Jakarta (DMS) – Program makan bergizi gratis (MBG), yang merupakan salah satu program unggulan pemerintahan Prabowo Subianto, baru berjalan dua hari, namun sudah menuai kritik tajam dari publik.
Keluhan dari penerima manfaat program ini muncul, seperti tidak adanya susu dalam menu, rasa makanan yang hambar dan tidak disukai oleh siswa, hingga adanya masalah dengan waktu pengantaran makanan yang terlalu dekat dengan jam pulang sekolah atau justru mengurangi waktu belajar.
Beberapa siswa mengaku tidak tertarik dengan jenis sayuran tertentu, sehingga mereka tidak menghabiskan makanan. Mereka berharap ke depan, menu yang disajikan bisa lebih bervariasi untuk menarik minat makan mereka.
Sementara itu, beberapa siswa yang sudah sarapan di rumah merasa tidak lapar saat waktu makan tiba, sehingga mereka memilih untuk membawa pulang makanan yang tidak habis.
Program MBG ini merupakan janji kampanye Prabowo-Gibran pada Pemilihan Presiden 2024. Semula bernama ‘makan siang gratis’, kini berubah menjadi makan bergizi gratis. Program ini mengalokasikan anggaran sebesar Rp71 triliun dalam APBN 2025.
Pada tahap awal, program ini ditargetkan untuk menjangkau 3 juta anak, namun Badan Gizi Nasional (BGN) hanya menyiapkan makanan untuk 600 ribu anak, dengan distribusi di 190 titik yang tersebar di 26 provinsi.
Kurangnya Standar Operasional yang Jelas
Pengamat Kebijakan Publik Universitas Trisakti, Trubus Rahardiansyah, menilai keluhan dari siswa terkait program MBG mencerminkan belum jelasnya tata kelola program ini. Menurut Trubus, perencanaan yang kurang matang menyebabkan pelaksanaan yang tidak sesuai harapan.
Ia menyebutkan bahwa program ini belum memiliki standar operasional prosedur (SOP) atau petunjuk teknis yang jelas. Hal ini mengakibatkan kebingungan dalam pelaksanaan.
“Masalah utama adalah tata kelola program yang belum jelas, peraturan teknisnya tidak terdefinisi dengan baik. Perencanaan awal seharusnya lebih matang, karena masalah seperti terlambatnya pengantaran makanan ke sekolah menunjukkan keterbatasan infrastruktur pendukung,” ujar Trubus.
Ia juga mengkritik penyeragaman menu yang tidak memperhatikan selera anak-anak. Trubus menilai, seharusnya makanan tidak disiapkan oleh katering, tetapi lebih baik jika ibu-ibu atau kelompok seperti PKK di sekolah yang memasak. Dengan demikian, mereka akan lebih memahami selera anak-anak di lingkungan tersebut.
Rekomendasi Perbaikan dan Prioritas Daerah Tertinggal
Trubus juga menyoroti bahwa program MBG seharusnya diprioritaskan di daerah-daerah terluar, tertinggal, dan terdepan (3T), yang lebih membutuhkan bantuan makan bergizi dibandingkan dengan daerah perkotaan yang lebih maju.
“Kebijakan ini sangat baik jika diterapkan di daerah 3T, atau di kawasan pinggiran kota seperti kampung di bantaran sungai atau di bawah kolong tol. Di daerah-daerah seperti Menteng atau Pondok Indah, seharusnya tidak perlu diterapkan di sekolah-sekolah yang sudah memiliki fasilitas memadai,” katanya.
Penjadwalan dan Logistik yang Perlu Diperbaiki
Dicky Budiman, Peneliti Global Health Security di Pusat Lingkungan Hidup dan Kesehatan Penduduk Universitas Griffith Australia, juga memberikan masukan mengenai waktu distribusi makanan yang tidak sesuai dengan kebutuhan anak-anak.
Dicky menilai waktu pengantaran makanan harus diatur agar lebih optimal, terutama untuk anak-anak tingkat TK dan SD. Ia menyarankan agar pengantaran dilakukan sebelum pelajaran dimulai, antara pukul 07.30-08.00 waktu setempat.
Hal ini penting agar anak-anak mendapatkan asupan energi untuk mendukung konsentrasi mereka dalam kegiatan belajar.
“Untuk SMP dan SMA, pengantaran makanan lebih ideal dilakukan sekitar pukul 11.00-12.00, saat istirahat tengah hari. Memberikan makanan di tengah pelajaran bisa mengganggu proses belajar-mengajar,” ungkap Dicky.
Dicky juga mengusulkan penerapan sistem distribusi makanan berbasis kluster, dengan memperhatikan jarak dan waktu operasional dapur. Hal ini akan membuat pengantaran lebih efisien dan memastikan semua sekolah memiliki fasilitas yang cukup untuk menyimpan makanan.
“Perlu juga melibatkan pihak sekolah untuk menentukan waktu makan yang sesuai dengan jadwal mereka,” tambahnya.
Dengan evaluasi dan masukan dari berbagai pihak ini, diharapkan pelaksanaan program MBG bisa lebih terencana, efektif, dan memenuhi kebutuhan anak-anak yang memang membutuhkan gizi yang lebih baik.DMS/CC