Jakarta – Direktur Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS) Yusuf Wibisono buka suara mengenai ancaman pembengkakan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 yang diprediksi bisa tembus 3 persen. Dia menjelaskan, defisit anggaran APBN 2025 yang diperkirakan akan mencapai Rp 600 triliun atau hampir 2,8 persen dari PDB itu sangat mengkhawatirkan.
Menurut dia, program-program pemerintahan mendatang menjadikan defisit anggaran makin berpeluang besar untuk melampaui 3 persen dari produk domestik bruto (PDB).
“Dengan banyaknya program prioritas pemerintahan Prabowo, termasuk rencana penambahan kementerian dan masih terbukanya peluang mengubah APBN 2025 melalui mekanisme APBN-P, maka peluang defisit anggaran menembus 3 persen dari PDB itu besar,” katanya melalui aplikasi perpesanan yang dikutip Tempo pada Selasa, 18 Juni 2024.
Yusuf menjelaskan, defisit anggaran selalu muncul sebagai kombinasi dari dua faktor. Pertama, rendahnya penerimaan negara, terutama dari pendapatan perpajakan. Kedua, ketidakmampuan pemerintah dalam menekan belanja negara.
Pada 2023, tax ratio atau rasio pajak hanya diproyeksikan berada di kisaran 10,2 persen dari PDB. Artinya, nyaris tidak ada peningkatan dari rasio pajak 2023 yang juga tercatat 10,2 persen dari PDB. “Angka ini bahkan lebih rendah dari tax ratio 2022 yang sempat mencapai 10,4 persen, karena terbantu boom komoditas global. Tax ratio 2025 ditargetkan hanya di kisaran 10,3 persen dari PDB, tidak banyak berbeda dari tahun sebelumnya,” tutur Yusuf.
Di sisi lain, beban belanja negara terikat tidak pernah mampu diturunkan. Yusuf mencontohkan seperti belanja pegawai, belanja barang serta transfer ke daerah, Belanja-belanja jenis ini selalu mengambil porsi dominan dibandingkan belanja modal dan belanja sosial.
Selain faktor rendahnya rasio pajak dan besarnya beban belanja negara, dalam dekade terakhir, Yusuf melihat determinan yang semakin dominan pada defisit anggaran yang terus meningkat. Stok utang pemerintah serta beban bunganya terus bertambah. “Tumpukan utang yang kini menggunung telah menyebabkan beban utang yang sangat besar, yaitu bunga utang.”
Menurut dia, pembuatan utang baru dan kenaikan stok utang pemerintah kini tidak lagi sekadar fungsi dari defisit anggaran, namun juga fungsi dari stok utang pemerintah itu sendiri. Hal ini terlihat dari besaran utang baru yang berkorelasi sangat kuat dengan jumlah cicilan pokok utang dan bunga utang.
Yusuf merinci besaran pembuatan utang baru oleh pemerintah yang terus meningkat drastis dari waktu ke waktu, terutama melalui penerbitan Surat Berharga Negara (SBN). Pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, penerbitan SBN dari Rp 32,3 triliun pada 2004 melonjak hingga mencapai Rp 439 triliun pada 2014. Kemudian di era Presiden Joko Widodo, penerbitan SBN melambung tinggi dari Rp 522 triliun pada 2015 menjadi Rp 922 triliun pada 2019.
Pada masa pandemi, penerbitan SBN melonjak menembus Rp 1.541 triliun pada 2020 dan Rp 1.353 triliun pada 2021. Pasca pandemi, penerbitan SBN mulai menurun meski masih sangat tinggi, tercatat Rp 1.097 triliun pada 2022.
Pada 2015, jumlah SBN yang jatuh tempo dan beban bunga SBN berada di kisaran Rp 300 triliun. Pada 2019, angkanya melonjak menembus Rp 700 triliun. Pasca pandemi yakni 2021, angkanya tembus Rp 800 triliun. Pada 2022, jumlah SBN jatuh tempo dan beban bunga SBN diperkirakan turun menjadi Rp 500 triliun. Namun pada 2023, jumlahnya diproyeksikan melonjak mendekati Rp 1.000 triliun dan pada 2024 di kisaran Rp 1.100 triliun.
“Dengan kata lain, kita sudah masuk dalam jebakan utang, berutang untuk bayar utang,” kata Yusuf.DMS/AC