereka lebih efisien.
Mesin yang lebih efisien berarti pembakaran bahan bakar yang lebih sedikit, dan pembakaran bahan bakar yang lebih sedikit akan menurunkan biaya penerbangan dan (idealnya), tarif.
Agnes Jocher, seorang profesor mobilitas masa depan yang berkelanjutan di Technical University of Munich, mengatakan perbaikan dalam apa yang disebut ‘bypass ratios‘ adalah kunci untuk menurunkan penggunaan bahan bakar.
Rasio ini menunjukkan berapa banyak udara yang mengalir di sekitar mesin dibanding yang melalui mesin itu sendiri.
Jocher mengatakan, “secara umum, semakin tinggi rasionya, semakin efisien mesinnya. Semakin efisien mesin, semakin rendah konsumsi bahan bakarnya.”
Pesawat zaman sekarang menggunakan bahan bakar rata-rata 60% lebih sedikit daripada generasi pertama pesawat komersial, sebagian besar berkat peningkatan rasio bypass.
Jocher memperkirakan tren ini akan terus berlanjut karena maskapai penerbangan yang ingin melakukan perjalanan jarak jauh tanpa henti akan mencari cara untuk memangkas biaya.
Dalam hal penghematan bahan bakar, menurutnya, “rasio bypass yang lebih tinggi adalah kuncinya”.
Mengurangi berat pesawat
Mesin yang efisien dapat membantu mengurangi penggunaan bahan bakar. Tapi begitu juga dengan mengurangi berat.
Alasannya sederhana: fisika. Dibutuhkan lebih banyak energi untuk memindahkan lebih banyak massa.
Pesawat yang lebih berat akan membutuhkan lebih banyak bahan bakar jet daripada yang lebih ringan.
Pesawat yang lebih ringan juga dapat terbang lebih cepat, dan dengan demikian mengurangi waktu berharga dari masa penerbangan.
Itu pertanda baik bagi maskapai (yang ingin memaksimalkan produktivitas pesawat) dan penumpang (yang bersemangat untuk tiba di tujuan lebih cepat).
Sumber gambar, NurPhoto /Getty Images
Pelancong zaman sekarang ingin terbang lebih jauh, lebih cepat, dan mewah, sambil menghemat lebih banyak uang.
Salah satu cara untuk mengekang berat pesawat adalah kabel.
Perangkat ini bertindak sebagai jaringan ikat untuk pesawat jet, membentuk jaringan penting antara kokpit dan sistem pesawat seperti roda pendarat, sensor pintu, dan sistem pendukung kehidupan.
Masalahnya? Kabel-kabel ini berat.
Dengan satu perkiraan, kabel, sakelar, dan soket dapat menambah lebih dari 7,2 ton pada pesawat penumpang berukuran lebar. Dan lebih berat berarti lebih banyak bahan bakar yang terpakai.
Solusinya? Sistem “fly-by-wireless”, teknologi elektronik ringan yang menghubungkan kokpit dan sistem kontrol pesawat penting melalui gelombang udara.
Sementara, Qantas baru-baru ini mengambil pendekatan yang lebih kreatif untuk mengurangi berat.
Maskapai ini menugaskan desainer industri David Caon untuk menciptakan lini baru peralatan makan dalam penerbangan.
Persyaratan utamanya? Piring dan peralatan makan harus lebih ringan dari pendahulunya. Tantangan ini memang tidak mudah.
Caon mengatakan dia dan timnya “tidak dapat mengurangi ketebalan peralatan makan karena ini akan memengaruhi daya tahannya”.
Sebagai gantinya, timnya mendesain ulang setiap alat-alat itu untuk “mengurangi ukuran dan meminimalkan tiap sudut dan menggunakan lebih sedikit bahan secara keseluruhan”.
Caon menggambarkan upaya tersebut sebagai tindakan penyeimbangan yang rumit untuk mempertahankan “fungsi, daya tahan, dan bobot”.
Upaya ini membuahkan hasil. Peralatan makan – yang memulai debutnya di rute penerbangan Qantas selama 17 jam dari Perth ke London – 11% lebih ringan dari pendahulunya, menghasilkan “manfaat penghematan bahan bakar yang luar biasa”.
Peralatan makan baru yang begitu populer sehingga kemudian digunakan Qantas di seluruh jaringannya.
Pesawat terbang – terlepas dari inovasi terbaik – adalah ruang yang sempit dan berisik.
Dan terlepas dari keajaiban pengalaman penerbangan itu sendiri, jika Anda pernah terbang selama berjam-jam, Anda tahu betapa membosankannya perjalanan dengan pesawat.
Maskapai telah merespons dengan meningkatkan fasilitas di dalam pesawat (termasuk dengan tempat mandi), hiburan (bayangkan memiliki 4.500 saluran TV dan audio untuk dipilih), dan yang paling penting, makanan yang lebih nikmat.
Misalnya, beberapa penumpang dalam penerbangan selama 17 jam antara Los Angeles dan Singapura disuguhi makanan luar biasa, yang akan menyaingi pengalaman di restoran berbintang Michelin terbaik.
Ini jauh dari makanan yang tidak dapat dikenali dan dipanaskan kembali yang ditemukan di penerbangan-penerbangan masa lalu.
Sumber gambar, Krblokhin /Getty Images
Hanya karena makanan terlihat enak tidak berarti itu akan menjadi sensasi rasa – tekanan dan kelembapan kabin maskapai dapat memengaruhi rasa.
Tapi hanya karena makanan tampak enak bukan berarti rasanya juga demikian. Ini juga menjadi perhatian.
Saat terbang tinggi di atas awan, indera perasa berbeda dari biasanya.
Penyebab yang sering disebut-sebut adalah penurunan tekanan (ada lebih sedikit udara di ketinggian) dan penurunan kelembaban (udara kabin umumnya lebih kering daripada Gurun Sahara).
Dengan satu perkiraan menyebutkan kombinasi tekanan rendah dan kekeringan menumpulkan indera perasa hingga 30%.
Namun, tidak banyak yang membicarakan alasan berkurangnya sensitivitas indera perasa.
Sebuah studi baru-baru ini menemukan suara keras dapat menyebabkan rasa gurih meningkat, dan rasa manis menjadi berkurang.
Penulis penelitian mengaitkannya dengan penekanan rasa intens yang disebabkan oleh kebisingan yang pada akhirnya “mengubah persepsi makanan yang kita makan”.
Perbaikan yang mereka usulkan? Memikirkan kembali menu untuk menyesuaikan preferensi rasa di ketinggian sehingga penumpang dapat – meskipun mesin jet terus mendengung – mencicipi makanan mereka dengan lebih baik.
Mengingat dana yang dikucurkan maskapai penerbangan dalam perjalanan jarak jauh, menghabiskan sedikit lebih banyak untuk “meneliti menu” mungkin merupakan tawaran yang murah.
Pandemi Covid-19 memang telah mengurangi perjalanan udara.
Perbatasan tertutup dan persyaratan pengujian yang selalu berubah-ubah menjadi kurang menarik bagi pelancong.
Tetapi seiring dengan berbagai pelonggaran pembatasan dan jumlah perjalanan yang kian meningkat, diperkirakan minat baru pada penerbangan jarak jauh juga akan mengikuti tren ini.
Qantas – yang ingin memuaskan keinginan penumpang untuk tiba di tujuan dengan lebih cepat – telah memperbarui komitmennya untuk “Proyek Matahari Terbit”, upaya ambisius terbang nonstop dari pusatnya di Sydney ke pasar-pasar berharga seperti London, New York, dan Paris.
Dengan pesaing yang pasti akan mengikuti tren, inovasi akan membedakan maskapai mana yang sukses dan mana yang tidak.
Ashley Nunes adalah peneliti di Harvard Law School.
[ad_2]
Source link